Oleh: Susi Rio Panjaitan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pada Pasal 9 Ayat (1) dalam undang-undang ini dikatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Jadi, anak penyandang autis berhak memperoleh pendidikan. Sayangnya, banyak anak penyandang autis yang tidak mendapatkan pendidikan. Padahal, pendidikan sangat dibutuhkan untuk perkembangan anak penyandang autis agar mereka dapat mandiri, berkarya dan berprestasi. Pemahaman banyak orang tentang pendidikan juga menjadi penghambat. Contohnya: Banyak orang yang berpikir bahwa untuk memperoleh pendidikan maka anak harus “masuk sekolah”. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat (1) tertulis: “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.” Jadi, pendidikan tidak sama dengan “bersekolah”. “Bersekolah” hanya merupakan salah satu upaya untuk memperoleh pendidikan.
Keunikan anak penyandang autis sering dianggap sebagai masalah sehingga anak tidak memperoleh pendidikan. Kondisi masing-masing anak penyandang autis berbeda satu sama lain, dan tidak semua dari mereka yang dapat “bersekolah”. Walaupun demikian, bukan berarti mereka tidak dapat dididik. Semua anak penyandang autis mempunyai kemampuan untuk dididik dan berhak memperoleh pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam Pasal 1 Ayat (1) mengatakan bahwa penyandang disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak. Jangka waktu lama yang dimaksud dalam ayat ini adalah paling singkat 6 (enam) bulan dan/atau bersifat permanen (Penjelasan Pasal 4 Ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas). Undang-undang ini pada bagian penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Huruf c) Bagian (b) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial, di antaranya autis. Jadi, dengan merujuk pada undang-undang ini, dapat dikatakan bahwa anak penyandang autis adalah penyandang disabilitas. Dengan demikian, seperti yang tertulis dalam undang-undang ini, tepatnya pada Pasal 5 Ayat (1) Huruf (e), anak penyandang autis memiliki hak pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 1 menjelaskan beberapa jalur yang dapat ditempuh untuk memperoleh pendidikan, yaitu pendidikan formal, pendidikan nonformal dan pendidikan informal. Pendidikan formal, yaitu jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi; pendidikan nonformal, yaitu jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang; dan pendidikan informal, yaitu jalur pendidikan keluarga dan lingkungan (Pasal 1 Ayat (11, 12, 13)). Jadi, pendidikan dini untuk anak penyandang autis dapat ditempuh melalui jalur pendidikan formal, nonformal dan informal.
Pendidikan Formal
Anak penyandang autis boleh menempuh jalur pendidikan formal di sekolah reguler. Ini dikenal dengan nama pendidikan inklusif. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, dalam Pasal 1, 2 dan 3 dikatakan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. Setiap peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, sosial, atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya. Peserta didik yang memiliki kelainan tersebut di antaranya adalah anak penyandang autis.
Biasanya, anak penyandang autis yang memiliki kemampuan tinggi (high-functioning autism) dapat menempuh jalur pendidikan formal. Mereka belajar di sekolah umum seperti anak lain yang tidak menyandang autis, mulai dari jenjang Taman Kanak-kanak, SD, SMP, SMA hingga Perguruan Tinggi. Ada dari antara mereka yang bahkan mampu menyelesaikan pendidikan sampai ke jenjang S2 dan S3. Pendidikan formal di jenjang SD dan SMP dapat ditempuh oleh anak penyandang autis melalui pendidikan luar sekolah. Pendidikan luar sekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan di luar sekolah baik dilembagakan maupun tidak (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah Pasal 1 (Ayat) 1)
Selain sekolah umum/regular, pendidikan formal dalam dikecap anak penyandang autis melalui pendidikan khusus. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 32 32 Ayat (1) menerangkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Sekolah Luar Biasa (SLB) adalah lembaga pendidikan formal yang melayani pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus.
Pendidikan Nonformal
Jalur pendidikan nonformal dapat dijadikan pilihan untuk anak penyandang autis. “Pendidikan nonformal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik” (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 Ayat (2 dan 3)). Anak penyandang autis dapat menempuh jalur pendidikan ini, yakni Kelompok Bermain (KB)/Taman Kanak-kanak (TK); pendidikan kesetaraan paket A (setara SD), paket B (setara SMP) dan paket C (setara SMA); pelatihan; kelompok belajar dan kursus ( misalnya kursus memasak, menjahit, musik, bahasa) dan lain-lain. Hasil pendidikan nonformal dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan mengacu pada standar nasional pendidikan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 Ayat (6)).
Pendidikan Informal
Jalur lain yang dapat dijadikan pilihan untuk anak penyandang autis adalah pendidikan informal. Jalur pendidikan ini menekankan pada peran keluarga dan lingkungan. Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Hasil pendidikan dapat diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan ((Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 27 Ayat (1 dan 2)).
Sekolahrumah (homeschooling) saat ini dijadikan oleh banyak orangtua sebagi pilihan jalur pendidikan untuk anak penyandang autis. Dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2014 tentang Sekolahrumah Pasal 1 Ayat (4) tertulis: “Sekolahrumah adalah proses layanan pendidikan yang secara sadar dan terencana dilakukan oleh orangtua/keluarga di rumah atau tempat-tempat lain dalam bentuk tunggal, majemuk, dan komunitas dimana proses pembelajaran dapat berlangsung dalam suasana yang kondusif dengan tujuan agar setiap potensi peserta didik yang unik dapat berkembang secara maksimal.” Jadi, orangtua/keluarga menjadi faktor yang sangat menentukan. Dalam ayat (5,6 dan 7) dijelaskan bahwa sekolahrumah tunggal adalah layanan pendidikan berbasis keluarga yang dilaksanakan oleh orangtua dalam satu keluarga untuk peserta didik dan tidak bergabung dengan keluarga lain yang menerapkan sekolahrumah tunggal lainnya. Sekolahrumah majemuk adalah layanan pendidikan berbasis lingkungan yang diselenggarakan oleh orangtua dari 2 (dua) atau lebih keluarga lain dengan melakukan 1 (satu) atau lebih kegiatan pembelajaran bersama dan kegiatan pembelajaran inti tetap dilaksanakan dalam keluarga. Sekolahrumah komunitas adalah kelompok belajar berbasis gabungan sekolahrumah majemuk yang menyelenggarakan pembelajaran bersama berdasarkan silabus, fasilitas belajar, waktu pembelajaran, dan bahan ajar yang disusun bersama oleh sekolahrumah majemuk bagi anak-anak sekolahrumah, termasuk menentukan beberapa kegiatan pembelajaran yang meliputi oiahraga, musik/seni, bahasa dan lainnya. Jika anak lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan, anak dapat mendaftar pada satuan pendidikan yang lebih tinggi dan/atau memasuki lapangan kerja. (SRP)