MEMBANGUN KARAKTER ANAK

Share

Oleh : Susi Rio Panjaitan

Dalam hidup ini, yang akhirnya menjadi “pemenang” bukanlah orang yang  kaya, cakep atau cerdas tetapi orang yang berkarakter. Jika hanya kaya, cakep, cerdas tetapi tidak berkarakter, maka kekayaannya, kegantengan/kecantikannya dan kecerdasannya hanya bikin masalah. Jika kaya tetapi tak berkarakter, maka karena kekayaannya itu ia akan menjadi orang yang sangat sombong dan menjadi penjajah sesama. Jika ia hanya cantik/ganteng tetapi tidak berkarakter, maka itu hanya akan jadi kesombongannya dan akan ia salahgunakan. Jika ia hanya cerdas tetapi tidak berkarakter, ia akan menjadi orang yang membodoh-bodohi orang lain. Tentu saja memiliki anak yang cerdas, cakep dan kaya pada umumnya merupakan dambaan semua orang, tetapi apalah artinya semua itu tanpa karakter yang baik. Ada sangat banyak masalah yang muncul di muka bumi ini, yang dilakukan atau didalangi oleh orang yang dianggap cerdas, kaya, atau cakep tetapi tidak berkarakter baik.

Dengan bahasa sederhana, karakter dapat diartikan sebagai sifat, tabiat dan nilai-nilai seseorang yang tampak lewat perilakunya.  Jadi, karakter seseorang dapat dilihat oleh orang lain. Dengan demikian, karakter kita dapat dinilai oleh orang lain, entah baik, entah buruk. Siapapun menginginkan orang yang berkarakter baik. Contohnya: Penipu paling ulung di muka bumi ini pasti menginginkan anak buah yang jujur.  Sampai kapanpun juga, orang yang berkarakter tetap dibutuhkan, tetap dicari dan tetap diminati. Karakter tidak datang dari laut dan tidak jatuh dari langit tetapi harus dibangun. Karakter anak harus dibangun sejak dini, yakni sejak anak berusia nol tahun.

Pembangunan karakter anak dimulai dari rumah. Rumah adalah sekolah pertama dan utama bagi anak, orangtua adalah guru pertama dan utama bagi anak. Karena anak adalah peniru ulung, maka pembangunan karakter anak sangat tepat dilakukan melalui pemberian contoh/teladan. Orangtua harus dapat memberikan contoh yang baik dan benar untuk anak. Orangtua harus dapat menjadi teladan untuk anak-anak mereka.  Anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar. “Apel jatuh tidak jauh dari pohonnya,” demikian kata pepatah. “Like father like son. Like mother like daughter. Like parents like children.” Anak-anak adalah cerminan dari orangtuanya. Jika ingin mengetahui gambaran sebuah keluarga, lihat saja anak-anaknya. Jika kita ingin memiliki anak yang berkarakter baik, maka orangtua harus terlebih dahulu memiliki karakter yang baik sehingga dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya.

Di zaman modern ini banyak sekali terjadi disfungsi keluarga. Contohnya: anak mengatur orangtua, orangtua tunduk kepada anak, orangtua takut kepada anak, istri mengatur suami, ibu tidak betah di rumah dan tidak mau melayani anak dan suaminya, ayah tidak bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya, dan lain-lain. Apabila terjadi disfungsi dalam keluarga, maka akan berdampak buruk bagi pembangunan karakter anak. Selain itu, disfungsi dalam keluarga dapat menurunkan status kesehatan mental anak. Misalnya: Jika seorang ayah suka berjudi, mabuk-mabukan, melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), maka pembangunan karakter dan kesehatan mental anak akan terganggu. Anak dapat tumbuh menjadi anak yang brutal seperti ayahnya, hidup dalam berbagai ketakutan dan tekanan, ganas dan mendendam, atau mengakibatkan anak mengalami depresi.

