Oleh: Susi Rio Panjaitan
Beberapa waktu yang lalu, dalam suatu kegiatan parenting di sebuah sekolah, seorang ibu menghampiri saya. Beliau mengatakan bahwa putera beliau (kelas 5 SD) berperilaku agresif di kelas. Akibatnya, seorang teman sekelasnya mengalami memar. Orangtua dari anak yang memar tersebut tidak terima dan protes kepada pihak sekolah.
Perilaku agresif pada anak adalah perilaku di mana anak memiliki kecenderungan untuk melakukan tidak kekerasan kepada orang lain, seperti memukul, mendorong, menampar, menjambak, menendang, mencakar, mencubit, menggigit, meludahi, melempar, dan membanting. Perilaku agresif adalah perilaku berbahaya karena menimbulkan rasa sakit pada tubuh korban, menimbulkan berbagai emosi negatif yang dapat memicu trauma, dan pada derajat tertentu dapat menimbulkan sakit-penyakit, kecacatan atau kematian pada korban. Itulah sebabnya perilaku agresif pada anak tidak boleh dianggap sepele. Jika anak dibiarkan berperilaku agresif, maka perilaku tersebut akan menjadi karakter anak dan menimbulkan masalah besar bagi dirinya dan orang lain. Perilaku agresif pada anak tidak boleh ditoleransi, dan juga tidak boleh dianggap sebagai perilaku “kebandelan” biasa pada anak-anak. Walaupun demikian, menghajar anak dengan memukulnya habis-habisan juga bukan tindakan yang bijaksana.
Orangtua harus bersikap bijaksana dalam menyingkapi perilaku agresif yang ditunjukkan anak. Perlu dipahami apa yang menjadi penyebab anak berperilaku demikian. Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada anak, yaitu meniru, kemarahan, ketidakmampuan anak dalam menyelesaikan masalah atau konflik, masalah perkembangan, dan masalah kesehatan mental. Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan dalam semua aspek. Dalam proses tersebut, anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar. Anak punya kecenderungan untuk meniru apa yang ia dengar dan lihat. Di era digital di mana sejak bayi anak sudah bergaul akrab dengan gadget dan internet, anak berisiko terpapar tontonan atau games yang berisi agresifitas. Akibatnya, kemungkinan besar anak akan meniru perilaku agresif yang ia lihat tersebut. Selain itu, apa yang anak lihat dan dengar dari orang lain yang berada di sekitarnya terutama orangtuanya, juga berpotensi untuk ditiru oleh anak. Itulah sebabnya, jika orangtua berperilaku agresif kepada anak, atau berperilaku agresif kepada orang lain dan dilihat oleh anak, maka besar kemungkinan anak juga akan berperilaku agresif.
Sama halnya dengan apa yang terjadi pada orang dewasa, kemarahan dapat memicu terjadinya perilaku agresif pada anak. Menjadi marah adalah wajar dan manusiawi, akan tetapi kemarahan yang tidak dikelola dengan baik adalah berbahaya karena dapat membuat anak berperilaku agresif. Selain karena meniru dan adanya amarah yang tidak terkendali, hal lain yang dapat membuat anak berperilaku agresif adalah adanya masalah perkembangan pada anak. Anak dengan masalah hambatan bicara dan komunikasi berisiko mengalami masalah emosi dan berperilaku agresif. Hal ini terjadi karena ia tidak mampu memahami bahasa orang lain, dan tidak mampu mengungkapkan keinginan dan perasaannya dengan baik. Akibatnya, orang lain tidak paham apa yang ia inginkan, dan ia tidak paham apa yang orang lain katakan. Kondisi ini dapat membuat anak menjadi marah dan berperilaku agresif. Anak dengan hambatan perkembangan intelektual, autism, downsyndrome, dan lain-lain, juga berisiko berperilaku agresif. Faktor lain yang dapat menyebabkan anak berperilaku agresif adalah masalah kesehatan mental. Anak-anak dengan bipolar, skizofrenia, anxiety, dan gangguan kontrol impuls berisiko untuk berperilaku agresif.
Perilaku agresif pasti mengakibatkan kerugian pada korban. Selain itu, perilaku agresif pada anak akan membawa anak pada berbagai konsekuensi, seperti masalah dalam relasi sosial, studi, termasuk konsekuensi hukum. Kelak tubuh besar dan dewasa, masalah perilaku agresif pasti menjadi masalah yang sangat merugikan, baik untuk orang lain maupun anak yang bersangkutan. Oleh sebab itu, perilaku agresif harus dicegah dan diatasi sedari dini.
Ketika anak menunjukkan perilaku agresif, maka harus dilakukan upaya penanganannya. Agar dapat dilakukan upaya preventif dan penanganan yang efektif, berikut adalah beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan.
