Oleh: Susi Rio Panjaitan
Autis adalah gangguan perkembangan yang ditandai dengan kondisi dimana individu mengalami hambatan dalam perkembangan bahasa-komunikasi, sosio-emosional dan perilaku. Autis adalah suatu keadaan yang melekat seumur hidup pada penyandangnya. Penyandang autis bukanlah orang yang bodoh, tetapi karena cara kerja otak mereka berbeda dengan cara kerja otak orang pada umumnya, maka cara mereka berkomunikasi, berperilaku dan mengekspresikan emosi juga berbeda. Perbedaan ini tidak dipahami oleh banyak orang sehingga mereka melekatkan berbagai lebal pada penyandang autis, misalnya bodoh, idiot atau gangguan jiwa. Label ini tentu tidak benar. Oleh karena itu, edukasi terhadap segala lapisan masyarakat termasuk kepada pembuat kebijakan harus terus dilakukan. Harapannya adalah agar penyandang autis semakin dipahami sehingga mereka diperlakukan dengan adil dan hak-hak mereka sebagai warga negara maupun manusia tidak diabaikan.
Tidak ada penyandang autis yang sama persis satu sama lain sehingga autis dikatakan sebagai suatu spektrum. Walaupun demikian, sama halnya dengan individu lain yang non-autis, setiap penyandang autis pasti memiliki potensi yang dapat ditumbuhkembangkan sehingga mereka dapat berkarya dan berprestasi. Yang penting, mereka diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk belajar, berlatih agar mereka menemukan potensi diri dan dapat mengembangkan potensi tersebut. Walaupun penyandang autis tidak ada yang benar-benar persis satu sama lain, secara umum mereka dikelompokkan dalam tiga tipe. Tipe 1, yakni mereka yang kondisi keautisannya ringan. Mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Memang mereka mampu berbicara dengan menggunakan kalimat yang tepat dan lengkap, tetapi mereka kesulitan untuk melakukan percakapan dua arah dan kesulitan untuk memulai suatu percakapan. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam menggunakan kata-kata yang tepat di waktu yang tepat dan tidak memahami bahasa tubuh maupun isyarat sosial. Misalnya: Jika kita berbicara, lalu lawan bicara mulai tampak gelisah, mungkin itu isyarat bahwa ia ada urusan lain dan ingin menyudahi percakapan dengan dengan kita. Walaupun demikian, individu penyandang autis tipe 1 memiliki kemampuan yang tinggi sehingga mereka disebut sebagai High Functioning Autism.
Tipe 2 adalah kelompok penyandang autis yang bermasalah dalam komunikasi verbal dan interaksi sosial. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mengubah fokus sehingga sulit berpindah dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya. Contoh: Ketika sedang belajar matematika, mereka sulit diminta untuk pindah ke pelajaran berikutnya, misalnya pelajaran komputer. Kondisi ini tentu akan jadi masalah jika anak bersekolah di sekolah regular. Minat mereka terhadap apapun terbatas dan mereka suka melakukan sesuatu dengan berulang-ulang. Misalnya: Suka mondar-mandir atau mengatakan hal yang sama berulang-ulang. Selain itu, kemampuan berbicara mereka lebih rendah dibanding dengan anak pada tipe 1 dan kesulitan dalam memahami dan berkomunikasi secara nonverbal. Penyandang autis tipe 2 dikategorikan dalam Middle Functioning Autism. Tipe 3 adalah kelompok penyandang autis yang membutuhkan dukungan yang sangat substansial. Mereka adalak kelompok autis yang dianggap paling parah. Berbagai hambatan yang mereka hadapi sama dengan yang dihadapi oleh penyandang autis tipe 1 dan 2, tetapi pada tingkat yang jauh lebih parah. Tipe 3 dikelompokkan dalam Low Functioning Autism.
Salah satu keterampilan yang sangat penting diajarkan kepada penyandang autis adalah keterampilan bina diri. Secara sederhana keterampilan bina diri dapat diartikan sebagai keterampilan dalam mengurus dan merawat diri sendiri dengan mandiri. Keterampilan ini harus diajarkan kepada penyandang autis sejak dini. Ada beberapa alasan mengapa keterampilan bina diri menjadi keterampilan yang harus diajarkan kepada mereka sejak diri, antara lain: kemampuan belajar secara otodidak pada penyandang autis rendah; keterampilan bina diri sangat memengaruhi komunikasi dan relasi dengan orang lain; keterampilan bina diri sangat memengaruhi eksistensi serta prestasi mereka dan keterampilan bina diri memengaruhi kesehatan.
Pada individu penyandang autis terutama tipe 3, kemampuan belajar secara otodidak sangat terbatas. Hal ini terjadi selain karena ada masalah dalam memahami sesuatu, juga karena minat mereka sangat terbatas. Pada anak non-autis, dengan beberapa kali melihat orang menggosok gigi, mereka dapat paham dan bisa menggosok gigi. Dengan beberapa kali menggosok gigi, secara alami mereka menjadi paham bagaimana cara menggosok gigi yang baik dan nyaman. Kemampuan ini tidak ada pada anak penyandang autis. Oleh karena itu, keterampilan bina diri harus diajarkan pada mereka sejak dini. Alasan lain mengapa keterampilan bina diri harus diajarkan kepada penyandang autis dari dini adalah karena keterampilan bina diri sangat memengaruhi komunikasi dan relasi dengan orang lain. Jika seseorang berbau mulut dan berbau badan tidak sedap, maka itu akan membuat orang tidak nyaman berada dekat dan berkomunikasi dengan dia. Orang akan menghindar dari dia. Keterampilan bina diri sangat memengaruhi eksistensi dan prestasi orang. Misalnya, jika seseorang tidak mampu makan dan berpakaian dengan baik dan pantas, tentu ia akan mengalami hambatan dalam berkarya dan berprestasi. Pada kondisi yang lebih serius, misalnya jika seorang individu suka melepas pakaian secara tiba-tiba di depan umum, tentu hal ini sangat berbahaya termasuk berbahaya untuk keselamatan mereka. Keterampilan bina diri juga sangat memengaruhi kesehatan, misalnya kesehatan mulut dan gigi; kesehatan kulit, kesehatan reproduksi dan lain-lain.
