DAMPAK KATA-KATA KOTOR DAN BERBAU SEKSUAL YANG DIGUNAKAN ANAK DALAM RELASI SOSIAL BAGI PERKEMBANGANNYA

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Dalam komunikasi dan interaksi sosial pada banyak anak saat ini ditemukan adanya penggunaan kata-kata kotor dan berbau seksual. Mereka tampak dengan santai menggunakan kata-kata kotor dan berbau seksual saat berbicara satu sama lain. Hal ini dapat dilihat dalam komunikasi banyak anak saat bercakap-cakap di rumah, sekolah, dan ruang publik seperti restoran, taman, tempat wisata, dan lain-lain. Bahkan, dalam banyak podcast atau percakapan yang berbasis media sosial yang disebarluaskan dengan teknologi digital, hal ini pun terjadi. Tampaknya tidak ada sensor terhadap hal tersebut.  Tidak tampak rasa risih sedikit pun saat mengucapkan kata-kata kotor dan berbau seksual. Seolah-olah kata-kata yang mereka gunakan tersebut adalah kata-kata biasa, yang pantas digunakan dalam berkomunikasi. Apakah fenomena ini menunjukkan adanya degradasi atau kemerosotan moral dan etika dalam masyarakat, terjadinya pergeseran nilai,  atau pemahaman anak yang sangat terbatas dalam bahasa dan komunikasi? Hal ini tentu tidak boleh dibiarkan, sebaliknya harus menjadi kegelisahan bagi kita, baik kita sebagai orang dewasa, orang tua, pendidik, pengelola lembaga pendidikan, pejabat publik, maupun sebagai anggota masyarakat, karena kata-kata kotor dan berbau seksual yang digunakan anak dalam relasi sosial berdampak buruk bagi perkembangan dan berbagai aspek kehidupannya.

Dampak negatif yang signifikan bagi berbagai aspek perkembangannya dan kehidupan anak akibat penggunaan kata-kata kotor dan berbau seksual oleh anak dalam relasi sosial, antara lain:

