Oleh: Susi Rio Panjaitan
Pada umumnya, anak-anak penyandang autis mengalami kesulitan dalam mengelola emosi. Mereka kesulitan dalam mengatur dan mengekspresikan perasaan dengan tepat. Akibatnya, sering terjadi ledakan emosi seperti tantrum. Tantrum adalah suatu perilaku dimana orang, terutama anak-anak, mengungkapkan rasa frustasinya dengan emosi yang sangat kuat (meledak-ledak) seperti menangis; marah; berteriak; menjerit-jerit dengan histeris, membenturkan kepala ke dinding atau lantai; menghentak-hentakkan kaki dengan kuat ke lantai, dinding atau barang-barang yang ada di dekatnya; menghempas-hempaskan tubuhnya ke lantai; berguling-guling; menjambak rambutnya sendiri; dan menggigit tangannya sendiri. Bahkan, ia bisa menyerang dan menyakiti orang lain yang ada di dekatnya, misalnya menjambak, menggigit, atau mencubit orang lain. Biasanya, tantrum terjadi karena kemampuan berkomunikasi yang terbatas dan keterbatasan kemampuan dalam memroses dan memahami informasi dengan logis. Apabila anak tidak mampu mengkomunikasikan dengan baik apa yang ia inginkan atau rasakan, maka orang lain tidak memahaminya. Karena orang lain tidak paham, maka respon mereka tidak sesuai dengan apa yang diharapkan anak. Hal ini membuat anak menjadi emosional dan frustasi. Apabila anak tidak mampu mengelola emosi yang muncul dengan baik, maka ia akan berperilaku tantrum. Misalnya: anak ingin makan es krim dan tidak mau belajar. Ia memberitahukan hal ini kepada ibunya dengan “bahasa” yang tidak dipahami oleh ibunya. Karena tidak memahami apa yang disampaikan anak, bukannya menunda belajar dan memberikan kepada anak es krim yang ia inginkan, si ibu malah memaksa anak untuk belajar. Ibu berpikir anak harus belajar karena itu baik untuknya. Anak tidak memahami mengapa ibu tidak memberinya es krim dan malah memaksanya belajar. Akibatnya, anak menjadi emosinal dan tantrum.
Bentuk lain dari ketidakmampuan mengelola emosi pada anak penyandang autis adalah tertawa terbahak-bahak dengan keras tanpa diketahui apa yang menjadi penyebabnya; dan menangis tersedu-sedu dengan alasan yang tidak dipahami oleh orang lain. Kondisi ini dapat mempengaruhi emosi orang-orang yang ada di sekitar mereka, misalnya orangtua, saudara, teman, guru/terapis dan pengasuh. Mereka bisa menjadi sedih atau marah kepada anak. Bahkan, dapat membuat mereka melakukan kekerasan kepada anak dalam bentuk kekerasan fisik (mencubit; memukul), dan kekerasan psikis (memarahi; memaki; mengabaikan). Ini sangat tidak dibenarkan dan melanggar hukum karena merugikan serta membahayakan kesehatan dan keselamatan anak. Walaupun keterampilan mengelola emosi pada anak penyandang autis tidak muncul secara alamiah sebagaimana halnya anak yang tidak menyandang autis, keterampilan mengelola emosi dapat diajarkan kepada mereka sedari dini.
Mengidentifikasi Apa yang Diinginkan
Anak penyandang autis perlu diajar untuk mengidentifikasi apa yang mereka inginkan. Misalnya: ingin es krim; ingin main; ingin ikut mama ke pasar; tidak mau belajar; tidak mau berenang; dan lain-lain. Ini dapat diajarkan dengan metode “bermain pura-pura”. Jika anak sudah memiliki kemampuan verbal (berbicara) maka dapat dilakukan dengan berbicara. Pada anak yang belum verbal, keterampilan ini dapat diajarkan dengan tulisan atau gambar/foto.
Mengidentifikasi Emosi
Mengidentifikasi emosi dapat diajarkan dengan menggunakan gambar, foto dan video supaya anak memiliki gambaran yang konkrit tentang emosi. Selain itu ajarkan juga kepada anak mengapa emosi itu dapat muncul. Misalnya: tertawa karena senang atau karena ada yang lucu; menangis karena sedih atau sakit; dan lain sebagainya.
