PERILAKU BERBOHONG PADA ANAK

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan 

Perilaku berbohong adalah suatu tindakan dimana seseorang dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar dengan alasan dan tujuan tertentu. Perilaku berbohong tidak hanya terdapat pada orang dewasa, tetapi juga terjadi pada anak-anak. Selain merupakan perilaku yang tercela, perilaku berbohong sangat merugikan orang lain dan merusak masa depan anak. Perilaku berbohong pada anak akan merusak kepercayaan orang lain terhadap anak. Anak akan kehilangan berbagai kesempatan baik karena orang lain tidak percaya kepadanya, tidak dapat membangun relasi dan persahabatan yang sehat, dan menyebabkan anak berkonflik dengan orangtua, teman, atau guru ketika kebohongan terungkap. Konflik berpengaruh buruk pada kondisi sosio-emosional dan kesehatan mental anak. Anak yang sering berbohong akan tumbuh menjadi individu yang tidak  bertanggung jawab terhadap perkataan dan tindakannya, tersingkir dari komunitasnya, mendapatkan label pembohong, dan anak berpotensi menjadi “tertuduh” jika sesuatu yang buruk terjadi. Bahkan, perilaku berbohong pada anak dapat membuat anak berkonflik dengan hukum positif.

Walaupun perilaku berbohong pada anak merugikan orang lain, akan tetapi, sesungguhnya, anaklah yang paling menderita kerugian. Oleh karena itu, perilaku berbohong pada anak tidak boleh dianggap sepele. Sedari dini anak harus dididik untuk hidup jujur.  Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab munculnya perilaku bohong pada anak, antara lain:

  1. Ketakutan Rasa takut dapat membuat anak menjadi berbohong. Biasanya, rasa takut karena anak mendapat ancaman dan tekanan. Misalnya: Ibu mempunyai vas bunga kesayangan yang ditaruh di salah satu meja. Kepada seisi rumah ibu memberitahu bahwa vas bunga itu adalah vas bunga kesayangan ibu. Oleh karena itu, tidak boleh seorang pun yang memegang vas bunga itu. Jika ibu tahu ada yang menyentuh vas bunga itu, maka akan mendapat hukuman dari ibu. Suatu hari Joni bermain bola di dalam rumah. Tanpa sengaja bola menyentuh vas bunga. Ternyata sentuhan itu cukup keras dan membuat vas bunga itu jatuh dari meja dan pecah. Joni terkejut dan ketakutan. Ia ingat ancaman ibunya. Orang yang hanya menyentuh saja akan dihukum, apalagi memecahkan. Ketakutan mendorong Joni untuk berbohong.  Selain ancaman, tuntutan dapat membuat anak menjadi ketakutan. Misalnya: Ayah menuntut Joni untuk selalu mendapat nilai 100. Ayah akan marah besar jika nilai kuiz Joni di bawah angka 100. Suatu ketika, Joni mendapat nilai 10. Joni sangat ketakutan. Ia mengatakan mendapatkan nilai 100 pada kuiz matematika, tapi sayang kertas kuiznya hilang. Padahal, kertas itu dibuang oleh Joni agar ayahnya tidak dapat melihat nilai yang sebenarnya.
  2. Tidak Memiliki Teladan yang Baik Anak belajar melalui apa yang ia lihat dan dengar. Jika anak selalu melihat dan mendengar kebohongan, maka anak pun akan berperilaku demikian.
  3. Disuruh Berbohong Salah satu faktor yang menyebabkan anak berbohong adalah karena ia disuruh berbohong. Ada orang yang menganggap “bohong putih” itu baik. Berbohong untuk apa yang dianggap baik tidak masalah. Jadi, anak pun diajarkan berbohong. Misalnya: Joni dan ibunya lewat di depan rumah tetangga. Si tetangga pas sedang makan roti di teras dan menawarkan roti kepada Joni. Karena ibu tidak mau Joni menerima roti itu, maka ibu mendorong Joni untuk menolak dengan alasan masih kenyang. Padahal, baru saja bilang pada ibunya bahwa ia sangat lapar. Masalah ini kelihatan sepele padahal memberi pembelajaran negatif pada anak. Bohong adalah bohong. Menolak roti pemberian tetangga boleh saja dilakukan tetapi tanpa menyuruh anak berbohong.
  4. Kurang Pendidikan Nilai Pendidikan nilai-nilai norma dan moral wajib ditanamkan pada anak sedari dini guna menghindarkan anak dari berperilaku tercela. Dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran sejak dini, anak akan tumbuh menjadi individu yang jujur.
  5. Tidak Memiliki Keterampilan Komunikasi Asertif Anak yang tidak memiliki keterampilan komunikasi asertif akan mengalami hambatan dalam mengkomunikasikan pendapat atau keinginannya, terutama jika pendapat atau keinginannya itu dianggapnya berbeda dengan pendapat atau keinginan orang lain. Misalnya: Teman-teman sekelas Joni berencana pulang sekolah langsung pergi ke rumah salah seorang anak untuk bermain. Tidak ada paksaan. Siapa yang mau ikut boleh ikut, jika tidak mau ikut, tidak masalah. Ternyata, semua anak mau ikut. Sebenarnya, Joni tidak mau ikut karena belum mendapat izin dari orangtuanya. Karena merasa tidak enak hati, akhirnya Joni ikut bermain ke rumah temannya. Sampai di rumah, Joni berbohong kepada orangtuanya. Ia mengatakan bahwa tadi ia pergi ke rumah temannya karena ada tugas kelompok yang harus dikerjakan.
  6. Pola Asuh Negatif Pengawasan yang tidak memadai dari orangtua merupakan bagaian dari pola asuh negatif. Jika tidak ada pengawasan, maka anak berpotensi untuk berbohong. Selain itu, pembiaran terhadap perilaku bohong yang dilakukan anak akan membuatnya mengulangi kembali perilaku tersebut. Misalnya: Ibu menyimpan es krim di kulkas. Tanpa izin ibu, Joni memakan es krim tersebut. Ketika ibu membuka kulkas, ibu mendapati bahwa es krim sudah tidak ada. Lalu ibu bertanya kepada Joni apakah Joni makan es krim yang ibu simpan di kulkas. Lalu Joni menjawab bahwa tadi waktu membuka kulkas ia tidak sengaja menjatuhkan es krim itu. Mendengar itu, ibu bersikap biasa saja, seolah-olah percaya. Sikap ibu yang seperti ini akan mengajarkan pada Joni bahwa berbohong adalah pekerja mudah dan enak. Jadi, kelak ia akan berbohong lagi.