Identifikasi Apa yang Menjadi Penyebab Anak Berperilaku Agresif
Apa yang menjadi faktor penyebab timbulnya perilaku agresif pada anak tentu akan memperngaruhi metode penanganannya. Misalnya, metode menangani perilaku agresif pada anak yang muncul karena anak meniru apa yang ia lihat dalam games yang ia mainkan di gadget tentu berbeda dengan metode penanganan perilaku agresif pada anak yang muncul karena masalah kesehatan mental. Anak yang berperilaku agresif akibat meniru, mungkin tidak memerlukan terapi farmakologi berupa obat-obatan yang diresepkan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa anak, tetapi metode ini mungkin saja dibutuhkan oleh anak-anak yang berperilaku agresif karena masalah kesehatan mental.
Ciptakan Komunikasi Terbuka dengan Anak
Komunikasi terbuka antara orangtua dan anak sangat perlu guna menangani perilaku agresif pada anak. Dengan komunukasi terbuka orangtua dapat memberikan arahan, bimbingan, nasiihat, dan didikan kepada anak. Komunikasi terbuka juga memungkinkan anak untuk dapat menyampaikan tentang keingan dan perasaannya. Selain itu, komunikasi terbuka dapat membuat relasi orangtua dan anak menjadi dekat dan harmonis.
Melatih Anak untuk Terampil Berkomunikasi Asertif
Dalam banyak kasus, anak berperilaku agresif sebagai reaksinya terhadap stimulasi yang tidak ia sukai. Misalnya, ketidaksukaannya ketika diejek orang, ketidakmampuannya berkata tidak atau menolak, atau ketidakberaniannya menyampaikan perasaan atau keinginannya. Oleh karena itu, anak harus dilatih untuk terampil berkomunikasi secara asertif. Dengan menguasai keterampilan berkomunikasi asertif, anak akan dapatr mengungkapkan perasaan dan keinginannya kepada orang lain dengan baik, dan mampu berkata tidak serta menolak permintaan orang lain dengan sopan tanpa menyakiti orang lain.
Regulasi Emosi
Timbulnya emosi negatif dalam diri seperti rasa marah adalah hal yang dapat dipahami. Akan tetapi, emosi perlu dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan dampak yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Oleh karena itu anak harus dilatih untuk mampu mengidentifikasi dan mengelola emosinya. Misalnya, ketika anak diejek oleh temannya, adalah wajar jika anak merasa tidak suka atau marah. Akan tetapi, ketidaksukaan dan rasa marah itu harus tidak boleh diumbar atau dilampiaskan dalam bentuk perilaku destruktif.
Menciptakan Lingkungan yang Kondusif
Anak butuh dan berhak mendapatkan lingkungan yang kondusif untuk kepnetingan terbaik tumbuh kembangnya. Jadikan rumah menjadi tempat yang aman dan nyaman, tidak hanya untuk fisik anak, tetapi juga untuk mentalnya. Rumah di mana ada cinta kasih, penerimaan, penghormatan, dan penghargaan untuk setiap anggotanya, dapat membuat anak merasa nyaman secara psikologis dan terhidar dari perilaku agresif.
Menerapkan Pola Asuh yang Tepat
Guna dapat menghindarkan anak dari berperilaku agresif, perlu bagi orangtua untuk menerapkan pola asuh yang tepat. Orangtua harus dapat menerapkan berbagai model pola pengasuhan anak dengan tepat. Ibarat bermain layang-layang, orangtua harus tahu kapan menarik benang dengan lembut, menarik benang dengan keras, dan kapan mengulur benang panjang-panjang sehingga memberi kebebasan bagi layang-layang untuk menari di awan-awan. Orangtua harus tahu kapan bersikap permisif, demokratis, dan otoriter kepada anak.
Menjadi Teladan
Orangtua yang dapat menunjukkan perilaku yang tenang dan tidak agresif akan menjadi contoh yang baik bagi anak. Tunjukkan kepada anak bagaimana berperilaku yang pantas, yang dapat diterima oleh norma-norma masyarakat, juga tunjukkan kepada anak bagaimana cara mengekepresikan emosi dengan sehat. Ini akan memudahkan bagi anak untuk
Bekerja Sama dengan Pihak Lain
Bisa saja di rumah anak berperilaku manis, tetapi di sekolah ia berperilaku agresif. Salah satu faktor penyebabnya adalah stimulasi dan kondisi lingkungan yang berbeda. Oleh karena itu, orangtua perlu bekerja sama dengan pihak sekolah.
Berkonsultasi dengan Ahli
Pada kasus-kasus tertentu, orangtua tidak lagi dapat mengatasi masalah perilaku agresif pada anak seorang diri. Dalam kondisi demikian, orangtua memerlukan bantuan pihak lain, dalam hal ini adalah, misalnya konselor, psikolog, atau dokter. Dengan berkonsultasi dengan ahli terkait, orangtua dapat mendapat perspektif lain terkait anak, dan alternative solusi yang ditawarkan oleh ahli.
Anak adalah individu yang sedang berproses. Dalam proses tersebut, ada banyak hal yang mungkin terjadi, termasuk munculnya perilaku agresif. Dengan memahami apa dan bagaimana perilaku tersebut dapat muncul, maka perilaku agresif pada anak dapat dihindari. Jika anak menunjukkan perilaku agresif, dengan penanganan dini dan motode yang tepat, perilaku tersebut dapat diatasi. (SRP)