Oleh : Susi Rio Panjaitan
Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum (Pasal 1 Ayat (15a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak). Kekerasan terhadap anak merupakan masalah yang krusial. Setiap saat kita dapat mendengar telah terjadi kekerasan terhadap anak. Vika Azkiya Dihni menuliskan untuk Katadata Media Network bahwa sepanjang tahun 2021, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menerima pengaduan masyarakat terkait kasus perlindungan khusus anak sebanyak 2.982 kasus. Dari jumlah tersebut, 1.138 kasus anak yang dilaporkan sebagai korban kekerasan fisik dan atau psikis. Kasus kekerasan fisik dan psikis tersebut meliputi penganiayaan 574 kasus, kekerasan psikis 515 kasus, pembunuhan 35 kasus dan anak korban tawuran 14 kasus. Selain kekerasan fisik dan psikis, ada 859 kasus dimana anak dilaporkan sebagai korban kejahatan seksual dan 345 kasus anak sebagai korban pornografi dan cybercrime. Selain itu, ada 175 kasus dimana anak dilaporkan sebagai korban perlakuan salah dan penelantaran dan 147 kasus anak korban eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2022/01/27/kpai-aduan-anak-jadi-korban-kekerasan-fisik-mendominasi-pada-2021). Angka ini tidak bisa dianggap kecil dan sepele karena angka ini belum termasuk angka yang tidak laporkan. Sangat besar kemungkinan angka kasus kekerasan terhadap anak yang terjadi di Indonesia jauh di atas angka yang dilaporkan kepada KPAI, mengingat masyarakat kita belum terlalu melek hukum, takut berurusan dengan hukum atau penegak hukum, menganggap bahwa kekerasan terhadap anak bukan hal serius, bahkan, jika dilakukan dalam ruang lingkup keluarga, maka itu dianggap sebagai masalah domestik/urusan keluarga.
Meskipun sudah ada beberapa produk hukum yang dipakai untuk melindungi anak dari kekerasan, seperti: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik; dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, tetapi pada kenyataannya, angka kekerasan pada anak masih tinggi. Sepertinya, banyak orang yang tidak takut melakukan kekerasan kepada anak. Pelaku kekerasan terhadap anak pada umumnya adalah orang-orang yang dikenal dan berada di lingkar terdekat anak, seperti kerabat dekat , guru, tetangga, orang yang bekerja di rumah anak, tokoh agama, saudara kandung atau orangtua. Padahal, mereka diperintahkan oleh konstitusi untuk melindungi anak. Hal ini jelas tertulis pada Pasal 26 Ayat (1) Huruf (a), Pasal 45B Ayat (1) dan Pasal 54 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 26 Ayat (1) Huruf (a): “Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi Anak.” Pasal 45B Ayat (1): “Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Orang Tua wajib melindungi Anak dari perbuatan yang mengganggu kesehatan dan tumbuh kembang Anak.” Pasal 54: “(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau Masyarakat.”
Bentuk Kekerasan pada Anak
Merujuk pada Pasal 1 Ayat (15a) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tentang Perlindungan Anak, bentuk kekerasan pada anak terdiri atas: fisik; psikis; seksual; penelantaran dan ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Kekerasan fisik dapat menimbulkan memar dan luka pada tubuh anak akibat dicubit, dijewer, dijambak, dipukul, ditinju, ditampar, ditempeleng, ditendang, dilempar atau disabet. Kekerasan fisik yang dialami oleh anak selain menyebabkan anak merasa sakit secara fisik, dapat juga menimbulkan emosi negatif pada anak, seperti sedih, marah, benci dan dendam. Pada banyak kasus, kekerasan yang dialami anak membuat anak mengalami kematian. Kekerasan psikis adalah kekerasan yang tidak tampak kasat mata, akan tetapi membuat anak menderita. Misalnya cacian, makian, stigma, labelling, bentakan dan lain-lain.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Pasal 4 Ayat (1 dan 2) menjelaskan bahwa Tindak Pidana Kekerasan Seksual terdiri atas pelecehan seksual nonfisik; pelecehan seksual fisik; pemaksaan kontrasepsi; pemaksaan sterilisasi; pemaksaan perkawinan; penyiksaan seksual; eksploitasi seksual; perbudakan seksual; dan kekerasan seksual berbasis elektronik. Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi: perkosaan; perbuatan cabul; persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/atau eksploitasi seksual terhadap Anak; perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak Korban; pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; pemaksaan pelacuran; tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi seksual; kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga; tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam bagian penjelasannnya tepat di Pasal 5, undang-undang ini menjelaskan bahwa perbuatan seksual secara nonfisik adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah kepada seksualitas dengan tuiuan merendahkan atau mempermalukan.