Dengan memahami faktor-faktor pemicu munculnya perilaku berbohong pada anak, orangtua dapat melakukan upaya preventif. Guna mencegah terjadinya perilaku berbohong pada anak, dapat diambil langkah-langkah berikut:

  1. Menjadi Teladan yang Baik Karena anak belajar dari apa yang ia lihat dan dengar, maka orangtua wajib memberikan teladan yang baik kepada anak. Jika anak selalu melihat dan mendengar kejujuran dari orangtuanya, maka anak lebih mudah memahami dan mempraktekkan perilaku jujur.
  2. Menanamkan Pendidikan Nilai Tanamkan nilai-nilai moral, kejujuran, dan integritas pada anak sedari dini. Diskusikan dengan anak betapa penting dan bermanfaatnya hidup jujur dan berintegritas.
  3. Menerapkan Pola Asuh Positf Misalnya: menerapkan konsekuensi yang jelas dan tegas jika anak berperilaku tidak jujur.
  4. Melatih Anak untuk Memiliki Keterampilan Komunikasi Asertif Keterampilan komunikasi asertif membuat anak mampu menyampaikan keinginan, pendapat, dan perasaannya secara tegas dan jelas, dengan cara yang baik, penuh hormat dan etika, tanpa mengabaikan perasaan dan hak orang lain. Keterampilan berkomunikasi asertif akan menghindarkan anak dari berkata bohong.
  5. Melatih Anak untuk Memiliki Keterampilan Menyelesaikan Masalah Jika anak memiliki keterampilan menyelesaikan masalah, maka anak tidak perlu berbohong, sekalipun dalam situasi sulit.
  6. Memberikan Penghargaan untuk Kejujuran Kejujuran harus dijunjung tinggi. Perilaku jujur yang ditunjukkan anak harus dihargai dengan cara memberikan penguatan positif. Misalnya: memberikan pujian secara verbal atau hadiah. Ini dapat meningkatkan motivasi anak untuk tetap jujur.
  7. Mendukung Anak dalam Berperilaku Jujur Ada kalanya berperilaku jujur menimbulkan hal yang tidak enak bagi anak. Misalnya: Karena tidak mau memberi contekan kepada temannya, anak menjadi dimusuhi oleh temannya tersebut. Kondisi ini dapat membuat anak merasa tidak nyaman. Dalam hal ini, orangtua harus dapat mendukung anak sehingga kondisi psikologis anak tetap stabil dan anak tetap memilih untuk berperilaku jujur.

Dengan melakukan kombinasi pendekatan-pendekatan ini, orangtua dapat menciptakan lingkungan yang kondusif dimana kejujuran dihargai dan ditanamkan sebagai nilai yang penting. Akan tetapi, ketika anak terbukti berbohong, orangtua tidak perlu terlalu panik, terlalu marah atau bersikap berlebihan. Langkah-langkah berikut dapat diambil sepagai upaya kuratif.

  1. Jangan Bersikap Marah Berlebihan Hindari bereaksi dengan kemarahan yang berlebihan karena hal ini dapat membuat anak menjadi ketakutan dan enggan berbicara lebih lanjut. Hal ini tidak akan mendatangkan solusi.
  2. Komunikasi Asertif Ciptakan suasana dimana anak merasa nyaman dan aman sehingga anak dapat berbicara dengan jujur dan terbuka. Pastikan anak tahu bahwa kejujuran dihargai dan bahwa orangtua tidak akan menghukum mereka dengan berlebihan.
  3. Refleksi Anak perlu dibimbing untuk merenung, memikirkan dengan tenang dan jernih tindakannya, dan memahami konsekuensinya. Bimbing anak untuk fokus pada pembelajaran dari kesalahan tersebut dan cara menghindari perilaku serupa di masa depan.
  4. Terapkan Konsekuensi yang Masuk Akal dan dapat Dipahami Anak Jelaskan pada anak konsekuensi yang timbul akibat dari kebohongan yang ia lakukan. Pastikan anak memahami bahwa perilaku berbohong mengandung konsekuensi yang merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
  5. Berikan Dukungan Emosional yang Memadai Dukungan emosional yang memadai akan memunculkan penyesalan pada anak tanpa membuatnya menjadi stres, dan mendorong anak untuk berperilaku jujur.

Melalui pendekatan yang penuh cinta kasih,  perhatian, dukungan, penerimaan, bimbingan, dan penghargaan terhadap anak,  orangtua dapat membantu anak untuk terhindar dari perilaku berbohong,  serta mendapatkan pembelajaran yang penting dan berharga dari perilaku bohong yang anak lakukan. Hal ini akan menjadi fondasi yang kokoh bagi anak untuk membangun perilaku jujur. (SRP)

Share

Related posts

Leave a Comment