KETIKA ANAK JATUH CINTA

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Menurut UU Perlindungan Anak sebagaimana tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik-motorik, kognitif, bahasa-komunikasi, sosial, emosional, moral-spiritual, dan psikoseksual. Ketika memasuki usia belasan tahun, anak memasuki suatu masa yang dikenal dengan pubertas. Di masa ini, anak mencapai kematangan reproduksi. Terjadi perubahan fisik, hormon, dan seksual yang mengarah pada kematangan reproduksi. Tubuh anak berkembang menjadi tubuh dewasa yang mampu bereproduksi. Anak juga sudah memiliki daya tarik seksual dan ketertarikan seksual kepada lawan jenis.

Dalam perkembangan psikososialnya, dimana anak mulai memiliki komunitas atau lingkaran pertemanan dengan sebayanya, ada kemungkinan anak mengalami ketertarikan spesial kepada lawan jenisnya. Pengalaman ini dikenal dengan nama jatuh cinta. Peristiwa jatuh cinta yang dialami oleh anak adalah hal yang wajar. Itulah sebabnya, ketika diketahui anak jatuh cinta, orang tua tidak perlu panik. Sebaliknya, peristiwa ini layak dirayakan karena itu menunjukkan bahwa anak sudah memasuki fase kehidupan selanjutnya, yakni masa remaja.

Tetap Tenang

Ada orang tua yang sulit menerima kenyataan bahwa anaknya yang bayi itu kini sudah bukan bayi lagi, tetapi sudah menjadi seorang remaja. Hal ini dapat dilihat dari cara orang tua memperlakukan anaknya. Akibatnya, orang tua kaget ketika mengetahui anaknya jatuh cinta. Bahkan, ada yang sedemikian panik, seolah-olah ada yang salah dengan “jatuh cinta”. Ketika diketahui anak jatuh cinta, orang tua harus tenang. Kalaupun terkejut, harus segera menenangkan diri. Kepanikan dapat membuat orang tua menjadi reaktif. Akibatnya, anak menjadi merasa tidak nyaman, menghindar dari orang tua, dan menutup akses informasi untuk orang tua. Ini tidak baik, karena orang tua tidak akan mendapatkan informasi tentang anak. Dengan demikian, orang tua tidak dapat mendampingi dan membimbing anak dalam masa jatuh cinta tersebut, serta tidak dapat memberi pertolongan kepada anak ketika anak mengalami masalah terkait jatuh cinta dan hubungan romantis.

Bangun Komunikasi Terbuka

Komunikasi terbuka adalah kunci dari terbentuknya relasi yang baik antara orang tua dan anak. Itulah sebabnya, komunikasi terbuka dengan anak perlu dibangun sejak awal. Dengan komunikasi terbuka, anak akan merasa nyaman bercerita kepada orang tua. Kenyamanan bercerita ini membuat orang tua mendapatkan informasi yang perlu diketahui terkait perasaan anak, hubungan anak dengan orang yang disukainya, dan lain sebagainya. Adanya komunikasi terbuka antara orang tua dan anak memungkinkan orang tua untuk memberikan bimbingan dan nasihat kepada anak. Selain itu, komunikasi terbuka dan rasa nyaman anak terhadap orang tua akan membuat anak menjadikan orang tua sebagai rujukan pertama dan utama. Anak akan meminta nasihat orang tua dan menjadikan nasihat tersebut sebagai pegangan hidup.

Hargai Perasaan Anak

Ada kecenderungan orang tua merasa lucu ketika mengetahui anaknya jatuh cinta. Mereka merasa aneh dengan peristiwa jatuh cinta anak karena merasa anaknya adalah anak kecil, bahkan bayinya yang masih imut-imut. “Masak sih bayi jatuh cinta?” Kira-kira demikian yang ada di benak mereka. Ada juga orang tua yang berpikir anak-anak belum boleh pacaran, jadi tidak boleh jatuh cinta. Karena anak masih sekolah, tugas anak adalah belajar. Berpacaran dan jatuh cinta dianggap sebagai sesuatu yang akan mengganggu studi anak. Jika studi anak terganggu, masa depan anak akan rusak. Jadi, anak dilarang keras berpacaran dan jatuh cinta. Kondisi ini berpotensi membuat anak merasa perasaannya tidak dihargai. Akibatnya, ia menarik diri, dan menutup akses untuk orang tua. Bisa jadi, anak menjalin hubungan romantis dengan seseorang tanpa diketahui oleh orang tua. Selain itu, sikap orang tua yang tampak seperti tidak menghargai perasaan anak dapat menimbulkan emosi negatif pada anak, seperti kesedihan yang mendalam, amarah, kecewa, atau kebencian.