Karakter yang baik tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang ditanamkan dan ditumbuhkembangkan pada anak sejak dini, misalnya nila-nilai budaya, agama dan nilai-nilai Pancasila (jika anak adalah warga Negara Kesatuan Republik Indonesia). Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam upaya membangun karakter anak, antara lain: tidak terlalu memanjakan anak; tidak bersikap overprotective (terlalu protektif); mengoreksi bahkan mendisplin anak jika ia berbuat salah; tidak pelit memberi pujian kepada anak; mendidik anak untuk hormat kepada orangtua dan mengasihi sesama, bersikap sopan santun, hidup jujur, senang berbagi, bertanggung jawab, mandiri, disiplin, tidak mudah menyerah, menghargai perbedaan, rendah hati, menguasai diri, hidup sederhana serta beribadah dan taat kepada ajaran agama yang dianut.

Dengan berbagai alasan, banyak orangtua yang  terlalu memanjakan anak, misalnya: karena anak bungsu, kelahiran anak sangat lama ditunggu dan lain-lain. Apapun alasannya, tidaklah baik terlalu memanjakan anak. Jika terlalu dimanjakan, anak menjadi tidak mandiri, cengeng, egois, suka mengatur, malas, mudah menyalahkan orang atau tidak kreatif. Manja memang sesuatu yang sangat khas pada anak-anak. Akan tetapi, memanjakan mereka dengan berlebihan adalah hal yang tidak mendidik. Anak memang harus dilindungi dan setiap orang bertanggung jawab untuk melindungi anak. Undang-undang perlindungan anak dibuat sebagai upaya melindungi melindungi anak dan hak-hak anak demi kepentingan terbaik anak. Bersikap overprotective (terlalu protektif)  bukan cara yang baik untuk melindungi anak. Misalnya: atas nama “melindungi” anak, maka anak tidak boleh keluar dari rumah dan bermain dengan teman-temannya, anak tidak boleh bersentuhan apalagi memegang tanah karena tanah dianggap kotor dan sumber banyak penyakit. Perlakuan yang terlalu protektif terhadap anak dapat membuatnya menjadi lemah secara fisik, tidak punya inisiatif, peragu, penakut, tidak percaya diri, memiliki daya juang yang rendah, ringkih dan lain sebagainya. Oleh karena itu, anak harus dilindungi secara wajar.

Anak adalah individu yang sedang berproses dalam pembelajaran di segala bidang. Dapat dipahami jika dalam proses tersebut anak melakukan kesalahan. Walaupun demikian, bukan berarti boleh terjadi pembiaran ketika anak berbuat salah. Anak butuh dikoreksi. Koreksi yang disampaikan dengan cara, waktu dan tempat yang tepat akan membuat anak nyaman dan mengerti sehingga di waktu mendatang ia akan berperilaku dengan tepat. Apabila anak berbuat salah tetapi tidak dikoreksi atau dibiarkan, maka berperilaku salah akan menjadi kebiasaan anak. Jika sudah jadi kebiasaan, maka ini akan menjadi karakter anak. Jadi, mengoreksi anak ketika salah adalah hal yang perlu dan dibutuhkan anak. Koreksi dapat berupa pemberitahuan bahwa yang anak lakukan tidak tepat dan menunjukkan kepada anak perilaku yang seharusnya. Bahkan, apabila anak dengan sengaja melawan (melakukan berulang-ulang perilaku salah padahal sudah berulang kali diberitahu), maka pendisplinan perlu diberikan. Pendisiplinan bukan berarti hukuman fisik atau pukulan, tetapi tindakan lain yang bersifat mendidik dan dapat menimbulkan pembelajaran dan efek jera.