Selain kekerasan fisik, psikis dan seksual penelantaran juga merupakan bentuk kekerasan terhadap anak. Berdasarkan KBBI Online, penelantaran berasal dari kata terlantar yang artinya tidak terpelihara; serba tidak kecukupan; tidak terawat; tidak terurus; terbengkalai (https://typoonline.com/kbbi/penelantaran). Jadi, penelantaran anak artinya membuat anak tidak terpelihara, serba tidak berkecukupan, tidak terawat, tidak terurus atau terbengkalai. Saat ini, banyak anak ditelantarkan sehingga menjadi anak terlantar. Penelantaran yang dialami oleh anak tentu berdampak sangat buruk bagi anak. Melakukan pengancaman terhadap anak juga merupakan tindak kekerasan. Ancaman dapat membuat anak ketakutan dan berdampak buruk bagi perkembangan psikologisnya .
Penyebab Terjadinya Kekerasan pada Anak
Kekerasan pada anak disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: orangtua yang tidak siap menjadi orangtua; pola asuh yang tidak sehat; kemiskinan keluarga; dampak buruk dari teknologi dan informasi; , permisifitas lingkungan sosial-budaya, tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, masyarakat yang tidak melek hukum; kondisi perumahan atau tempat tinggal yang tidak ramah anak dan hukum tidak ditegakkan. Banyak pasangan ingin menikah tetapi belum siap menjadi orangtua. Menjadi orangtua memiliki tugas dan tanggung jawab khusus. Selain harus memenuhi semua kebutuhan sandang, pangan dan papan anak, orangtua juga harus dapat memenuhi kebutuhan psikologis anak dengan baik serta harus mampu menerapkan pola asuh dengan tepat. Ketika seseorang tidak siap menjadi orangtua tetapi sudah menjadi orangtua, maka salah satu resiko besar yang terjadi adalah anak akan menjadi korban kekerasan dimana orangtua yang menjadi pelakunya. Anak yang berasal dari keluarga miskin rentan mengalami kekerasan dari orangtua maupun saudara kandungnya. Misalnya: karena alasan kemiskinan, maka berbagai kebutuhan utama anak terbengkalai; anak dipekerjakan secara tidak wajar demi dapat menghasilkan uang. Bahkan, banyak anak yang dengan sengaja dijadikan sebagai pengemis atau diperdagangkan dan dijadikan Pekerja Seks Komersil (PSK).
Selain sangat bermanfaat, teknologi dan informasi memiliki pengaruh negatif. Banyak anak yang mengalami kekerasan saat berselancar di dunia maya atau bermain games online dengan seseorang. Bentuk kekerasan yang paling sering dialami oleh anak akibat pengaruh negatif dari teknologi dan informasi adalah kekerasan seksual dalam bentuk cybersex. Selain itu, faktor lain yang menjadi penyebab anak mengalami kekerasan adalah permisifitas lingkungan sosial-budaya. Masyarakat masih berpikir bahwa pemukulan kepada anak adalah bentuk pendidikan, pendisipilinan dan kasih sayang orangtua terhadap anak sehingga kerap kali terjadi pembiaran ketika terjadi kekerasan pada anak.Tingginya angka pengangguran dan kemiskinan menjadi faktor lain yang menjadi penyebab terjadinya kekerasan pada anak. Anak menjadi incaran para orang jahat. Anak diculik, kemudian mereka meminta uang tebusan kepada orangtua anak. Ada juga yang menculik anak untuk dipekerjakan secara paksa dan tidak sah atau diperdagangkan. Kekerasan pada anak dapat juga terjadi karena lingkungan tempat tinggal anak yang tidak kondusif atau tidak ramah anak. Pemukiman yang sangat padat penduduk serta tidak sehat berpontensi mengakibatkan anak mengalami kekerasan, baik secara fisik, psikis maupun seksual.