Keterampilan bina terdiri terdiri dari banyak hal, di antaranya: mandi, makan (pakai tangan, sendok, sendok garpu, sumpit, garpu pisau), minum (dari gelas, cangkir, sedotan), menggosok gigi, keramas, buang air kecil (BAK), buang air besar (BAB), menyisir rambut, menggunting kuku, membersihkan telinga, cuci tangan, cuci muka, cuci kaki, berpakaian (pakaian dalam, baju luar, kaos, kemeja, rok, dan lain-lain), memakai sepatu (bertali, tidak bertali), memakai kaos kaki, membersihkan organ reproduksi, mencocokan/menyesuaikan pakaian, menjaga tubuh sendiri dan menghormati tubuh orang lain dan lain-lain. Pada perempuan, ada keterampilan bina diri khusus, seperti: berdandan dan merias wajah, membersihkan dan merapikan bulu-bulu di ketiak dan organ intim, memakai dan melepas pembalut (termasuk membuang pembalut bekas) dan memakai perhiasan. Pada laki-laki juga ada keterampilan bina diri yang khusus, seperti: bercukur, membersihkan merapikan buku-bulu di ketiak dan alat vital, dan membersihkan alat vital.
Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana cara mengajarkan keterampilan bina diri kepada penyandang autis? Sebelum kita membahas kepada bagaimana caranya, maka yang paling perlu dipahami adalah bahwa keterampilan bina diri harus diajarkan kepada penyandang autis dari sejak dini, bahkan dari sebelum diagnosa turun. Selain itu, untuk lebih memudahkan anak memahami kapan keterampilan bina diri itu dikerjakan, maka perlu dibuat suatu urutan kegiatan sehari (Sequence of Daily Activities), mulai dari anak bangun tidur di pagi hari sampai dengan anak tidur di malam hari. Berikut beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengajarkan keterampilan bina diri kepada penyandang autis:
- Tentukan kegiatan apa yang hendak diajarkan kepada anak! Perhatikan apa yang anak sudah bisa dan perhatikan apa yang anak belum bisa! Mulai dari hal yang paling kecil, paling mudah, dan paling mungkin untuk dilakukan anak!
- Buat urutan (sequence) dari apa yang akan diajarkan! Gunakan media sebagai alat bantu visualisasi, misalnya gambar/foto yang menunjukkan urutan dalam melakukan suatu aktifitas tertentu! Contoh : Urutan gambar Menggosok Gigi: 1. Ambil sikat gigi dan pasta gigi. 2. Taruh pasta gigi ke kepala sikat gigi secukupnya. 3. Sikat gigi. Gigi bagian depan, samping, belakang, atas dan bawah. 4. Kumur-kumur. 5. Selesai.
- Waktu mengajar/melatih anak, jadilah “cermin” untuk anak sehingga anak dapat melihat dan meniru. Misalnya: Saat mengajar menggosok gigi, ayah/ibu berdiri di hadapan anak dan melakukan setiap tahap dari aktifitas sehingga anak dengan mudah meniru.
- Latihlah anak melakukan hal tersebut secara berulang-ulang hingga anak mahir tanpa harus dipandu atau dibantu!
- Saat belajar, intonasi dan volume suara harus mantap sehingga anak dapat menangkap dan memahami arahan dan instruksi dengan baik!
- Jika anak tidak bisa melakukan, berikan bantuan, tetapi bantuan yang paling minimal!
- Anak bisa atau tidak, berilah dia komentar positif sehingga anak termotivasi untuk bisa!
- Suatu aktifitas harus diajarkan berulang-ulang sampai anak benar-benar menguasai.
- Jika anak tampak sulit melakukan atau menguasai suatu aktifitas, lakukan evaluasi! Ini berguna untuk mengetahui apa yang menjadi penyebab hal tersebut. Misalnya: Apakah kegiatan tersebut terlalu kompleks, apakah cara caregivers (orangtua/guru/pengasuh) tidak tepat dan lain-lain.
- Pada umumnya orang terampil melakukan sesuatu karena dilakukan secara terus-menerus. Jadi, generalisasi sangat perlu. Jangan hanya dilakukan pada saat jam belajar! Misalnya: Latihan menggosok gigi secara mandiri tidak hanya dilakukan saat jam belajar, tetapi pada setiap waktu menggosok gigi. Dengan demikian, anak akan lebih mudah dan cepat mengusai keterampilan menggosok gigi.
Sedemikian pentingnya keterampilan bina diri sehingga setiap orang, termasuk penyandang autis harus menguasainya. Tidak ada alasan untuk menunda mengajarkan keterampilan bina diri kepada penyandang autis apalagi sampai tidak mengajarkannya. Harus dimulai sedari dini, bahkan sebelum diagnosa turun. Jangan berpikir bahwa keterampilan bina diri yang dianggap sederhana dan mudah tersebut akan secara otomatis akan dapat dikuasai oleh anak ketika ia berusia tertentu! Sebaliknya, sangat besar kemungkinan, semakin anak besar, maka semakin banyak kesulitan yang dihadapi dalam mengajarkan keterampilan bina diri padanya. Misalnya: Tubuhnya sudah besar, bahkan lebih besar dari caregiversnya; jika dia perempuan, akan tambah sulit jika ia sudah pubertas dan menstruasi. (SRP)