Ada orangtua yang dengan sengaja menaruh beban di pundak anak, tetapi ketika anak berhasil memikul beban itu, orangtua tidak memberikan apresiasi apapun. Misalnya: orangtua meminta anak  belajar dengan baik karena akan ujian matematika. Lalu anak belajar sungguh-sungguh. Hasilnya, anak memperoleh nilai 100. Meskipun orangtua tahu anak mendapatkan nilai maksimal, orangtua bersikap biasa saja. Tidak ada pujian maupun apresiasi dalam bentuk apapun. Menurut mereka, anak mendapat nilai 100 adalah hal yang biasa dan memang seharusnya begitu. Sebaliknya, jika anak mendapatkan nilai tidak sebagaimana yang orangtua kehendaki, maka anak akan mendapatkan hukuman. Hal ini tidak sehat sama sekali. Bagaimanapun, anak  juga manusia yang butuh diapresiasi. Apresiasi, sekalipun hanya dalam bentuk pujian, disenangi dan dibutuhkan oleh anak. Jika anak selalu dituntut untuk memenuhi standar tertentu atau tidak pernah diapresiasi dengan baik, maka dapat menimbulkan ketidaksehatan mental pada anak. Ia bisa tumbuh menjadi anak pemarah, tidak percaya diri, terlalu menuntut dirinya sendiri dan orang lain, tidak menghargai diri sendiri, memiliki konsep diri yang negatif, rendah diri atau menjadi memendam kekecewaan dan amarah.

Salah satu hal yang sering dikeluhkan orang terkait anak di masa ini adalah anak tidak hormat kepada orangtua. Banyak media termasuk media sosial memberitakan tentang anak yang tidak hormat kepada orangtuanya. Bentuk perilaku tidak hormat tersebut  berupa ketidaktaatan, menantang dan mencaci maki. Bahkan, ada anak yang tega melakukan tindak kekerasan kepada orangtuanya. Agar anak tidak berkarakter seperti ini, sejak dini anak harus dididik untuk hormat kepada orangtua. Misalnya: Berbicara dan bersikap dengan sopan. Selain itu, sejak dini anak juga harus dididik untuk mengasihi sesama.

Setiap keluarga, daerah, suku bahkan bangsa punya standar dan cara khas untuk menunjukkan perilaku sopan santun. Misalnya: cara berbicara, penggunaan kata-kata dalam berbicara, cara duduk, cara berpakaian, cara makan, salaman, kontak mata dan lain-lain. Ada keluarga, yang jika orangtua  berpendapat A, maka tidaklah masalah jika anak berpendapat Z, selama pendapat itu disampaikan dengan baik dan dengan argumentasi yang logis. Akan tetapi, ada keluarga yang menganggap tidak sopan jika anak tidak sepakat dengan pendapat orangtua. Ada keluarga yang standar kesopanannya adalah jika orangtua bicara, maka anak harus melihat kepada orangtua dan mendengar dengan baik. Akan tetapi, pada keluarga lain hal tersebut dianggap tidak sopan. Anak tidak boleh memandang kepada orangtua saat orangtua bicara karena itu dianggap menantang. Ada sopan santun yang bersifat internal (berlaku dalam keluarga saja), ada sopan santun yang bersifat nasional dan universal. Ini harus diajarkan kepada anak sejak dini agar anak mampu menempatkan diri dengan baik.

Banyak orang tidak mau hidup jujur, tetapi ia mau mendapatkan orang yang jujur. Jadi jelas, kejujuran sangat dibutuhkan dan diharapkan. Bicara soal nilai-nilai moral dan agama, maka kejujuran adalan suatu nilai yang dijunjung tinggi. Orang yang tidak jujur akan merugikan dan menyusahkan dirinya sendiri dan orang lain. Agar kejujuran menjadi karakter anak, maka kejujuran harus diajarkan kepada anak sejak diri. Dimulai dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya: Jika anak tidak mau minum susu, maka ia harus mengatakannya kepada orangtuanya. Jangan ia mengatakan bahwa ia sudah minum susu, padahal susunya dibuang. Kejujuran memang baik tetapi mungkin mengandung konsekuensi. Misalnya: Ada orang menjadi tidak suka. Walaupun demikian, kejujuran tetap harus dijunjung tinggi.

