Oleh: Susi Rio Panjaitan
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (2), anak yang berhadapan dengan hukum adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban tindak pidana, dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Jadi, anak yang berhadapan dengan hukum terdiri dari anak yang berkonflik dengan hukum; anak yang menjadi korban tindak pidana; dan anak yang menjadi saksi tindak pidana. Anak adalah individu yang sedang dalam proses perkembangan di segala aspek, baik aspek fisik-motorik, kognitif, sosio-emosional, bahasa-komunikasi maupun moral-spritual. Anak merupakan harapan dan generas penerus dalam keluarga, bangsa dan agama. Agar anak kelak besar dan dewasa dapat menjadi individu yang sehat, bahagia, produktif dan kreatif, berakhlak mulia serta mampu memikul harapan sekaligus berbagai tanggung jawab sosial, maka anak harus mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Selain itu, anak juga harus mendapatkan perlindungan terhadap pemenuhan hak-haknya.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangan tersebut, bisa jadi anak berhadapan dengan hukum, baik sebagai saksi tindak pidana; korban tindak pidana maupun pelaku tindak pidana. Pada setiap situasi, anak harus ditolong dan dilindungi sehingga hak-hak mereka sebagai anak tetap mereka dapatkan dan hambatan tumbuh kembang akibat kondisi berhadapan dengan hukum dapat diminimalisir. Bahkan, sekali pun seorang anak diduga sebagai pelaku tindak pidana, dengan tanpa mengesampingkan perbuatan dan konsekuensi hukum dari perbuatannya tersebut, ia tetap harus ditolong dan dilindungi. Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 Ayat (1 dan 2) huruf (b) dikatakan bahwa pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dalam Pasal 59A undang-undang ini juga dijelaskan bahwa perlindungan khusus tersebut dilakukan melalui upaya penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan penyakit dan gangguan kesehatan lainnya; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; pemberian bantuan sosial bagi anak yang berasal dari keluarga tidak mampu; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses peradilan.
Anak yang Berkonflik dengan Hukum
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tepatnya dalam Pasal 1 Ayat (3) menjelaskan bahwa anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana. Tindak pidana adalah suatu perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan pelakunya dapat dipidana, misalnya mencuri; membunuh; memperkosa; terorisme; pornografi; tindak pidana informasi dan transaksi elektronik; kekerasan; tindak pidana narkotika; dan lain-lain. Meskipun anak diduga sebagai pelaku tindak pidana, dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal (3) dijelaskan bahwa setiap anak dalam proses peradilan pidana berhak diperlakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kebutuhan sesuai dengan umurnya; dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum dan bantuan lain secara efektif; melakukan kegiatan rekreasional; bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, serta merendahkan derajat dan martabatnya; tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumur hidup; tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang paling singkat; memperoleh keadilan di muka pengadilan anak yang objektif, tidak memihak, dan dalam sidang yang tertutup untuk umum; tidak dipublikasikan identitasnya; memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh anak; memperoleh advokasi sosial; memperoleh kehidupan pribadi; memperoleh aksesibilitas, terutama bagi anak cacat; memperoleh pendidikan; memperoleh pelayananan kesehatan; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Sistem Peradilan Pidana Anak harus dilaksanakan berdasarkan asas pelindungan; keadilan; nondiskriminasi; kepentingan terbaik bagi anak; penghargaan terhadap pendapat anak; kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; pembinaan dan pembimbingan anak; proporsional; perampasan kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir; dan penghindaran pembalasan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 2).
Ketika akhirnya anak harus dikenai pidana, ia berhak untuk mendapat pengurangan masa pidana; memperoleh asimilasi; memperoleh cuti mengunjungi keluarga; memperoleh pembebasan bersyarat; memperoleh cuti menjelang bebas; memperoleh cuti bersyarat; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal ini dijelasan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 4.
Sistem Peradilan Pidana Anak juga wajib mengutamakan pendekatan keadilan restoratif yang meliputi: penyidikan dan penuntutan pidana anak yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak; persidangan anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum; dan pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana atau tindakan (Pasal 5 Ayat (1 dan 2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak). Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (6)).
Di sam[ing itu, dalam Sistem Peradilan Pidana Anak, penyidikan dan penuntutan pidana serta persidangan wajib diupayakan diversi. Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana yang bertujuan untuk mencapai perdamaian antara korban dan anak; menyelesaikan perkara anak di luar proses peradilan; menghindarkan anak dari perampasan kemerdekaan; mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 5 Ayat (3) dan Pasal 6).
Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (4), anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak korban adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang disebabkan oleh tindak pidana. Tindak pidana yang dialami oleh anak dapat menimbulkan dampak negatif pada anak baik dalam jangka pendek, panjang, bahkan permanen. Misalnya: rasa sakit akibat dipukul; ancaman penyakit mematikan yang menyerang organ reproduksi atau infeksi menular seksual akibat diperkosa; rasa malu, takut, tertekan, depresi dan gangguan psikologis lainnya; kecacatan; dan lain-lain. Perlu dipahami, trauma yang dialami anak akibat tindak pidana yang ia alami belum tentu serta merta hilang sekalipun proses persidangan sudah selesai dan pelaku sudah dihukum.
Pengetahuan anak korban tentang hak-hak mereka sangat terbatas dan mereka juga sangat bergantung pada orang dewasa untuk membawa pelaku ke pengadilan. Selain itu, keterbatasan ekonomi, budaya, norma sosial dan diskriminasi juga dapat menghalangi anak keluarganya dalam mengakses sistem peradilan. Dalam Pasal 90 Ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dikatakan bahwa anak korban berhak atas upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga; jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial; dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. Selain itu, dalam Pasal 91 undang-undang ini juga dijelaskan bahwa berdasarkan pertimbangan atau saran pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial atau penyidik dapat merujuk anak korban ke instansi atau lembaga yang menangani pelindungan anak atau lembaga kesejahteraan sosial anak. Jika anak korban memerlukan tindakan pertolongan segera, penyidik, tanpa laporan sosial dari pekerja sosial profesional, dapat langsung merujuk anak korban ke rumah sakit atau lembaga yang menangani pelindungan anak sesuai dengan kondisi anak korban. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian kemasyarakatan dari pembimbing kemasyarakatan dan laporan sosial dari pekerja sosial profesional atau tenaga kesejahteraan sosial, anak korban berhak memperoleh rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, dan reintegrasi sosial dari lembaga atau instansi yang menangani pelindungan anak. Anak korban yang memerlukan pelindungan dapat memperoleh pelindungan dari lembaga yang menangani pelindungan saksi dan korban atau rumah perlindungan sosial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Anak yang menjadi Saksi Tindak Pidana
Menurut Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Pasal 1 Ayat (5), anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri. Bagi anak, menjadi saksi dari suatu tindak pidana yang ia dengar, lihat atau dialami sendiri bukan hal yang mudah. Apa yang ia dengar, lihat atau alami dapat menimbulkan trauma atau masalah kejiwaan yang serius. Apalagi jika anak mengalami ancaman dari pelaku atau pihak lain yang ingin melindungi pelaku. Selain itu, terutama bagi anak yang masih kecil, kemampuan berbahasa dan berkomunikasi masih terbatas. Oleh karena itu, bagi anak, menjadi saksi tindak pidana bukan hal yang mudah dan sama sekali tidak menyenangkan. Itulah sebabnya, menjadikan anak sebagai saksi suatu tindak pidana harus benar-benar memperhatikan kondisi psikologis dan kemampuan anak. Kesejahteraan psikologis dan hak-hak anak harus dikedepankan. (SRP)