MENGHADAPI PERUBAHAN FISIK DAN EMOSI PADA REMAJA AUTIS

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Remaja autis maksudnya anak dengan autism spectrum disorder (ASD), yang berusia sekitar 13-19 tahun. Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang sering disebut autis, adalah suatu kondisi perkembangan neurologis yang memengaruhi cara individu berkomunikasi, berinteraksi sosial, dan berperilaku. Masa remaja dikenal sebagai periode transisi, di mana terjadi banyak perubahan besar, baik secara fisik, emosional, sosial, maupun kognitif.  Dalam psikologi, perkembangan remaja sering dikaitkan dengan teori Erik Erikson, terutama tahap Identity vs Role Confusion (Identitas vs Kebingungan Peran). Di tahap ini, remaja berusaha menemukan siapa diri mereka, nilai-nilai apa yang penting bagi mereka, dan apa peran mereka dalam masyarakat.

Sama halnya dengan remaja lain yang tidak autis (neurotipikal), remaja autis juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan khusus, seperti “siapa saya?” dan “apa yang saya inginkan dalam hidup?“. Mereka juga  mengalami pubertas, termasuk pertumbuhan fisik dan perubahan hormone, yang mempengaruhi emosi dan tubuh. Meskipun remaja autis mengalami tantangan dalam berkomunikasi, menjalin hubungan dengan orang lain, dan dalam mengekspresikan perasaan, keinganan serta kebutuhannya, sebagai mahluk sosial, remaja autis juga membutuhkan teman, penerimaan dan penghargaan yang wajar dari orang lain. Banyak remaja autis yang mampu membuat keputusan sendiri dan dapat mengelola hidup mereka. Mereka pun berproses dalam membentuk nilai-nilai pribadi tentang dunia, hubungan dengan orang lain, dan masa depan. Selain itu, remaja autis juga bisa merasa bahagia, marah, kecewa, cemas, dan jatuh cinta, walaupun cara mereka mengekspresikan hal ini sering kali berbeda dengan remaja lain yang tidak autis. Mereka juga membutuhkan cinta kasih, bimbingan, pengertian, penerimaan dan penghargaan yang tulus dari orang tua, keluarga, guru, teman dan lingkungan sekitar. Singkatnya, dalam banyak hal, remaja autis tidak berbeda dari remaja yang tidak autis.

Walaupun demikian, karena autistik yang ada pada diri mereka, remaja autis mengalami tantangan khusus karena adanya perubahan yang signifikan, baik pada fisik maupun emosi mereka. Tantangan yang mereka alami lebih kompleks dibanding remaja yang tidak autis. Misalnya: mereka sulit memahami atau menerima perubahan tubuh mereka, seperti pertumbuhan payudara, perubahan suara, atau tumbuhnya rambut di bagian tertentu pada tubuh. Jika tidak diberi penjelasan yang konkret dan berulang, perubahan ini berpotensi menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan, sehingga mengakibatkan remaja autis menolak tubuh mereka sendiri. Perubahan hormon pada masa pubertas akan memperkuat emosi remaja autis. Pada umumnya, remaja autis memiliki tantangan dalam pengelolaan emosi. Kondisi ini dapat membuat mereka menjadi lebih mudah marah, frustasi, cemas, dan tertekan. Padahal, mereka tidak selalu mampu mengungkapkan dengan baik apa yang mereka rasakan.