Manusia adalah makhluk sosial sehingga seumur hidup ia harus berkomunikasi dan berelasi dengan orang lain karena ia membutuhkan orang lain. Dalam suatu relasi, dibutuhkan kemampuan berbagi. Orang yang pelit dan tidak mau berbagi tidak akan disukai oleh orang lain. Agar anak mampu berbagi, maka ia harus dilatih dari kecil. Misalnya: Mau meminjamkan mainannya kepada temannya/saudaranya, mau membagi kue atau es krimnya kepada orangtuanya, dan lain sebagainya. Dengan demikian, anak akan tumbuh menjadi pribadi yang murah hati dan mau berbagi.

Melakukan kesalahan adalah hal yang wajar. Walaupun demikian, seseorang harus mau mempertanggung jawabkan kesalahannya. Agar seorang anak tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, maka sejak kecil ia harus diajar bertanggung jawab. Misalnya: Ketika ia selesai bermain, maka ia harus membereskan mainanya; jika jatuh saat lari-lari dan menyenggol meja di ruang tamu yang sempit sehingga ia jatuh, maka jangan menyalahkan meja, tetapi harus segera bangun dan mengerti bahwa ia harus lari dengan hati-hati atau tidak main lari-larian di dalam rumah; PR adalah tugas yang harus ia selesaikan di rumah sebelum tiba hari mengumpulkan tugas, maka ia harus menyelesaikan tugasnya dulu sebelum bermain; mencuci piring adalah tugas yang diberikan ibu kepadanya, maka ia tidak boleh melimpahkan tugas itu kepada adiknya, ia harus mencuci piring itu; dan lain-lain. Dengan demikian, ia akan bertumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab. Dampaknya, banyak orang akan percaya kepadanya dan mempercayakan banyak hal kepadanya.

Fasilitas yang disediakan orangtua membuat anak hidup nyaman dan manja. Sayangnya, hal tersebut membuat anak tidak mandiri. Padahal, kemandirian adalah hal yang harus dimiliki setiap orang. Orang yang tidak mandiri hanya akan merugikan dirinya sendiri, merepotkan dan menimbulkan kekesalan bahkan kemarahan pada orang lain. Jadi, kemandirian pada anak sudah harus terbentuk sedari dini. Contoh: Anak usia tujuh tahun harusnya sudah bisa mandi sendiri. Lain hal jika anak tersebut mengalami hambatan dalam pertumbuhan dan perkembangan. Jadi, biarkanlah anak mandi sendiri! Yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah melakukan pengecekan apakah anak sudah mandi dengan bersih atau belum. Jika belum, maka anak harus diberitahu cara mandi yang benar sehingga bersih. Contoh lain: Anak usia SMP sudah mampu merapikan dan membersihkan kamar sendiri. Jadi, biarkan ia melakukan hal tersebut!

Orang yang tidak disiplin akan merugikan dirinya sendiri dan orang lain. Karenanya, sedari dini anak harus dilatih untuk disiplin. Misalnya: Tidak boleh bermain jika belum selesai mengerjakan PR; bangun pagi paling lambat pukul 05:00; bermain games online hanya boleh pada hari Sabtu dan tidak boleh lebih dari satu jam; dan lain sebagainya. Kedisiplinan akan mendatangkan hal yang baik pada anak. Jika sejak kecil anak sudah disiplin maka ia akan tumbuh menjadi individu dengan karakter disipilin. Hal lain yang harus ditanamkan pada anak sejak dini adalah sikap berani, termasuk berani berbeda. Pada kasus perundungan dan kejahatan lainnya, banyak anak menjadi korban karena anak tidak berani untuk melakukan upaya perlindungan diri. Selain itu, keberanian lain yang perlu untuk ditanamkan pada anak sejak dini adalah keberanian untuk berbeda dari teman-temannya, sekalipun mungkin ada konsekuensinya. Misalnya: berani tidak merokok sekalipun semua teman merokok; berani menolak ketika diajak nonton video porno; berani berkata tidak saat diajak untuk melakukan seks di luar perkawinan; dan lain-lain.