Mengidentifikasi Apa yang Dirasakan
Jika anak sudah memahami berbagai emosi, maka anak dapat diajarkan mengidentifikasi apa yang ia rasakan, misalnya: sedih, senang atau marah. Anak juga harus ditolong untuk memahami mengapa ada emosi tersebut saat itu padanya. Misalnya: mengapa ia tertawa; mengapa ia sedih; mengapa ia senang; dan lain-lain.
Menyampaikan Apa yang Diinginkan dan Dirasakan
Anak perlu memahami bahwa ada kalanya ia harus menyampaikan apa yang ia inginkan atau rasakan kepada orang lain. Oleh karena itu, anak harus diajarkan dan dilatih untuk menyampaikan keinginan dan perasaannya kepada orang yang tepat dengan cara yang tepat. Misalnya: Jika anak ingin es krim, maka anak dapat menyampaikan keinginannya itu kepada ibu. Caranya: bilang kepada ibu dengan berbicara (jika anak sudah verbal) atau bilang kepada ibu dengan tulisan atau gambar (jika anak belum verbal). Sebagai konsekuensinya, orang yang diajak bicara (misalnya: ibu) harus dapat merespon dengan tepat. Perlu diingat bahwa merespon dengan tepat bukan berarti harus mengabulkan saat itu juga apa yang anak mau.
Mengelola Emosi
Ada kalanya anak tidak mendapat respon seperti yang ia harapkan. Hal ini dapat menjadi stimulus yang menyebabkan terjadinya berbagai emosi negatif pada anak. Oleh karena itu anak harus dilatih untuk mengelola emosinya dengan baik. Langkah-langkah berikut dapat dilakukan.
)) Melatih Pernafasan
Saat anak merasa kesal, anak dapat diajar untuk menarik napas panjang dan dalam, kemudian dihembuskan dengan perlahan melalui hidung dan mulut sambil memejamkan mata. Ini dapat dilakukan kapan pun juga dengan posisi yang paling nyaman untuk anak, seperti duduk, berdiri atau berbaring di tempat tidur atau matras. Melatih pernafasan dapat dilakukan secara berulang-ulang sampai anak merasa tenang.
)) Ruang Tenang
Ketika anak tantrum di sekolah, membawa anak ke ruang tenang menjadi sangat menolong. Ruang tenang adalah suatu ruangan yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga aman dan nyaman untuk anak. Misalnya: seluruh bagian pintu, lantai dan dinding dilapisi dengan busa yang tebal tetapi empuk sehingga tidak berbahaya jika anak membantingkan tubuh ke lantai atau dinding; tidak ada perabotan sama sekali; tidak ada jendela apalagi yang terbuat dari kaca; suhu udara dingin sehingga nyaman apalagi jika dipadu dengan aroma terapi yang segar. Harus diingat bahwa anak tak boleh ditinggalkan seorang diri di dalam ruang tenang. Seorang caregiver harus menemani anak di dalam ruangan tersebut. Jika ruang tenang tersebut ada di sekolah atau pusat belajar/terapi, maka demi keamanan anak dan caregiver, maka ruangan tersebut harus dilengkapi dengan CCTV yang berfungsi dengan baik.
)) Berbicara dengan Anak
Setelah anak dapat mengatur nafasnya dan ia mulai tenang, maka anak perlu diajak bicara pelan-pelan. Bantu anak untuk mengungkapkan apa ia ingin dan rasakan, baik dengan verbal maupun non verbal (tulisan, gambar)! Tunjukan sikap empati, perduli dan menghargai apa ia rasakan dan inginkan! Dengan dibantu, anak akan lebih mudah berbicara (baik dengan verbal maupun nonverbal) sehingga tingkat emosinya mereda.
