PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK PENYANDANG AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)

Share

Oleh : Susi Rio Panjaitan

 

Autis adalah gangguan perkembangan pada anak yang meliputi aspek perilaku, sosio-emosional dan bahasa-komunikasi. Banyak dari anak penyandang autis yang tidak memiliki kemampuan verbal (berbicara) hingga dewasa. Varian autis sangat banyak karena tidak ada anak  penyandang autis yang kondisinya persis sama satu dengan yang lain. Untuk memudahkan mengklasifikasikan mereka terkait kemampuan mereka, maka biasanya digunakan istilah anak penyandang autis dengan kemampuan tinggi, anak penyandang autis dengan kemampuan sedang dan anak penyandang autis dengan kemampuan rendah.  Walaupun demikian, penulis tidak sepenuhnya berpegang pada hal ini karena setiap anak penyandang autis unik. Mereka punya kekuatan masing-masing yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain sehingga sulit untuk mengatakan bahwa si A lebih pintar dari B atau si B lebih tidak pintar dari si C. Yang jelas, bagaimana pun kondisinya, entah ia dianggap berkemampuan rendah, sedang atau tinggi, setiap anak penyandang autis punya potensi yang dapat digali dan dikembangkan. Dengan demikian ia dapat  berkarya dan berprestasi sebagaimana halnya dengan anak-anak non-autis.

Pendidikan merupakan  kebutuhan sekaligus hak dari anak penyandang autis. Dengan pendidikan, mereka belajar banyak hal sehingga  dapat berkarya, berprestasi dan hidup mandiri.   Salah satu pendidikan yang dibutuhkan oleh anak penyandang autis adalah pendidikan seks. Pendidikan seks adalah pendidikan terkait seks dan seksualitas yang  dilihat dari aspek kesehatan, psikologi, budaya, norma dan hukum. Anak penyandang autis hampir tidak memiliki masalah dengan pertumbuhan dan perkembangan tubuhnya. Ia bisa bertambah besar dan bertambah tinggi dengan normal sehingga pada waktunya mereka pun masuk pada masa pubertas. Masa pubertas adalah masa dimana hormon seksual berkembang dan bekerja dengan baik sehingga libido menjadi aktif. Ini menjadi salah satu alasan mengapa sangat penting dan mendesak memberikan pendidikan seks kepada anak penyandang autis. Selain itu, mereka rentan menjadi korban kejahatan seksual dan berisiko melakukan perilaku seksual yang tidak sehat.

Mengingat bahwa setiap anak penyandang autis unik, maka dalam memberikan pendidikan seks kepada mereka perlu memerhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Berikanlah Pendidikan Seks melalui Pembiasaan dari Sedini Mungkin

Pemberian pendidikan seks kepada anak penyandang autis tidak perlu menunggu hingga anak usia tertentu atau sudah memiliki keterampilan/pemahaman tertentu. Berilah pendidikan seks kepada anak sedini mungkin, bahkan sejak anak baru lahir. Misalnya:

  1. Membiasakan anak melepas dan memakai pakaian di ruangan tertutup
  2. Membiasakan anak berpakaian lengkap
  3. Membiasakan anak Buang Air Besar (BAB) dan Buang Air Kecil (BAK) di toilet
  4. Membiasakan anak untuk mengetuk pintu sebelum masuk ruangan/kamar dimana seseorang sedang berada di dalam dan masuk jika sudah diijinkan masuk
  5. Dan lain-lain

 

Mengajarkan Identifikasi

Kemampuan mengidentifikasi sangat memengaruhi pengetahuan dan keterampilan anak. Dapat dikatakan bahwa kemampuan mengidentifikasi adalah kemampuan dasar sekaligus fondasi dari semua keterampilan.  Contoh: Sebelum bisa mandi sendiri, seorang anak sudah harus tahu mana sabun, sampo, pasta gigi, handuk dan lain sebagainya. Untuk bisa menggoreng tempe, maka anak sudah harus tahu mana komor, api, penggorengan, tempe, minyak goreng dan lain-lain. Demikian juga halnya dengan pemberian pendidikan seks. Walaupun anak belum verbal sehingga ia tak dapat menjawab secara lisan ketika ditanya, anak sudah harus tahu (mampu mengidentifikasi) jenis kelamin, anggota tubuh dan area pribadi. Setiap orang punya area pribadi yang terdiri dari dada, perut, alat kelamin, paha, dan bokong. Area pribadi adalah area atau bagian tubuh yang tidak boleh dilihat atau disentuh oleh orang lain.

 

Mulai dari Mana yang Boleh dan Mana yang Tidak Boleh

Ada banyak hal yang sulit dijelaskan kepada anak penyandang autis. Oleh sebab itu, beberapa hal boleh diajarkan dengan kaku, seperti:

  1. Tidak boleh melihat dan menyentuh area pribadi orang lain
  2. Tidak mengijinkan orang lain melihat dan menyentuh area pribadinya
  3. Pergi dan lari jika ada orang yang mau melihat atau menyentuh area pribadinya
  4. Pergi dan lari jika ada orang yang ingin memperlihatkan area pribadinya
  5. Tidak boleh mencium orang lain
  6. Tidak mengijinkan orang lain mencium dirinya, terutama bibir, leher dan daerah sensitif lainnya.

Harapannya, melalui pembelajaran ini anak akan melakukannya walaupun ada resiko akibat kekakuannya. Misalnya: karena tidak boleh ada orang yang melihat atau menyentuh area pribadinya, maka ia pun tidak mengijinkan dokter memeriksa tubuhnya. Kondisi-kondisi ini memang pengeculiaan dan pada saat itu terjadi harus dilakukan berbagai pendekatan khusus.