Sering kali seseorang tidak mendapatkan sesuatu bukan karena ia tak mampu mendapatkannya tetapi karena ia mudah menyerah. Sikap mudah menyerah tentu akan merugikan anak, baik di saat ia masih kecil maupun kelak dewasa. Oleh karena itu, sejak dini anak harus dilatih untuk tangguh, tidak mudah menyerah tetapi bermental pejuang. Ini dapat dilatih melalui cara-cara yang sederhana dan dimulai dari rumah. Contoh: Ketika anak belajar memakai kemeja yang banyak kancingnya, mungkin anak akan kewalahan ketika memasukkan kancing ke lobang kancing. Kancing yang di bawah ia masukkan ke lobang yang di atas, atau kancing di atas ia masukkan ke lobang yang di bawah. Atau, anak kesulitan memasukkan kancing ke lobang kancing karena harus fokus dan menundukkan kepala. Karena merasa itu pekerjaan susah dan menjengkelkan, anak bisa menangis, jengkel dan kemudian menyerah. Jika ini terjadi, orangtua tidak boleh langsung membantu anak. Gunakan ini sebagai kesempatan untuk mengajarkan sikap tidak mudah menyerah. Ganti memakaikan anak pakaian, lebih baik ia dibimbing pelan-pelan dan disemangati hingga bisa. Dari sana anak akan belajar bahwa sesuatu yang sulit bukan berarti tidak bisa dilakukan. Ia akan tumbuh menjadi pejuang yang tidak mudah menyerah.

Selain apa yang dipaparkan di atas, agar pada anak terbentuk karakter yang baik, maka ia perlu diajarkan mengucapkan terima kasih, permisi, maaf dan tolong dengan tepat. Misalnya: mengucapkan terima kasih saat mendapat hadiah atau ditolong; meminta maaf ketika berbuat salah atau menimbulkan ketidaknyaman pada orang lain; meminta tolong ketika membutuhkan pertolongan orang lain dan meminta permisi jika minta kesempatan atau perhatian. Ada orang yang mengatakan bahwa kata maaf, permisi, tolong dan terima kasih adalah kata-kata sakti yang wajib dikuasai oleh setiap orang. Pendapat ini ada benarnya. Jika seseorang mampu berterima kasih dengan baik, bisa dengan legoyo meminta maaf, dengan rendah hati meminta tolong dan  meminta permisi ketika membutuhkan perhatian atau ijin, maka selain menunjukkan bahwa ia memiliki karakter yang baik, ini akan membuat orang respek kepadanya.

Berbeda adalah suatu keniscayaan. Tidak ada orang yang benar-benar sama satu sama lain sekalipun mereka kembar siam. Kita semua berbeda, baik dalam warna kulit, agama, suku dan lain sebagainya. Perbedaan adalah suatu keindahan yang harus disyukuri sekaligus dihargai. Perbedaan tidak boleh dijadikan alasan untuk melakukan diskriminasi kepada seseorang atau sekelompok orang. Dari kecil kesadaran akan perbedaan harus ditanamkan pada anak sehingga ia mampu menghargai orang lain yang berbeda dengannya. Selain itu, kesadaran bahwa setiap manusia berbeda satu sama lain, akan membuat anak mampu menerima dirinya sendiri dan mampu melihat potensi yang ada pada dirinya, sekalipun ia berbeda dengan anak lain. Orang yang mampu menyingkapi perbedaan dengan cerdas akan disukai oleh banyak orang dan tampil menjadi anak yang memiliki penerimaan diri yang sehat.