  1. Perkembangan Sosial dan Emosional – Anak yang sering menggunakan kata-kata kasar atau tidak pantas akan dihindari atau diejek oleh teman-temannya sehingga anak menjadi terisolasi atau tidak diterima dalam kelompok sosial. Penggunaan bahasa yang tidak pantas juga akan merusak hubungan anak dengan teman-teman sebaya dan orang dewasa. Akibatnya, anak menjadi kurang mendapatkan dukungan sosial. Padahal, dukungan sosial  sangat penting bagi perkembangan emosional anak. Selain itu, anak yang terbiasa menggunakan kata-kata kotor akan mengalami kesulitan dalam berkomunikasi. Ia tidak dapat menyampaikan perasaan dan kebutuhannya dengan cara yang efektif dan konstruktif. Penggunaan kata-kata yang kotor dan berbau seksual juga menunjukkan kurangnya empati dan pemahaman anak terhadap perasaan orang lain. Anak yang tidak mempertimbangkan dampak dari kata-katanya pada orang lain akan mengalami kesulitan dalam membangun hubungan yang sehat.
  2. Kesehatan Mental – Anak yang menggunakan kata-kata kotor atau berbau seksual berisiko terlibat konflik dengan teman sebaya, guru, orang tua, dan orang lainnya. Konfrontasi dan pertengkaran yang terjadi akibat konflik ini dapat menimbulkan stres dan kecemasan yang berkepanjangan pada anak. Bila anak menggunakan bahasa yang tidak pantas, maka ia akan mendapatkan teguran atau hukuman dari orang dewasa, misalnya dari guru atau orang tuanya. Kondisi ini dapat menciptakan lingkungan yang penuh tekanan dan membuat anak merasa cemas. Selain itu, setelah menggunakan bahasa yang tidak pantas, anak mungkin akan merasa bersalah atau malu, terutama jika ia menyadari bahwa perilakunya telah menyakiti orang lain. Perasaan bersalah dan malu yang berulang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan emosional anak. Anak yang sering menggunakan bahasa kasar akan kesulitan dalam mengelola emosi dengan cara yang sehat. Anak menggunakan bahasa yang kasar sebagai cara untuk melampiaskan frustrasi atau kemarahan. Penggunaan bahasa yang tidak pantas di masa kanak-kanak dapat menjadi indikator dan pemicu masalah kesehatan mental di kemudian hari, seperti depresi, kecemasan, atau gangguan perilaku. Anak yang tidak belajar cara berkomunikasi asertif akan menghadapi kesulitan dalam menjalin hubungan yang sehat. Kesulitan ini dapat berdampak negatif pada kesehatan mental anak. Selain itu, anak yang sering terlibat dalam penggunaan bahasa yang kasar dan tidak pantas berisiko mengalami peningkatan tingkat stres dan kecemasan.
  3. Berisiko Berperilaku Agresif – Jika anak sering menggunakan bahasa kasar, ia akan menganggapbahwa agresi verbal adalah cara yang normal dan dapat diterima untuk berinteraksi dengan orang lain. Ini akan memperkuat pola perilaku agresif, baik secara verbal maupun fisik. Sering kali anak anak menggunakan kata-kata kasar sebagai cara untuk mengekspresikan frustrasi atau kemarahan. Jika ini menjadi kebiasaan, anak akan cenderung merespons situasi sulit dengan agresi, daripada mencari solusi yang konstruktif. Anak yang tidak diajarkan cara yang tepat untuk mengelola emosi cenderung menggunakan bahasa kasar sebagai pelampiasan. Tanpa keterampilan mengelola emosi yang baik, anak akan menunjukkan perilaku agresif. Penggunaan kata-kata kotor dan berbau seksual dapat memicu atau memperburuk konflik dengan teman sebaya dan orang dewasa. Situasi konflik yang sering terjadi dapat menyebabkan anak lebih cenderung menggunakan agresi sebagai cara untuk menyelesaikan masalah.
  4. Perkembangan Akademik – Anak yang menggunakan kata-kata kotor atau berbau seksual cenderung melakukan perilaku yang mengganggu di kelas, baik melalui penggunaan bahasa itu sendiri atau melalui reaksi. Gangguan ini akan mengganggu konsentrasi dan proses pembelajaran. Kebiasaan menggunakan bahasa yang tidak pantas juga dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk fokus pada tugas akademik. Anak mungkin akan terganggu oleh pikiran atau percakapan yang tidak pantas. Hal ini tentu saja dapat menghambat kemajuan akademik anak. Selain itu, anak yang sering menggunakan kata-kata kotor akan mengalami banyak konflik dengan guru dan staf sekolah. Hubungan yang tegang dengan otoritas sekolah dapat membuat anak merasa tidak nyaman atau tidak dihargai di lingkungan sekolah. KOndisi ini dapat berdampak negatif pada motivasi belajar anak. Guru mungkin kurang bersedia memberikan perhatian dan dukungan ekstra kepada anak yang sering menggunakan bahasa tidak pantas. Ini dapat mempengaruhi kesempatan anak