Oleh: Susi Rio Panjaitan
Seorang ibu menghubungi saya, mengatakan bahwa putrinya ingin ngobrol dengan saya. “Katanya ga asyik ngobrol sama kami Bu. Mami sama papi nyalahin saya melulu. Gitu katanya Bu.” Demikian kata ibu yang anaknya akan konseling dengan saya. Hal yang sama juga disampaikan oleh anak tersebut kepada saya. “Mami papi ga asyik tante. Mereka nyalahin saya melulu, nasehatin melulu. Saya jadi tambah pusing.” Saya sudah bertemu dan berdiskusi panjang lebar dengan kedua orang tua anak ini. Yang saya pahami dari pertemuan dan diskusi tersebut adalah bahwa mereka sangat mencintai putri mereka, mendoakan serta mengupayakan yang terbaik untuk putri mereka tersebut. Jadi mengapa anak itu “pusing” dengan orang tuanya?
Ada banyak anak yang “pusing” karena orang tua mereka. Tidak sedikit juga orang tua yang “pusing” karena anak-anak mereka. Anak dan orang tua sama-sama pusing. Tidak jarang konflik antara anak dan orang tua terjadi, terutama konflik antara orang tua dengan anak mereka yang beranjak remaja. Padahal, orang tua sangat mencintai anak-anaknya. Bagi orang tua anak-anaknya adalah yang paling berharga dan terpenting dalam hidup mereka. Orang tua akan melakukan dan memberikan apa pun yang menurut mereka terbaik untuk anak-anak mereka. Sayangnya, ada anak yang tidak memahami hal ini sehingga sering kali terjadi kesalahpahaman yang berujung pada konflik antara orang tua dan anak. Akibatnya, orang tua dan anak saling menyakiti (walaupun mereka tidak bermaksud demikian), dan relasi di antara mereka menjadi renggang. Semakin hari komunikasi antara orang tua dan anak semakin buruk, dan mereka semakin tidak memiliki hubungan emosional yang positif. Anak menjadi merasa lebih suka dan lebih nyaman berbicara dengan orang lain daripada dengan orang tuanya, dan betah berada di luar rumah. Kalaupun anak ada di rumah, ia lebih suka mengurung diri di kamar.
Anak memaknai ketegasan, kedisiplinan, atau aturan yang ditetapkan oleh orang tua mereka sebagai sikap sewenang-wenang. Kesibukan orang tua bekerja atau berbisnis di luar rumah dianggap oleh anak sebagai ketidakperdulian orang tua terhadap anak atau ketidaksukaan orang tua untuk dekat bersama anak. Ketika orang tua meminta anak meniru perilaku seseorang atau prestasi seseorang (termasuk saudara kandungnya sendiri atau orang tuanya sendiri), anak menganggap itu adalah tanda bahwa orang tua membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, dan tidak menerima dirinya secara utuh. Orang tua yang meminta anak untuk berhemat dianggap pelit dan pilih kasih. Saat orang tua mengarahkan anak untuk belajar sesuatu, ada anak yang menganggap itu sebagai sikap memaksa dan otoriter. Ketika orang tua meminta anak untuk selektif dalam bergaul atau membatasi pergaulannya dengan seseorang, anak menganggap orang tuanya mengekang. Bahkan, ada anak yang menganggap orang tuanya kejam dan melakukan kekerasan terhadap dirinya ketika orang tuanya bersikap tegas kepadanya.
Dalam banyak kasus, peristiwa seperti ini diakibatkan oleh karena anak-anak tidak memahami bahasa cinta orang tua kepada mereka. Ketidakpahaman anak terhadap bahasa cinta yang diekpresikan orang tuanya akan membuat anak salah paham bahkan berpikir negatif terhadap orang tuanya. Akibatnya, anak berespon negatif, misalnya melawan secara verbal dan/atau fisik, dan membangkang (tidak taat). Untuk menghindari hal ini dan membangun relasi yang mesra antara orang tua dan anak, orang tua perlu memastikan bahwa anak-anak memahami bahasa cinta mereka. Untuk dapat membuat anak memahami bahasa cinta orang tua terhadap anak, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain: menciptakan komunikasi terbuka antara orang tua dan anak, adanya kejujuran, membangun kepercayaan anak terhadap orang tua, dan harus ada konsistensi.
