Oleh: Susi Rio Panjaitan
Anak penyandang autis adalah kelompok anak dengan keunikan dalam cara berpikir, berperilaku, berkomunikasi, bersosialisasi, serta dalam mengekspresikan keinginan dan emosinya. Dalam penjelasan Pasal 4 Ayat (1) Huruf (b) Undang-undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dikatakan bahwa autis adalah disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial. Walaupun sulit untuk mengetahui secara pasti berapa jumlah anak penyandang autis di Indonesia, diduga kuat jumlah anak yang menyandang autis dari tahun ke tahun bertambah banyak.
Sebagaimana halnya anak-anak yang tidak menyandang autis, anak-anak penyandang autis juga cerdas dan memiliki potensi. Karena segala keunikan yang melekat pada diri mereka, maka anak-anak penyandang autis yang satu tidak dapat dibanding-bandingkan dengan anak penyandang autis lainnya, apalagi dibanding-bandingkan dengan anak-anak yang tidak menyandang autis. Bagaimana pun kondisi mereka, setiap anak penyandang autis pasti memiliki kecerdasan dan potensi tertentu. Ada dari antara mereka yang potensinya dapat terlihat dengan jelas atau mudah terlihat, tetapi ada juga yang potensinya tidak terlihat dengan jelas, sehingga perlu upaya, waktu dan cara khusus untuk dapat melihat dan mengembangkan potensi tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua anak penyandang autis memiliki potensi untuk berkarya dan berprestasi sesuai dengan kondisi mereka masing-masing.
Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, anak penyandang autis memerlukan dukungan, terutama dari kedua orangtuanya. Peran orangtua sangat penting bagi perkembangan anak penyandang autis. Sebagai individu yang sedang berkembang, anak memiliki berkutuhan agar ia dapat bertumbuh dan berkembang dengan optimal. Dalam hal itu, peran orangtua sangat penting dan dibutuhkan. Berikut ini adalah beberapa aspek yang di dalamnya dibutuhkan peran orangtua.
Pengasuhan
Agar dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik, anak penyandang autis harus diasuh dengan baik. Pengasuhan orangtua terhadap anak bertujuan agar anak sehat; bertumbuh dan berkembang dalam segala aspek dengan optimal; berkarakter baik sesuai dengan nilai-nilai budaya, bangsa dan ajaran agama yang dianut; cerdas; dapat berkarya dengan baik; dan berkontribusi positif dalam keluarga, masyarakat, negara bahkan dunia. Pada prinsipnya, pola pengasuhan terhadap anak penyandang autis sama dengan pola pengasuhan kepada anak yang tidak menyandang autis. Orangtua harus tahu kapan harus bersikap demokratis, otoriter dan permisif. Bak bermain layang-layang, orangtua harus tahu kapan “menarik” dan “mengulur” anak. Akan tetapi, penerapan pola asuh, dan kapan serta bagaimana “manarik” dan “mengulur” anak, harus benar-benar memerhatikan kondisi dan keunikan anak.
Pengasuhan yang ideal bagi anak penyandang autis adalah pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan mereka, berdasarkan kondisi khas mereka. Keautisan yang disandang anak tidak boleh menjadi alasan bagi orangtua sehingga menjadi sangat memanjakan dan sangat permisif terhadap anak, atau menjadi over protective. Pengasuhan yang ideal dapat mendukung perkembangan anak penyandang autis sehingga mereka disiplin, mandiri, dan berperilaku tepat.
Selain pola pengasuhan yang ideal, hal lain yang perlu diperhatikan dalam pengasuhan anak penyandang autis adalah kekompakan dan kekonsistenan orangtua. Orangtua harus sepakat dan konsisten dalam mengasuh dan menerapkan pola asuh pada anak. Ketidakkompakan orangtua dalam mengasuh anak akan merugikan dan berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Lingkungan yang Aman dan Kondusif
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya, anak memerlukan lingkungan yang aman dan kondusif. Lingkungan terdekat, terutama dan terpenting adalah rumah dan keluarga. Keluarga dimana seluruh anggota keluarga mengasihi, memahami dan menerima anak serta rumah yang aman dan nyaman sangat berpengaruh bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Sosialisasi dan edukasi terhadap masyarakan terkait autis penting untuk dilakukan agar anggota masyarakat memahami anak-anak penyandang autis dan dapat berperan sebagai “malaikat pelindung” (guardian angel) bagi anak. Orangtua bertugas dan bertanggung jawab memberikan lingkungan, terutama keluarga dan rumah yang aman serta kondusif bagi anak.
Kebutuhan Gizi
Anak membutuhkan asupan gizi yang baik dan memadai agar sehat serta dapat bertumbuh dan berkembang dengan baik. Orangtua harus cermat terhadap pernyataan-pernyataan yang mengatakan bahwa anak penyandang autis memiliki berbagai alergi atau ditubuh mereka terdapat berbagai “racun” sehingga pada anak perlu dilakukan diet dan detoksifikasi. Diet atau upaya detoksifikasi terhadap anak harus dilakukan dalam perawatan dan pengawasan dokter yang ahli di bidang ini. Jika tidak, maka akan berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan anak.