untuk mendapatkan bantuan yang dibutuhkan untuk berhasil secara akademis. Anak yang dikenal suka menggunakan bahasa kasar atau berbau seksual, kemungkinan akan dijauhi atau dikucilkan oleh teman-teman sekolahnya. Isolasi sosial ini dapat membuat anak menjadi tidak termotivasi untuk terlibat dalam aktivitas akademik dan kolaboratif di sekolah. Anak yang menggunakan bahasa kasar atau seksual mungkin menghadapi konsekuensi disiplin seperti penurunan nilai, skorsing, atau bahkan pengeluaran dari kelas. Konsekuensi ini dapat mengganggu proses belajar anak dan mempengaruhi catatan akademiknya secara keseluruhan. Pengalaman didisiplin yang berulang dapat membuat anak merasa tidak termotivasi atau tidak tertarik untuk berprestasi di sekolah, sehingga berdampak buruk pada pencapaian akademiknya. Selain itu, anak yang menggunakan bahasa kasar mungkin kurang terlibat dalam diskusi kelas, kegiatan kelompok, dan tugas akademik lainnya. Partisipasi aktif adalah kunci untuk pembelajaran yang efektif, sehingga kurangnya keterlibatan dapat menghambat perkembangan keterampilan belajar anak.
  5. Perkembangan Moral dan Etika – Jika anak terbiasa menggunakan bahasa kasar atau seksual, ia akan menganggap bahwa perilaku ini normal dan dapat diterima. Ini akan menghambat perkembangan nilai-nilai moral dan mengaburkan batas antara perilaku yang dapat diterima dan yang tidak. Penggunaan bahasa yang tidak pantas mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap orang lain. Anak yang tidak belajar menghormati orang lain akan kesulitan memahami dan menerapkan konsep etika dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, anak yang menggunakan bahasa kasar mungkin tidak sepenuhnya memahami dampak dari kata-katanya terhadap perasaan orang lain. Tanpa pemahaman ini, anak tidak dapat mengembangkan rasa tanggung jawab atas tindakannya. Penggunaan bahasa tidak pantas juga dapat menyebabkan anak kurang peka terhadap konsekuensi jangka panjang dari tindakannya, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ini dapat menghambat perkembangan moral anak dan membuatnya tidak mampu membuat keputusan etis.
  6. Perkembangan Identitas dan Gambar Diri – Anak yang sering menggunakan kata-kata kotor atau berbau seksual berisiko mengidentifikasi diri dengan perilaku tersebut. Ia akan menginternalisasi label negatif seperti “anak nakal”, “anak tidak punya sopan santun”, “anak yang tidak punya etika”, atau “anak kurang ajar”. Label negative seperti ini dapat merusak pandangan anak tentang dirinya sendiri. Anak yang gemar menggunakan bahasa tidak pantas mungkin cenderung bergaul dengan teman-teman yang memiliki perilaku serupa. Kelompok teman yang seperti ini dapat memperkuat identitas negatif dan menghambat perkembangan identitas positif anak. Selain itu, penggunaan bahasa yang tidak pantas akan menimbulkan reaksi negatif dari teman sebaya, guru, dan orang tua. Hal ini dapat membuat anak merasa ditolak atau tidak diterima, sehingga dapat menurunkan harga dirinya. Setelah menggunakan bahasa yang tidak pantas, anak mungkin merasa malu atau bersalah, terutama jika ia menyadari dampak negatif dari kata-katanya. Perasaan ini dapat mengurangi rasa percaya diri dan merusak gambar diri anak. Anak yang sering mendapat kritik atau hukuman karena penggunaan bahasa yang tidak pantas mungkin mulai percaya bahwa ia adalah orang yang buruk atau tidak berharga. Ini akan menciptakan distorsi dalam persepsi diri anak. Masa kanak-kanak dan remaja adalah periode penting untuk eksplorasi identitas. Anak yang terbiasa menggunakan bahasa kasar akan kesulitan dalam membentuk hubungan yang sehat dan saling menghormati. Ini akan memperkuat identitas negatif dan menurunkan gambar diri anak. Pengalaman negatif dan identitas yang terbentuk selama masa kanak-kanak dan remaja dapat mempengaruhi kepribadian dan gambar diri anak sebagai orang dewasa.
  7. Pembentukan Karakter – Anak yang sering menggunakan kata-kata kotor dan berbau seksual akan menganggap perilaku tersebut sebagai hal yang normal dan dapat diterima. Kondisi ini akan menghambat pembentukan karakter positif seperti sopan, hormat, dan empati. Selain itu, anak yang menggunakan bahasa kasar cenderung bergaul dengan teman-teman yang memiliki perilaku serupa. Ini dapat memperkuat norma-norma perilaku negatif dan menghambat pengembangan karakter yang positif. Kebiasaan menggunakan bahasa kasar dapat terbawa hingga dewasa dan sulit untuk diubah sehingga membentuk karakter anak menjadi buruk.