Komunikasi terbuka berarti bicara dengan jujur dari hati ke hati. Komunikasi yang terbuka antara orang tua dan anak perlu dibangun. Dengan komunikasi terbuka kesalahpahaman antara orang tua dan anak dapat dihindari. Orang tua perlu mengkomunikasikan kepada anak tentang segala hal yang perlu diketahui dan dipahami oleh anak. Penting untuk dijelaskan kepada anak mengapa orang tua memutuskan atau membuat suatu kebijakan. Misalnya: mengapa orang tua membatasi waktu bermain games, menetapkan jam istirahat dan lain-lain. Memang, adalah hak orang tua membuat kebijakan di rumah dan berbagai hal terkait anak, tetapi anak perlu memahami bahwa semua itu semata-mata demi kepentingannya. Ketika mendorong anak melakukan sesuatu, anak juga perlu diyakinkan bahwa itu menyenangkan dan berguna bagi dirinya, baik untuk masa kini, terlebih untuk masa depannya. Selain memilih waktu yang tepat, dalam berkomunikasi dengan anak, orang tua perlu memilih kata-kata yang tepat. Perlu menggunakan kata-kata yang dipahami oleh anak, mengendalikan emosi, dan memastikan ekspresi dan gaya orang tua berbicara membuat anak nyaman. Penting juga menyamakan persepsi dengan anak, untuk memastikan bahwa pemahaman orang tua dan anak terkait suatu hal sama. Hindarilah nasihat yang terlalu bertele-tele atau saran yang terkesan negatif! Misalnya: ketika ingin menjadikan perilaku seseorang sebagai contoh, perlu memilih kata yang bijak agar anak tidak menangkap kesan dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain, atau tidak membuat anak merasa tidak diterima.
Selain itu, beri juga kesempatkan kepada anak untuk menyampaikan perasaan, pikiran, pendapat, dan keinginannya. Anak perlu dilatih untuk bersikap dan berkomunikasi secara asertif. Ketika anak memiliki pandangan atau keinginan yang berbeda dengan orangtua, orang tua tidak perlu emosional. Bahkan, ketika anak menyampaikan sesuatu yang dianggap ekstrim atau bertentangan dengan harapan atau nilai-nilai keluarga, orang tua tetap harus dapat mengontrol diri. Anak harus diberi kesempatan untuk menjelaskan mengapa ia berpandangan atau berkeinginan demikian. Itulah sebabnya, ketika anak berbicara, orang tua perlu mendengarkan dengan baik. Konsentrasi penuh terhadap anak! Beri kesempatan kepada anak untuk berbicara sampai tunntas, jangan menyela dan apalagi mencela! Ini akan membuat anak menjadi yakin bahwa dirinya dihargai, dan apa yang ia sampaikan penting dan dihargai oleh orang tua. Hal ini akan membuat anak merasa nyaman dan akan tetap mau menjalin komunikasi terbuka dengan orang tua. Dengan demikian, anak akan memahami bahwa ketika orang tua memutuskan sesuatu, memintanya untuk melakukan sesuatu, atau menolak permintaannya, semua itu semata-mata karena orang tua mencintai anak. Untuk membangun komunikasi terbuka dibutuhkan kejujuran.
Jujur berarti bicara atau bersikap sebagaimana adanya. Orang tua perlu bersikap dan berkata jujur kepada anak. Misalnya: jika kondisi keuangan keluarga sedang bermasalah, ada baiknya anak mengetahui hal itu. Bukan untuk membuat anak merasa sedih atau menjadi minder dengan teman-temannya, tetapi untuk membuat anak memahami situasi keluarganya dan berempati kepada orang tuanya. Sebaliknya, ketika orang tua memiliki banyak uang, hal itu juga perlu diketahui anak. Jangan katakan kepada anak tidak punya uang padahal orang tua punya uang bahkan dalam jumlah yang banyak! Hanya, anak perlu diberi pemahaman bahwa ketika orang tua memiliki banyak uang bukan berarti apa pun yang diinginkan anak harus dibeli. Uang harus dibelanjakan dengan bijaksana, untuk memenuhi kebutuhan semua anggota keluarga, termasuk untuk berbagi dengan sesama. Jujur juga berarti orang tua tidak membohongi anak. Misalnya: ketika orang tua tidak mengizinkan anak terlalu dekat dengan seseorang, orang tua harus menyampaikan alasan yang sebenarnya. Jangan sampai anak mendapati dirinya dibohongi! Sikap jujur akan memudahkan anak memahami mengapa orang tua meminta atau melarangnya untuk melakukan sesuatu. Selain itu, kejujuran merupakan fondasi untuk membangun kepercayaan anak terhadap orang tua.
Kepercayaan anak terhadap orang tua akan membuat anak yakin bahwa semua kebijakan yang diambil orang tua terkait dirinya, baik berupa perintah, larangan, bahkan penolakan, semata-mata karena orang tuanya sangat mencintainya. Anak akan paham bahwa ketika orang tua berkata “tidak”, itu pun adalah bahasa cinta orang tua kepadanya. Yang penting, orang tua harus konsisten dalam menunjukkan cintanya kepada anak, serta harus konsisten dalam memilih dan menggunakan bahasa cintanya tersebut. Misalnya, dalam menerapkan aturan bermain games perlu aturan yang konsisten. Jangan, hari ini dikasih batasan durasi, besok bebas, besoknya bebas, besoknya dibatasi, dan seterusnya tidak jelas. Hal ini akan membuat anak menjadi bingung dan dapat membuat anak menjadi berpikir bahwa orang tua bertindak sesuka hatinya saja. (SRP)