Oleh: Susi Rio Panjaitan
Flexing adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu perilaku dimana seseorang suka memamerkan sesuatu terkait dirinya secara berlebihan. Misalnya: suka memamerkan harta kekayaannya, seperti: mobil, rumah; memamerkan barang-barang bermerk yang ia kenakan seperti: sepatu, tas, jam tangan, perhiasan; memamerkan prestasi yang ia capai; memamerkan liburannya seperti: berlibur ke luar negeri; menginap di hotel mewah, makan di restoran super mahal, naik jet pribadi, naik kapal pesiar; memamerkan aktifitas sosialnya seperti: menyumbang panti-panti tertentu, menyumbang ke rumah ibadah; bahkan ada yang memamerkan saldo di rekening banknya. Selain itu, ada juga yang pamer wajah, tubuh dan perawatan tubuhnya. Biasanya, flexing dilakukan melalui unggahan foto atau video di media sosial.
Pada dasarnya, semua orang memiliki kecenderungan untuk pamer. Akan tetapi, jika dilakukan secara berlebihan menjadi tidak sehat bahkan berbahaya. Dengan berperilaku flexing orang ingin menunjukkan siapa dirinya; ingin diakui, diterima, dikagumi bahkan dipuja. Perilaku flexing yang sangat tinggi harus diwaspadai karena tidak sehat dan berbahaya. Orang menjadi tidak dapat mengatur dan menggunakan waktu dengan baik. Ia hanya menghabiskan waktu untuk memantau akun sosial media para artis, selebgram atau para crazy rich yang suka flexing , hanya untuk mencari rekomendasi dan meniru gaya mereka. Akibatnya, apa yang menjadi tugas utamanya tidak dapat dikerjakan. Jika ia seorang pelajar, maka sudah pasti ia tidak dapat berkonsentrasi penuh terhadap tugas sekolahnya. Selain itu, perilaku flexing menghabiskan banyak uang. Banyak uang dipakai dengan sangat tidak efektif. Kondisi ini dapat membuat orang yang berperilaku flexing jatuh miskin. Jika tidak mampu menahan diri, maka sangat mungkin menjadi berhutang, mencuri, korupsi, menipu, berbohong, melakukan transaksi jual beli tidak halal, prostitusi dan tindakan melawan hukum lainnya. Jika sudah begini, maka yang bersangkutan jadi berhadapan dengan hukum. Semua dilakukan demi mendapatkan uang yang banyak agar dapat flexing.
Perilaku flexing yang sering diidentikkan sebagai gaya hidup hedon dapat terjadi karena: individu tidak memiliki gambar diri yang positif; tidak nyaman dengan diri sendiri; tidak dapat menerima diri sendiri; mencari perhatian; meniru gaya hidup orangtua; pengaruh rekan sebaya; meniru perilaku idolanya; ingin diakui; ingin diterima; ingin menunjukkan diri; tidak mau kalah dan ingin dianggap lebih unggul dari yang lain; ingin dihargai; pola asuh yang terlalu permisif; atau memiliki pengalaman buruk seperti ditolak atau dirundung/dibully. Internet, kemajuan teknologi digital dan pertumbuhan media sosial yang sangat pesat membuat flexing semakin mudah dilakukan. Kemudahan ini membuat semakin banyak orang berperilaku flexing. Perilaku flexing tidak hanya terjadi pada orang dewasa, tetapi juga terjadi pada anak-anak.
Sebagai perilaku yang tidak sehat, flexing menimbulkan dampak buruk terhadap perkembangan anak, antara lain: anak tidak dapat menggunakan waktu dengan baik; studi terganggu; menjadi konsumtif; tidak memiliki prioritas pemenuhan kebutuhan; memiliki rasa bangga yang semu; tidak memiliki empati kepada orang lain; tidak peka terhadap perasaan orang lain; anak menjadi tidak realistis; hidup dalam kepalsuan; berpotensi melakukan tindakan amoral; berpotensi melakukan tindakan melawan hukum; sombong; tidak mau kalah; mengalami gangguan psikologis dan sangat mungkin mengalami gangguan kesehatan mental yang serius.
Apabila flexing sudah menjadi perilaku atau gaya hidup anak, tentu tidak mudah melakukan perbaikan. Oleh karena itu, pencegahan selalu lebih baik. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan guna mencegah anak berperilaku flexing, antara lain: gaya hidup yang diteladankan orangtua; pendidikan nilai; pola asuh; berpikir kritis; selektif dalam bergaul; serta menerapkan gaya hidup sederhana dan bermakna.