Perubahan fisik pada remaja autis berpotensi meningkatkan sensitivitas sensorik pada diri mereka. Seperti: mereka lebih sensitif terhadap pakaian yang terbuat dari bahan tertentu, bau tertentu, suara tertentu, atau sentuhan. Ini dapat memperparah ketidaknyamanan mereka dan memicu reaksi emosional yang berlebihan. Ketika teman sebayanya menjalin hubungan yang lebih kompleks baik secara sosial maupun personal, remaja autis dapat menjadi merasa tersingkir. Mereka juga kurang memahami isyarat sosial tertentu, seperti rasa suka, ketertarikan atau perhatian khusus seseorang kepadanya. Itulah sebabnya mereka mengalami kesulitan membangun keintiman emosional yang bersifat personal dan romantis. Perubahan fisik dan emosi yang signifikan di masa remaja juga dapat membuat remaja autis menjadi bingung dan tertekan. Depresi, kecemasan, dan stres pada remaja autis selama masa pubertas berpotensi meningkat. Selain itu, ketidakmampuan remaja autis dalam memahami perubahan dirinya dan keterbatasannya dalam beradaptasi dengan tuntutan sosial, dapat memperburuk masalah kesehatan mental pada mereka. Oleh karena itu. remaja autis perlu perlu dibantu dalam menghadapi perubahan fisik dan emosi mereka agar mereka dapat menikmati masa remaja dengan baik dan gembira, serta dapat mencapai tonggak perkembangan secara optimal.

Mereka membutuhkan edukasi yang tepat, yang dilakukan secara bertahap agar mereka mampu memahami situasi atau perubahan yang terjadi pada diri mereka. Dalam pemberian edukasi, orang tua atau guru harus menggunakan bahasa yang sederhana dan konkret. Remaja autis membutuhkan penjelasan yang langsung, tidak bertele-tele, sederhana, dan tanpa kiasan. Misalnya: “tubuhmu bertambah tinggi” atau “tumbuh rambut di ketiakmu.”, dan lain sebagainya. Untuk memudahkan penjelasan dan membuat mereka lebih mudah memahami penjelasan, dapat digunakan media visual berupa gambar atau video. Komik sosial atau papan visual dapat memudahkan mereka memahami perubahan fisik dan emosi yang terjadi pada diri mereka.

Jadwal khusus untuk membicarakan perubahan fisik dan emosi pada remaja autis perlu dibuat. Semakin dini semakin baik. Jangan menunggu  sampai sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Topik bisa dipilih berdasarkan kondisi anak atau topik yang dinilai paling mudah untuk dipahami. Misalnya: minggu ini pembelajaran tentang rambut yang tubuh di wajah atau ketiak, menstruasi; minggu depan tentang perubahan suara; dan seterusnya. Perlu dipastikan bahwa pelatihan atau pembelajaran dimulai dari hal yang paling sederhana dan paling mudah dipahami oleh mereka. Tidak perlu mendesak mereka untuk segera memahami apa yang diajarkan.

Hal lain yang dapat dilakukan guna menolong remaja autis menghadapi perubahab fisik dan emosi pada dirinya adalah mengajarkan tentang emosi, dan bagaimana cara mengatur atau meregulasi emosi. Bisa dilakukan dengan menggunakan label emosi, seperti: sedih, marah, bingung, takut, dan senang. Perlu juga dibuat penjelasan sederhana yang menjadi alasan atau penyebab munculnya emosi tersebut. Misalnya: senang karena mendapat hadiah, takut karena gelap, dan sebagainya. Untuk lebih memudahkan mereka memahami, penjelasan dapat dilakukan dengan  menggunakan alat bantu visual, seperti emotion cards. Selain itu, remaja autis juga perlu diajarkan teknik coping sederhana. Misalnya: menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskan nafas secara perlahan, pergi ke ruang tenang (misalnya: kamar tidur, kursi santai di taman rumah yang sejuk), bermain musik, menulis jurnal, mewarnai, menggambar, dan lain-lain. Pada mereka juga penting untuk ditanamkan bahwa ketika marah tidak boleh merusak barang-barang yang ada di sekitarnya, tidak boleh menyakiti orang lain, tidak boleh menyakiti diri sendiri, dan tidak perlu berteriak-teriak.