Bantu Anak untuk Mengidentifikasi dan Memahami Perasaannya

Ketika diketahui anak sedang jatuh cinta, orang tua harus bersikap bijaksana. Rangkul anak, ciptakan lingkungan yang kondusif, dan bangun komunikasi terbuka dengan anak. Anak perlu dibantu untuk mengidentifikasi dan memahami perasaannya. Bisa jadi, ternyata apa yang dirasakan dan dipahami anak tentang cinta dan jatuh cinta tidak seperti yang orang tua pahami. Itulah sebabnya orang tua perlu memahami apa yang sedang dialami anak. Yakinkan anak bahwa ketertarikan atau rasa suka anak pada lawan jenis adalah sesuatu yang dapat dipahami! Bantu anak untuk berpikir dengan baik dan kritis terhadap perasaannya sendiri! Misalnya: apa yang anak pahami tentang cinta dan jatuh cinta, mengapa anak tertarik, suka, atau jatuh cinta pada seseorang. Hal ini dapat membantu anak untuk lebih stabil ketika jatuh cinta karena logikanya bekerja dengan baik. Anak tetap rasional ketika jatuh cinta, anak tetap logis ketika hatinya “berbunga-bunga”. Ini dapat menghindarkan anak dari perasaan melankolis yang berlebihan atau perilaku berisiko, seperti mengurung diri, tidak mau makan, melakukan seks bebas, dan lain-lain.

Tanamkan Nilai-nilai Keluarga dan Norma Masyarakat pada Anak

Penting menanamkan nilai-nilai keluarga kepada anak, misalnya nilai-nilai budaya dan ajaran agama yang dianut oleh anak dan keluarga tentang hubungan romantis. Karena anak hidup dalam masyarakat, maka pada anak perlu ditanamkan norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya etika, sopan santun, dan standar kepantasan. Jika anak menginternalisasi nilai-nilai tersebut, maka nilai-nilai  tersebut akan menjadi panduan bagi anak dalam menjalani kehidupannya, termasuk dalam relasi sosial dan hubungan romantis.

Berikan Pendidikan Seksual

Sebelum memasuki masa remaja, anak perlu diberikan pendidikan seksual. Pendidikan ini dapat membantu anak untuk memahami tubuhnya, pikirannya, keinginannya, dan perasaannya. Karena pendidikan seksual mencakup aspek kesehatan, budaya, psikologi, hukum positif dan agama, maka pemahamannya akan hal-hal tersebut menjadi lengkap. Dengan demikian, walaupun sedang jatuh cinta, anak akan berhati-hati dalam berperilaku, dan berpikir dengan baik sebelum bertindak. Ia akan memikirkan resiko, baik-buruk, untung-rugi, benar-tidak, pantas-tidak, dan berguna-tidaknya suatu perilaku.

Dorong Anak untuk Menjalin Persahabatan yang Sehat

Bagi anak-anak yang sudah memasuki usia remaja, pendapat teman-teman sebaya adalah hal yang penting. Mereka cenderung untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh kelompok teman sebayanya. Salah satu tujuannya adalah agar mereka diterima oleh kelompok. Akan tetapi, tidak semua yang merupakan aturan kelompok adalah benar dan berguna bagi anak. Oleh karena itu, anak harus dibantu mamahami hal ini. Anak juga perlu diberi pemahaman tentang persahabatan yang sehat. Orang tua perlu mendorong anak untuk menjalin persahabatan yang sehat. Baik dan ramah kepada semua orang adalah baik, tetapi perlu selektif dalam pergaulan. Demikian juga ketika anak jatuh cinta. Anak harus dibantu untuk memahami apa yang dimaksud dengan jatuh cinta, hubungan romantis, dan tujuan dari menjalin hubungan romantis. Dengan demikian, anak akan mampu menjalin hubungan yang sehat dengan kelompok teman-teman sebayanya dan orang yang ia sukai secara spesial.

Bantu Anak untuk Menetapkan Tujuan Hidupnya

Meskipun masih berusia anak (di bawah 18 tahun), anak perlu dibantu untuk menetapkan tujuan hidupnya. Ini adalah langkah penting guna menuntun anak dalam menapaki jalan-jalan di kehidupannya. Misalnya: apa cita-citanya, kelak dewasa ia ingin menjadi orang yang seperti apa, mengerjakan apa, serta apa yang perlu dilakukan dan perlu dihindari guna meraih itu. Ini dapat membantu anak  menjalani kehidupan dengan tujuan yang jelas. Dengan demikian, anak juga dapat bersikap lebih bijaksana dalam bergaul, termasuk dalam hubungan romantis.

Komunikasikan kepada Anak Ekspektasi Orang Tua terhadapnya

Pada umumnya, orang tua memiliki harapan terhadap anak. Orang tua perlu mengkomunikasi hal tersebut kepada anak agar anak tahu apa harapan orang tua terhadap dirinya. Harapan orang tua yang dikomunikasikan kepada anak dapat berfungsi menjadi panduan, penyemangat, sekaligus alarm peringatan dalam perjalanan anak. Misalnya: orang tua berharap anak dapat menyelesaikan studi sampai kepada jenjang universitas sehingga dapat meraih cita-cita yang anak inginkan. Untuk itu, anak harus rajin belajar. Jadi, walaupun anak jatuh cinta, ia akan dapat bersikap bijaksana. (SRP)

 

Share

Related posts

Leave a Comment