Gaya Hidup yang Diteladankan Orangtua
Selain karena faktor pengaruh teman sebaya dan pengaruh buruk teknologi dan internet, gaya hidup yang ditunjukkan orangtua berpengaruh terhadap perilaku anak. Apabila orangtua bergaya hidup mewah dan flexing, maka anak akan meniru. Bahkan, perilaku flexing anak bisa lebih parah dibanding dengan perilaku flexing orangtuanya. Oleh karena itu, orangtua harus dapat berperilaku bijaksana. Jadilah teladan yang baik bagi anak-anak sendiri! Berilah mereka teladan hidup yang baik, sehat dan berguna!
Pendidikan Nilai
Agar memiliki arah dan tujuan hidup, orang harus punya nilai-nilai yang dapat ia jadikan sebagai pondasi dan pegangan hidup. Pada umumnya, keluarga memiliki nilai-nilai tertentu. Nilai-nilai yang dipegang oleh keluarga biasanya berasal dari budaya dan ajaran agama yang mereka anut. Pendidikan nilai adalah hal yang harus diberikan kepada anak sedari dini. Misalnya: hidup sederhana dan bermakna; rendah hati; tidak suka pamer; berempati kepada orang lain; peka terhadap perasaan orang lain; senang menolong dan berbagi; tidak mendewakan uang dan harta; tidak memandang orang lain semata-mata karena rupa atau kekayaannya; dan tidak meletakkan harga diri pada kemewahan hidup. Berkarya dan berprestasi sehingga memiliki hidup yang berguna jauh lebih baik dari pada flexing. Selain itu, anak juga perlu dilatih untuk bersyukur kepada Tuhan atas apa yang ia miliki sehingga ia dapat menikmati hidup dengan gembira tanpa membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain.
Pola Asuh
Pola asuh dapat menyebabkan anak berperilaku flexing. Jika anak terlalu dimanja, diperlakukan dengan sangat permisif sehingga bebas melakukan apapun yang ia mau, dapat membuatnya menjadi berperilaku flexing. Orangtua perlu menerapkan pola asuh dengan bijaksana. Tahu kapan bersikap otoriter, demokatis atau permisif. Ada kalanya menanyakan dan memperhitungkan keinginan atau pendapat anak, dan ada waktunya membiarkan anak bebas melakukan sesuatu yang ia kehendaki. Akan tetapi, ada juga waktu dimana orangtua harus bersikap tegas. Orangtua yang membuat keputusan, dan anak harus taat.
Berpikir Kritis
Pada akhirnya, yang didapatkan oleh para pelaku flexing adalah kesemuan. Artinya, apa yang diterima sebagai hasil flexing bukanlah hal yang sesungguhnya. Ketika kita mendapat ribuan “jempol” dari nitizen, itu bukan berarti bahwa mereka benar-benar kagum kepada kita. Apa artinya punya jutaan followers di media sosial padahal kita tidak memiliki teman yang ril di dunia nyata? Apakah perlu berkorban sedemikian rupa demi disukai oleh orang lain? Apakah kita benar-benar bahagia dengan pencapaian berupa emoji “like” atau “love”? Apakah para nitizen itu benar-benar kagum dengan kita? Apakah mereka benar-benar menyukai kita? Diperlukan kemampuan berpikir kritis untuk dapat menjawab pertanyaan -pertanyaan ini. Oleh karena itu, anak perlu dilatih untuk berpikir jernih dan kritis sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat.
Selektif dalam Bergaul
Dalam perkembangan sosio-emosionalnya, anak membutuhkan berinteraksi dan bergaul dengan orang lain terutama dengan anak-anak yang seusia dengannya. Pergaulan dengan teman sebaya sangat bagus bagi perkembangan anak. Akan tetapi, anak harus diajar seletif dalam bergaul. Baik dan ramah kepada semua orang memang harus, tetapi tidak perlu semua perkataan dan perbuatan teman diikuti.
Menerapkan Gaya Hidup Sederhana dan Bermakna
Perilaku flexing terkait dengan gaya hidup yang mentereng. Harga diri anak tidak tergantung pada barang-barang yang ia punya atau kenakan. Kualitas anak sangat tergantung dari perilakunya. Berkarakter terpuji adalah hal yang sangat berharga. Hidup sederhana dan bermakna. Itulah sebabnya anak perlu didorong untuk rajin belajar, berkarya, berprestasi dan bermanfaat bagi orang lain. (SRP)