Hukum sudah mengatur bahwa kekerasan terhadap anak merupakan tindak pidana sehingga kekerasan kepada anak tidak boleh dilakukan dan pelaku mendapat ancaman pidana. Akan tetapi, pada umumnya masyarakat Indonesia belum melek hukum sehingga kekerasan terhadap anak seringkali tidak hanya dibiarkan terjadi, malah didukung. Hal ini diperparah jika hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya. Dengan demikian, orang akan enggan melaporkan kasus kekerasan yang terjadi pada anak karena merasa itu tindakan sia-sia. Selain itu, jika hukum tidak ditegakkan, maka tidak menimbulkan efek jera pada pelaku dan menjadi pembelajaran yang negatif bagi yang lain. Artinya, orang tidak akan takut melakukan kekerasan terhadap anak karena tidak ada sanksi yang berarti.
Dampak Kekerasan pada Anak
Apapun bentuk kekerasan yang dialami anak, akan berdampak buruk bagi anak, antara lain: membuat anak kesakitan & mengidap penyakit, termasuk Infeksi Menular Seksual (IMS); mengalami gangguan pertumbuhan dan perkembangan; mengalami gangguan emosi dan perilaku; mengalami ganguan kesehatan mental; berpotensi melakukan hal yang sama kepada orang lain; jika anak mengalami kekerasan seksual, maka ia berpotensi untuk memiliki perilaku seksual yang tidak sehat atau menyimpang; menyakiti diri sendiri atau orang lain dan bunuh diri. Dalam banyak kasus, kekerasan yang dialami oleh anak membawa anak pada kematian atau kerusakan tubuh yang berat (cacat). Film Arie Hanggara adalah film yang diangkat dari kisah nyata tentang seorang anak yang bernama Arie Hanggara. Arie Hanggara mengalami kekerasan dari orangtuanya. Kekerasan tersebut mengakibatkan Arie Hanggara mengalami berbagai kesakitan, penderitaan psikis dan kematian.
Selain dampak negatif terhadap anak yang menjadi korban, kekerasan pada anak pasti akan merugikan keluarga, bangsa dan negara serta dunia. Anak adalah harapan dan generasi penerus. Jika anak mengalami hal yang buruk, itu artinya keluarga, bangsa dan negara serta dunia kehilangan generasi. Jadi, jika suatu keluarga, bangsa dan negara atau dunia ingin memiliki generasi penerus yang berkualitas, maka anak harus dijaga, dirawat, diasuh, dididik dan dilindungi sedemikian rupa dengan sebaik-baiknya.
Upaya Preventif
Agar anak tidak mengalami kekerasan, perlu dilakukan berbagai upaya sebagai langkah preventif, antara lain dengan cara: memberi penguatan kepada orangtua dan keluarga; meningkatkan kualitas pola asuh dalam keluarga; bimbingan pra-nikah kepada pasangan yang hendak menikah; memberikan literasi digital kepada anak; memberikan pendidikan seks kepada anak; memberikan pendidikan perlindungan diri kepada anak; penyuluhan hukum kepada masyarakat dan penegakan hukum yang benar. Kesadaran masyarakat di semua lapisan harus ditingkatkan bahwa kekerasan pada anak tidak dibenarkan dan barangsiapa melakukan kekerasan terhadap anak akan berhadapan dengan hukum dan pasti akan dihukum sesuai dengan hukum yang ada di Indonesia. Tidak boleh ada pembenaran terhadap kekerasan pada anak termasuk alasan mendidik, mendisiplin dan kemiskinan. Kekerasan berbeda sama sekali dengan mendidik dan pendisiplinan. Kemiskinan tidak akan pernah teratasi dengan melakukan kekerasan pada anak. Sebaliknya, kemiskinan akan semakin besar jika coba diatasi dengan melakukan kekerasan terhadap anak.
Terkait dengan upaya preventif kekerasan seksual, Pasal 86 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual mengatakan bahwa Partisipasi Keluarga dalam Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual diwujudkan dengan: menguatkan edukasi dalam Keluarga, baik aspek moral, etika, agama, maupun budaya; membangun komunikasi yang berkualitas antar anggota Keluarga; membangun ikatan emosional antar anggota Keluarga; menguatkan peran ayah, ibu, dan seluruh anggota Keluarga sehingga terbangun karakter pelindung; menjaga dan mencegah anggota Keluarga dari pengaruh pornografi dan akses terhadap informasi yang mengandung unsur pornografi; dan menjaga anggota Keluarga dari pengaruh negatif lingkungan dan pergaulan bebas. (SRP)