Perilaku dimana anak suka menggunakan kata-kata kotor dan berbau seksual sudah pasti merugikan tumbuh kembang dan masa depan anak. Selain itu, juga merugikan orang lain. Oleh sebab itu, harus diatasi. Untuk mengatasi masalah ini, orang tua, pendidik, dan masyarakat perlu melakukan berbagai upaya, antara lain:

  1. Menjadi Teladan yang Baik – Anak cenderung meniru perilaku orang dewasa di sekitarnya, terutama orang tua dan guru. Dengan melihat perilaku yang sopan dan menghormati orang lain yang ditunjukkan oleh orang tua atau guru, anak belajar bagaimana seharusnya berperilaku. Ketika anak melihat dan mendengar bahasa yang baik secara konsisten, anak akan mengadopsi kebiasaan ini dalam kehidupan sehari-hari. Dengan memberikan contoh yang baik, orang tua atau guru menanamkan nilai-nilai seperti rasa hormat, kesopanan, dan empati. Anak belajar bahwa komunikasi yang baik dan hormat adalah cara yang tepat untuk berinteraksi dengan orang lain. Dengan melihat perilaku yang tepat yang ditunjukkan orang tua atau guru, anak akan mengenali bahwa penggunaan kata-kata kotor dan berbau seksual adalah perilaku yang tidak dapat diterima dan tidak sesuai norma-norma. Dengan demikian, anak akan menghindari perilaku tersebut.
  2. Mengajarkan Keterampilan Komunikasi Asertif – Keterampilan komunikasi asertif membantu anak mengekspresikan perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya dengan cara yang jelas dan hormat tanpa harus menggunakan bahasa kasar atau seksual. Anak yang belajar berkomunikasi secara asertif cenderung memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi. Ia lebih mampu mengungkapkan dirinya dengan cara yang positif, sehingga mencegah anak dari menggunakan bahasa yang tidak pantas, baik sebagai cara untuk menarik perhatian atau menunjukkan kekuasaan. Dengan keterampilan komunikasi asertif, anak juga belajar bagaimana mengendalikan emosi dan merespons situasi yang menantang dengan tenang dan bijaksana. Ini membantu menghindarkan anak dari penggunaan bahasa yang kasar atau seksual. Komunikasi asertif mendorong terciptanya hubungan yang sehat dan saling menghormati. Anak akan belajar bagaimana menyelesaikan konflik tanpa harus menggunakan kata-kata yang menyakitkan atau tidak pantas. Mengajarkan komunikasi asertif juga melibatkan pemahaman tentang batasan pribadi dan orang lain. Anak belajar untuk menghormati batasan yang ditentukan orang lain dan mengkomunikasikan batasannya sendiri dengan cara yang hormat. Selain itu, anak dengan keterampilan komunikasi asertif lebih mampu memecahkan masalah dan menemukan solusi yang konstruktif. Iadapat mencari cara yang efektif untuk menyampaikan ketidakpuasan atau kebutuhannya tanpa harus menggunakan kata-kata yang tidak pantas.
  3. Membuat Aturan yang Jelas dan Konsisten – Aturan yang jelas membantu anak memahami perilaku apa yang diharapkan darinya dan apa yang tidak dapat diterima. Dengan mengetahui batasan-batasan yang ditetapkan, anak dapat mengarahkan perilakunya sesuai dengan harapan tersebut. Aturan yang konsisten memberikan struktur dan stabilitas. Anak mengetahui bahwa perilaku yang tidak pantas akan selalu mendapatkan konsekuensi yang sama. Dengan demikian anak belajar untuk mematuhi aturan. Aturan yang jelas juga memungkinkan orang dewasa untuk memberikan penguatan positif ketika anak mematuhi aturan dan penguatan negatif (seperti konsekuensi logis) ketika anak melanggarnya. Ini membuat anak dapat mengasosiasikan perilaku yang baik dengan penghargaan, dan perilaku yang buruk dengan konsekuensi yang tidak menyenangkan.
  4. Menanamkan Nilai-nilai Moral, Etika dan Sopan Santun – Nilai-nilai moral dan etika mengajarkan anak untuk menghargai diri sendiri dan orang lain. Jika anak memahami pentingnya menghormati orang lain, maka ia lebih cenderung menghindari kata-kata yang kasar atau tidak pantas.  Nilai-nilai moral dan etika membantu dalam membangun karakter anak. Anak akan belajar tentang integritas, tanggung jawab, dan empati. Ini penting untuk mengembangkan kepribadian yang positif dan berintegritas. Nilai-nilai memberikan panduan yang jelas tentang perilaku yang diterima dan tidak diterima. Anak yang diajarkan tentang nilai-nilai moral dan etika akan mampu mengendalikan diri dan memilih kata-kata yang pantas dalam interaksi sehari-hari. Anak yang berpegang pada nilai-nilai moral, etika, dan sopan santun cenderung mendapatkan respon positif dari lingkungan. Menanamkan nilai-nilai moral dan etika membantu anak dalam mengembangkan disiplin dan pengendalian diri. Anak belajar untuk berpikir sebelum berbicara, dan memahami dampak kata-katanya terhadap orang lain. Dengan menanamkan nilai-nilai moral, etika, dan sopan santun, orang tua membantu anak mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya berbicara dengan hormat dan bertindak dengan integritas, yang pada akhirnya mengurangi kecenderungan anak untuk menggunakan kata-kata kotor dan berbau seksual.
  5. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif – Lingkungan yang kondusif, yang mencakup suasana yang positif dan penuh dukungan, dapat mempengaruhi perilaku anak. Jika anak merasa nyaman dan aman, ia cenderung menunjukkan perilaku yang baik dan menghindari bahasa yang kasar atau tidak pantas. Dalam lingkungan yang mendukung, anak akan lebih sering terpapar pada perilaku positif dan komunikasi yang sopan. Lingkungan yang kondusif memberikan contoh yang baik dan model perilaku yang dapat ditiru oleh anak. Lingkungan yang kondusif juga cenderung memberikan penguatan positif bagi perilaku yang baik. Anak yang berperilaku sopan dan menghormati orang lain akan mendapatkan pujian. Ini akan memperkuat kebiasaan tersebut dan menghindarkan anak dari menggunakan kata-kata yang tidak pantas. Lingkungan yang positif memberikan dukungan sosial kepada anak dimana anak diterima dan dihargai. Ini akan mengurangi dorongan untuk menggunakan bahasa yang kasar atau berbau seksual sebagai cara untuk mendapatkan perhatian atau diterima. Lingkungan yang aman dan nyaman membantu dalam mengurangi stres dan kecemasan pada anak. Anak yang merasa stres atau tertekan lebih cenderung menggunakan kata-kata kasar sebagai cara untuk mengekspresikan emosi. Lingkungan yang kondusif membantu anak mengatasi perasaan tersebut dengan cara yang sehat.

Dengan pendekatan yang tepat, anak dapat dihindarkan dari penggunaan kata-kata kotor dan berbau seksual, sehingga anak dapat berkembang menjadi individu yang sehat secara sosial dan emosional. (SRP)

Share

Related posts

Leave a Comment