Ada orang  menimbulkan kejengkelan pada orang lain bukan karena ia tidak menarik, ada yang gagal dalam studi dan pekerjaan bukan karena ia kurang pintar, tetapi karena tinggi hati. Orang yang tinggi hati tentu menjengkelkan dan dapat menimbulkan rasa muak pada orang lain. Sikap tinggi hati berbahaya dan merugikan orang yang bersangkutan. Orang yang tinggi hati, pada waktunya akan jatuh sendiri. Sedari dini anak harus dididik agar memiliki kerendahan hati. Misalnya: tidak merasa paling pintar, menghargai potensi orang lain dan lain-lain. Selain kerendahan hati, hal lain yang juga harus ditanamkan kepada anak sejak dini adalah penguasaan diri. Banyak pertikaian terjadi karena masing-masing pihak tidak mampu menguasai diri. Memiliki berbagai emosi termasuk emosi negatif adalah manusiawi, tetapi orang harus mampu melakukan regulasi terhadap emosi tersebut sehingga tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Pada anak, keterampilan menguasai diri dan meregulasi emosi harus diajarkan. Misalnya: Bersikap sabar ketika diejek teman. Tidak perlu langsung bereaksi, tetapi bersikap tenang sehingga dapat berespon dengan benar.

Kasus penipuan, terlibat hutang, penggelapan uang perusahaan dan korupsi banyak terjadi karena pelaku tidak mau hidup sederhana. “Lebih besar pasak daripada tiang”. Pengeluaran melebihi pemasukan. Gaya hidup jauh lebih besar dari penghasilan. Begitu ada kesempatan, ditambah dengan tidak memiliki kemampuan menguasai diri, maka orang tersebut akan melakukan perbuatan yang tidak terpuji dan melanggar hukum. Anak perlu diajar hidup sederhana. Ulangtahun tidak harus ada kado dan pesta, tetapi bisa dirayakan dan disyukuri dengan hal-hal yang sederhana. Sekalipun ada uang untuk memberikan kado mewah dan mengadakan pesta besar, lebih baik uangnya digunakan untuk hal lain, misalnya dipakai untuk menyumbang ke Panti Asuhan sebagai ungkapan syukur karena berulang tahun. Dengan demikian, anak akan belajar hidup sederhana dan mau berbagi dengan sesama. Ini akan membuat anak tumbuh menjadi individu yang berkarakter baik.

Antri adalah salah satu keterampilan sosial yang harus dimiliki oleh semua orang. Dengan antri, anak belajar sabar, tahu aturan, menghargai orang lain dan tertib. Ada yang mengatakan bahwa lebih cemas jika anak tidak bisa antri daripada jika anak tidak bisa pelajaran matematika. Ini menunjukkan bahwa antri bukan suatu hal yang sepele. Kemampuan seseorang dalam mengantri dengan baik mencerminkan karakter orang tersebut. Oleh karena itu, dari kecil anak sudah diajar untuk antri. Misalnya: mau antri dengan baik ketika melakukan pembayaran di depan kasir; tidak bicara apalagi teriak-teriak ketika diminta ibu guru untuk menunggu giliran menjawab; tidak berebutan masuk kelas atau lift; tidak menyerobot orang lain; dan lain sebagainya.

Ajaran agama yang dianut penting diajarkan kepada anak agar anak memiliki karakter yang baik. Dari kecil anak harus dididik untuk beribadah dan taat kepada ajaran agamanya. Taat beribadah dan taat kepada ajaran agama yang dianut bukan berarti anak boleh menghina orang lain yang berbeda agama dengannya. Bagaimanapun, setiap orang berbeda dan unik, termasuk berbeda dalam keyakinan dan agama. Jika anak taat beribadah dan taat kepada ajaran agama yang dianut sekaligus mampu menghormati agama orang lain, hal ini menunjukkan bahwa anak memiliki karakter yang baik. (SRP)

 

Share

Related posts

Leave a Comment