HUKUMAN MATI BAGI PELAKU KEJAHATAN SEKSUAL PADA ANAK

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Menurut laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), pada tahun 2022, terdapat sebanyak 11.016 kasus kekerasan seksual. Dari jumlah tersebut, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588. Angka ini menunjukkan adanya peningkatan kasus kekerasan pada anak, karena pada tahun sebelumnya, angka kekerasan seksual pada anak berjumlah 4.162 kasus https://www.dpr.go.id/berita/detail/id/44787/t/Kuatnya%20Dorongan%20Puan%20Soal%20Aturan%20Teknis%20UU%20TPKS%20di%20Tengah%20Maraknya%20Kasus%20Kekerasan%20Seksual. Data ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam masalah besar, karena terjadi peningkatan yang sangat tinggi kasus kekerasan seksual pada anak, yakni lebih dari 100 persen. Ini baru kasus yang dilaporkan, belum termasuk kasus yang tidak dilaporkan.

Dari apa yang ditulis dalam banyak jurnal, dapat diketahui bahwasanya dampak kejahatan seksual yang dialami anak sangatlah buruk, baik dalam jangka pendek, menengah, panjang bahkan permanen. Kejahatan seksual yang dialami anak dapat mengakibatkan anak mengalami trauma, gangguan perilaku, dan berpotensi menjadi pelaku kejahatan yang sama atau berbeda.

Pada bagian (menimbang), Huruf (a, b dan c) dalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tertulis: “Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia; Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.” Ini adalah beberapa poin yang menjadi pertimbangan Presiden Republik Indonesia dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia dalam memutuskan menetapkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.  Dapat disimpulkan bahwa Indonesia menjamin kesejahteraan tiap warga negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak, hak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta hak anak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, Indonesia juga mengakui anak sebagai tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa memiliki peran strategis, ciri, dan sifat khusus sehingga wajib dilindungi dari segala bentuk perlakuan tidak manusiawi yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia.

 

Perlindungan Hukum bagi Anak terkait Kejahatan Seksual

Jadi jelas, kejahatan seksual terhadap anak tidak dapat ditoleransi dengan alasan apa pun. Hal ini diatur dalam undang-undang. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dituliskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dalam Pasal 15 Huruf (f) dituliskan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual, dan dalam Pasal 20 dikatakan  bahwa negara, Pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Dikaitkan dengan Pasal 1 Ayat (2 dan 15a), maka perlindungan anak yang dimaksud dalam Pasal 15 Huruf (f) juga termasuk perlindungan anak dari kekerasan seksual. Perlindungan ini juga termasuk di lingkungan satuan pendidikan sebagaimana tertulis Pasal 54 Ayat (1 dan 2) yang berbunyi: “ (1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain. (2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau masyarakat.”

Selain apa yang dipaparkan di atas, pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang dieksploitasi secara seksual, dan anak korban kejahatan seksual, sebagaimana mana ditulis dalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 59 (Ayat 1) dan (Ayat 2, Huruf d dan j). Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara seksual dilakukan melalui penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara seksual; pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi seksual (Pasal 66).

Perlindungan khusus bagi anak korban kejahatan seksual dilakukan melalui upaya edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai kesusilaan; rehabilitasi sosial; pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan; dan pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan pemeriksaan di sidang pengadilan (Pasal 69A). Anak yang dieksploitasi secara seksual dan anak korban kejahatan seksual  berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan (Pasal 71D Ayat 1).

 

Larangan Melakukan Kejahatan Seksual pada Anak

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal 76D).

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul (76E).

 

Ketentuan Pidana dan Pidana Mati bagi Pelaku Kejahatan Seksual pada Anak

Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang bagian (Menimbang) Huruf (b) dikatakan bahwa kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun semakin meningkat dan mengancam peran strategis anak sebagai generasi penerus masa depan bangsa dan negara, sehingga perlu memperberat sanksi pidana dan memberikan tindakan terhadap pelaku kekerasan seksual terhadap anak dengan mengubah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dengan demikian, terjadi perubahan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual pada anak sehingga menjadi seperti apa yang tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang.

Ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan seksual pada anak sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang adalah sebagai berikut:

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 81 Ayat 1).

 

  1. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Pasal 81 Ayat 2).

 

  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 81 Ayat 3).

 

  1. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D (Pasal 81 Ayat 4).

 

  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) Tahun (Pasal 81 Ayat 5).

 

  1. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku (Pasal 81 Ayat 6).

 

  1. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik (Pasal 81 Ayat 7).

 

  1. Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.00O.0O0.0OO,00 (lima miliar rupiah) (Pasal 82 Ayat 1).

 

  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orangtua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 82 Ayat 2).

 

  1. Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E (Pasal 82 Ayat 3).

 

  1. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76E menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (Pasal 82 Ayat 4).

 

  1. Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (4), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku (Pasal 82 Ayat 5).

 

  1. Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan ayat (4) dapat dikenai tindakan berupa rehabilitasi dan pemasangan alat pendeteksi elektronik (Pasal 82 Ayat 6). (SRP)
Share

Related posts

Leave a Comment