 

Gunakan Berbagai Alat Bantu Visual

Alat bantu visual berupa gambar dan video akan membantu anak dalam memahami apa yang sedang diajarkan padanya. Selain gambar berisi kata benda, misalnya celana, baju, rok dan anggota tubuh, gunakan juga gambar atau video yang menggambarkan kata kerja, seperti mandi, menggosok gigi, Buang Air Kecil, Buang Air Besar dan lain-lain. Menggunakan foto asli, foto anak dan video anak ketika melakukan sesuatu akan memudahkan anak dalam memahami. Jika anak sudah paham dengan menggunakan foto dan video asli dirinya, bisa dilanjutkan dengan menggunakan gambar atau simbol. Tempat-tempat umum biasanya menggunakan simbol, misalnya simbol perempuan, simbol laki-laki, simbol toilet dan lain-lain. Ini sangat berguna jika anak berada di tempat-tempat umum.

Urutan kegiatan dalam bentuk gambar juga merupakan salah satu alat bantu visual yang akan sangat menolong anak. Misalnya kegiatan BAK yang terdiri dari: 1. Buka pintu toilet 2. Nyalakan lampu 3. Masuk ke dalam toilet 4. Tutup pintu 5. Buka celana 6. Buang air kecil/pipis 7. Cebok 8. Pakai celana  9. Berpakaian rapi 10. Siram kloset 11. Cuci tangan 12. Buka pintu 13. Keluar dari toilet 14. Matikan lampu 15. Tutup pinti toilet

Mulai dari Pendidikan Bina Diri

Keterampilan bina diri adalah keterampilan yang harus dikuasai oleh siapapun. Sayangnya, pada umumnya anak penyandang autis mengalami kesulitan dalam menguasai keterampilan ini. Padahal, salah satu indikator kemandirian anak adalah mahir dalam keterampilan bina diri. Selain itu, keterampilan bina diri sangat memengaruhi status kesehatan anak dan kemampuan anak dalam melindungi dirinya sendiri dan orang lain dari kejahatan seksual. Paling tidak ada beberapa keterampilan bina diri dasar yang sudah harus dikuasai oleh anak sejak dini, yakni:

  1. Melepas dan mengenakan pakaian sendiri
  2. Mandi sendiri
  3. Cebok sendiri

Jika anak menguasai keterampilan-keterampilan ini, maka ketergantungan anak kepada orang lain semakin berkurang. Selain itu, keterampilan ini juga akan sangat menolong mengurangi bahkan menghindari anak dari sentuhan-sentuhan orang lain pada area pribadinya.

 

Dilakukan secara Terus Menerus

Sesuatu yang dilakukan secara terus menerus akan membuat seseorang menjadi mahir atau menjadi terbiasa. Demikian pula halnya dalam memberikan pendidikan seks pada anak penyandang autis. Jika materi-materi tersebut diberikan kepada anak terus menerus dengan konsisten, maka anak menjadi mahir dan akan membentuk kebiasaan yang baik pada anak.

Generalisasi

Pada umumnya anak penyandang autis bersifat kaku dan sulit melakukan generalisasi. Contohnya: Jika di sekolah/pusat terapi ia diajarkan bahwa Buang Air Besar (BAB) atau Buang Air Kecil (BAK) harus di toilet, maka sangat mungkin ia berpikir hal itu hanya berlaku di sekolah/pusat terapi, tidak berlaku di rumah. Oleh karena itu, di rumah atau di tempat lain ia akan ngompol atau BAB di celana. Itulah sebabnya generalisasi harus dilakukan.  Orangtua, pengasuh dan guru/terapis harus dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan baik demi kepentingan terbaik anak. Semua program yang sedang diberikan kepada anak harus disampaikan kepada semua pihak terkait agar bisa dilakukan generalisasi. Jika di rumah diajarkan mengucapkan “minta tolong” saat memerlukan bantuan, maka itu harus juga dilakukan di sekolah/pusat terapi. Jika di sekolah/pusat terapi sedang diajarkan kemandirian, misalnya selesai makan cuci piring sendiri, maka hal tersebut juga harus dilatihkan di rumah.

 

Mengajarkan “Malu”

Sulit menjelaskan makna malu kepada sorang anak apalagi anak penyandang autis. Oleh karena itu, “malu” mesti dibuat sedemikian konkrit. Misalnya: malu jika area pribadi kita dilihat atau disentuh oleh orang lain, malu jika melihat atau menyentuh area pribadi orang lain. Oleh karena tindakan tersebut bikin anak malu, maka ia tidak boleh telanjang, harus selalu berpakaian lengkap, tidak mengijinkan orang lain melihat atau menyentuh area pribadinya. Selain itu, karena melihat atau menyentuh area pribadi orang lain bikin anak dan orang tersebut malu, maka anak tidak boleh melihat dan menyentuh area pribadi orang lain. Dengan demikian, harapan selanjutnya adalah anak tidak akan melihat gambar porno, tidak menonton video/film porno  dan bermain games porno karena itu bikin malu.

Bagaimanapun kondisi seorang anak penyandang autis, ia pasti memiliki potensi dan pasti bisa dilatih. Selamat memberikan pendidikan seks kepada anak, tetap semangat. (SRP)

 

Share

Related posts

One Thought to “PENDIDIKAN SEKS BAGI ANAK PENYANDANG AUTISM SPECTRUM DISORDER (ASD)”

Leave a Comment