Selain hal-hal di atas, pada remaja autis (bahkan pada anak yang masih kecil sekalipun), perlu ditanamkan bahwa tubuh mereka berharga, dan ada bagian tertentu pada tubuh mereka (yang disebut dengan area pribadi), yang tidak boleh disentuh oleh orang lain. Hal ini dapat diajarkan dengan menggunakan gambar tubuh manusia atau boneka. Di bagian-bagian tertentu pada gambar atau boneka itu diberi label atau keterangan “tidak boleh disentuh orang lain”. Misalnya: kemaluan, paha, bokong, dada dan payudara, leher dan perut. Mereka juga harus dilatih untuk merespon dengan benar ketika ada orang yang mencoba menyentuh area pribadi mereka, atau ketika ada orang yang menunjukkan area pribadinya kepada mereka, atau ada orang meminta mereka untuk memegang area pribadi orang tersebut, atau ada orang mengajak mereka melihat film, video atau gambar yang di dalamnya ada orang yang area pribadinya kelihatan, atau ada orang mengajak mereka bermain games yang mana di dalam games itu ada orang yang area pribadinya kelihatan. Misalnya: berkata “tidak, jangan sentuh saya”, pergi menjauh, dan lapor pada orang dewasa yang anak percayai (misalnya orang tua, guru). Tentunya, orang tua , guru, atau orang dewasa lainnya, yang menerima laporan anak terkait hal ini, harus segera merespon dengan benar. Seperti: menegur dengan tegas, menjauhkan anak dari orang tersebut, dan dalam kondisi tertentu perlu dilaporkan kepada polisi. Hal ini penting guna mencegah terjadinya kekerasan atau kejahatan seksual pada remaja autis. Selain ajarkan bagaimana cara melindungi tubuhnya sehingga tidak menjadi korban kekerasan atau kejahatan seksual, mereka juga harus dididik untuk menghormati tubuh orang lain. Pada mereka perlu ditanamkan bahwa tidak boleh mencoba melihat atau menyentuh area pribadi orang lain. Ini berguna untuk menghindarkan mereka dari menjadi pelaku kekerasan seksual dan dari mengkonsumsi pornografi.

Lingkungan yang kondusif, yakni lingkungan yang membuat remaja autis merasa aman dan nyaman secara fisik dan psikis, dapat membuat mereka menjadi lebih tenang. Oleh karena itu, perlu diciptakan lingkungan rumah, sekolah, tempat umum, dan rumah ibadah yang aman dan nyaman bagi remaja autis. Selain itu, kolaborasi yang baik dan efektif antara orang tua, guru dan pengasuh perlu dibangun guna memastikan bahwa baik di sekolah maupun di rumah, diterapkan secara konsisten pendekatan yang sama. Misalnya: anak tidak nyaman dengan pakaian yang terbuat dari bahan tertentu, maka di rumah ia tidak mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan tersebut. Jadi, jika seragam sekolah terbuat dari bahan yang membuat anak merasa tidak nyaman, maka ia diijinkan mengenakan pakaian lain.

Remaja autis cenderung lebih sensitif terhadap perubahan tubuhnya, seperti bau badan, menstruasi, pertumbuhan rambut di beberapa bagian tubuh, atau perubahan suara. Hal ini perlu diantisipasi. Misalnya: menyediakan pakaian dengan bahan yang nyaman dan dapat menghisap keringat, menyediakan masker yang dapat digunakan ketika ada bau yang membuatnya tidak nyaman, melatih mereka membersihkan  dan merawat tubuhnya dengan benar. Mereka juga perlu diedukasi tentang pentingnya kebersihan tubuh dan bagaimana cara membersihkan tubuh dengan benar.   Menggunakan gambar-gambar dengan urutan langkah yang jelas dapat membuat anak lebih mudah memahami. Contoh: mandi => keringkan tubuh dengan handuk => pakai deodorant => berpakaian => menyisir rambut. Dalam hal ini, keterampilan bina diri sangat dibutuhkan.

Dalam menghadapi perubahan fisik dan emosi pada remaja autis, orang tua juga perlu memastikan bahwa emosinya stabil dan juga harus mampu mengelola emosi diri sendiri. Orang tua yang tidak mampu mengelola emosinya dengan baik tidak akan mampu menolong anaknya dalam menghadapi perubahan dalam dirinya. Bahkan, dapat membuat masalah semakin kompleks. (SRP)

 

Share

Related posts

Leave a Comment