Terapi dan Obat-obatan
Melakukan berbagai bentuk terapi dan mengkonsumsi obat-obata, pada umumnya disarankan untuk anak penyandang autis. Walaupun demikian, orangtua harus berhati-hati dalam memilih terapi dan obat-obatan untuk anak. Walaupun sama-sama didiagnosa sebagai penyandang autis oleh ahli, setiap anak berbeda. Oleh sebab itu, sangat mungkin mereka membutuhkan tatalaksana yang berbeda. Memberikan terapi atau obat-obatan tertentu kepada anak tanpa pemeriksaan ahli yang tepat adalah hal yang sangat berbahaya. Jangan hanya karena orangtua mengetahui pada salah seorang anak penyandang autis dilakukan suatu tindakan terapi tertentu, maka orangtua ikut-ikutan menerapkan hal tersebut pada anaknya. Hal ini belum tentu bermanfaat bagi anak, dan bisa jadi berbahaya.
Pendidikan dan Pengajaran
Selain hak, pendidikan dan pengajaran adalah kebutuhan setiap anak, termasuk hak dan kebutuhan para anak penyandang autis. Pendidikan dan pengajaran yang tepat berpengaruh positif bagi perkembangan mereka. Pendidikan dan pengajaran untuk anak penyandang autis yang satu tidak selalu sama dengan pendidikan dan pengajaran untuk anak penyandang autis lainnya, apalagi dengan anak yang tidak menyandang autis. Sama halnya dengan terapi dan obat-obatan, pendidikan dan pengajaran terhadap anak penyandang autis harus berdasarkan kondisi dan kebutuhan anak yang bersangkutan. Itulah sebabnya, peran orangtua sangat dibutuhkan. Orangtua adalah penanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran untuk anak. Pilihlah sekolah, tempat belajar, program pembelajaran, guru dan kurikulum yang tepat untuk anak!
Pendidikan Karakter dan Penanaman Nilai-nilai Budi Pekerti
Walaupun anak penyandang autis memiliki keunikan dalam berkomunikasi, bersosialisasi, mengekspresikan emosi dan keinginan serta berperilaku, mereka perlu mendapat pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai budi pekerti. Hal ini bertujuan agar mereka dapat bertumbuh menjadi anak yang berkarakter baik. Misalnya: senang berbagi; rajin; sopan; jujur; sabar; tekun; dan tidak mudah menyerah. Pendidikan karakter dan penanaman nilai-nilai budi pekerti dapat dilakukan di rumah, dengan orangtua yang berperan sebagai pendidik. Dapat dilakukan melalui cara-cara sederhana. Misalnya: melatih anak mau berbagi; mengajar anak untuk mengucapkan kata permisi, maaf, terima kasih, dan tolong secara tepat, sabar menunggu giliran; dan lain-lain.
Sosialisasi dan Partisipasi
Dengan segala keunikan yang melekat pada dirinya serta tantangan yang ia hadapi, anak penyandang autis berhak bersosialisasi dan berpartisipasi dalam keluarga, masyarakat dan negara. Agar hak dan kebutuhan mereka akan hal ini terpenuhi, orangtua harus menjalankan perannya dengan baik. Orangtua harus dapat membantu anak, Misalnya: melibatkan anak dalam berbagai kegiatan di rumah dan mendengarkan pendapat anak tentang sesuatu. Misalnya: pendapat anak tentang mau berlibur ke mana.
Beribadah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam Pasal 6 mengatakan bahwa setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya dalam bimbingan orangtua atau wali. Jadi jelas, beribadah adalah hak anak. Orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab membimbing mereka dalam beribadah. Kondisi anak tidak boleh menjadi penghalang atau dijadikan alasan untuk tidak mengizinkan anak beribadah.
Perlindungan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 15 mengatakan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera. Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; pelibatan dalam peperangan; dan kejahatan seksual.
Undang-undang ini dalam Pasal 26 Ayat (1) Huruf (a) mengatakan bahwa orangtua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk melindungi anak. Pada umumnya, anak penyandang autis tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk melindungi dirinya sendiri. Tidak heran ada sangat banyak anak penyandang autis yang menjadi korban kekerasan. Kondisi ini tentu sangat berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan anak. Itulah sebabnya orangtua harus dapat melindungi anak dengan baik. Orangtua harus mempraktekkan upaya-upaya perlindungan terhadap anak, misalnya: tidak menitipkan anak kepada sembarang orang; tidak membiarkan anak sendirian; atau anak harus selalu didampingi oleh orang yang benar-benar bertanggung jawab dan dapat dipercaya. Selain itu, orangtua tidak boleh menjadi pelaku kekerasan kepada anak penyandang autis. (SRP)