)) Memeluk Anak
Pada sebagian anak penyandang autis, pelukan dapat membuatnya nyaman. Tetapi, seorang caregiver (orangtua, guru, terapis, pengasuh) harus benar-benar memastikan apakah anak nyaman dengan pelukan atau tidak. Pelukan yang dirasa anak nyaman dapat membuat emosinya mereda dan tenang. Akan tetapi, etika harus diperhatikan. Tidak masalah jika yang memeluk adalah orangtua anak, tetapi jika yang melakukan adalah orang lain, apalagi yang berjenis kelamin berbeda dengan anak, selain etika dan budaya, pastikan bahwa hal tersebut diketahui dan dizinkan oleh orangtua anak.
)) Mengganti Pakaian Anak
Ada pakaian tertentu yang dapat membuat anak tidak nyaman sehingga menyulut emosi anak, misalnya: yang berbahan kasar; terlalu ketat; dan lain-lain. Banyak orang yang merasa tidak nyaman dengan kain kecil bertulis/bergambar logo/merek yang biasanya terletak di bagian leher/kerah pakaian. Oleh karena itu, perlu dicari tahu apakah pakaian yang membuat anak tidak nyaman sehingga ia emosional. Jika demikian, maka pakaian anak harus diganti. Selain itu, tangisan, gerakan-gerakan tubuh ketika menangis membuat anak berkeringat. Mengganti pakaiannya dengan yang bersih, wangi, lebih longgar dan lembut dapat meredakan emosinya.
)) Memberinya Sesuatu untuk Dipeluk
Ada anak penyandang autis yang merasa tenang ketika emosional jika memeluk sesuatu yang kuat tetapi lembut. Oleh karena itu, memberinya bantal atau guling untuk dipeluk dapat menolong meredakan emosinya.
)) Menyalurkan Energi Anak
Emosi adalah energi sehingga harus disalurkan dengan tepat. Misalnya: mengajaknya melompat di atas trampolin; atau memukul samsak. Dengan demikian, energi anak tersalur dengan baik dan ia dapat tenang kembali.
)) Mandi
Rasa panas dapat membuat anak menjadi emosional sehingga menyejukkan tubuh dengan mandi dapat membuatnya tenang. Selain itu, aliran air sejuk di tubuh dapat menimbulkan rasa nyaman pada anak dan meredakan emosinya.
)) Memijat Perlahan
Ada anak penyandang autis yang merasa nyaman dengan pijatan yang lembut dan perlahan. Oleh karena itu, memberikan pijatan pada bagian tertentu dengan menggunakan minyak pijat yang tepat ketika anak emosional dapat membuatnya tenang. Misalnya: memijat kaki, tangan atau pundak anak. Gunakan minyak pijat dengan aroma yang disukai oleh anak! Pijatan yang lembut dan aroma minyak yang disukai anak dapat membuatnya merasa nyaman dan meredakan emosinya.
)) Mengalihkan Perhatian Anak
Kadang kala yang menjadi penyulut emosi anak adalah sesuatu yang tidak ia dapatkan. Misalnya: anak ingin bermain pisau. Ibu tidak memberikan. Anak memaksa, ibu tetap tidak mau memberikan. Akhirnya anak menangis dan tantrum. Agar anak tidak emosional atau emosi anak mereda, maka perhatian anak dapat dialihkan. Misalnya: ganti bermain pisau, maka ibu memberinya mainan atau mengajaknya bermain sepeda.
)) Membelai, Mengusap dan Menepuk-nepuk
Sama halnya dengan pelukan, ada anak penyandang autis yang nyaman dengan belaian, usapan dan tepukan yang lembut. Mengusap atau membelai dengan lembut kepala, punggung atau lengan anak; dan menepuk dengan lembut lengan atau punggung adalah cara yang dapat dilakukan untuk membantu mereka mengelola emosi.
)) Menggunakan Alat Bantu
Ada kalanya anak membutuhkan sesuatu kala ia emosional. Pada anak penyandang autis yang mengalami masalah sensori, memberikan alat bantu yang ia butuhkan akan menolong. Misalnya: memberikan bola kecil dan lembut sehingga dapat ia remas-remas. Ketika ia meremas-remas bola tersebut, energinya menjadi tersalur, ia merasa nyaman dan perhatiannya menjadi beralih dari hal yang membuatnya jengkel kepada bola. Ini dapat membuat emosinya mereda dan ia tenang kembali. (SRP)