Oleh: Susi Rio Panjaitan
Dunia sedang berkembang sedemikian rupa. Teknologi digital dan internet memungkinkan terjadinya globalisasi dengan sangat cepat. Salah satu dampaknya adalah masuknya nilai-nilai baru dalam keluarga. Ada kalanya nilai-nilai tersebut berbeda sama sekali dengan nilai-nilai dasar dalam keluarga sehingga berisiko menimbulkan masalah dalam keluarga. Anak-anak dianggap membangkang kepada orang tua, sangat liberalis, melakukan seks bebas padahal seks bebas bertentangan dengan nilai-nilai agama yang diyakini keluarga, dan lain sebagainya. Bahkan, ada anak yang dianggap menjadi menyusahkan dan merepotkan keluarga karena berperilaku tidak adaptif. Misalnya, demi dapat bergaya hidup mewah, anak melakukan pencurian dan akhirnya berkonflik dengan hukum. Karena anak berkonflik dengan hukum, maka keluarga terutama orang tua menjadi terlibat, dalam arti ikut repot bahkan ikut menanggung dampak dari perilaku anak. Selain itu, banyak orang tua yang mengeluh dan berduka karena anak-anak dinilai tidak menghormati orang tua dan lari jauh dari nilai-nilai keluarga. Bahkan, tidak jarang terjadi konflik dalam keluarga karena hal ini.
Anak memiliki kecenderungan untuk mengadopsi nilai-nilai budaya asing, termasuk nilai-nilai yang bahkan bertolak belakang dengan nilai-nilai yang ada dalam keluarganya. Hal ini terjadi karena anak belum mencapai kematangan perkembangan, terutama aspek kognitif dan moral-spiritual. Nilai-nilai budaya asing yang mereka lihat di berbagai media sosial sering kali disajikan dengan cara dan bentuk-bentuk yang sangat menarik sehingga memikat banyak anak. Akibatnya, anak menjadi abai terhadap nilai-nilai keluarga dan mengadopsi nilai-nilai asing tersebut dalam hidupnya. Inilah yang kemudian memengaruhi cara berpikir, bertutur kata, berinteraksi, dan berperilaku anak. Lama-kelamaan, hal ini akan membentuk karakter dan kepribadian anak. Anak akan tampak sangat berbeda dari orang tua dan keluarganya. Untuk menghindari hal ini, orang tua perlu menanamkan nilai-nilai keluarga pada anak sejak dini.
Menanamkan nilai-nilai keluarga pada anak perlu dilakukan dengan cara yang efektif. Berikut adalah strategi yang dapat dilakukan guna menanamkan nilai-nilai keluarga pada anak.
Menjadi Teladan yang Efektif
Menunjukkan cara yang benar adalah langkah paling efektif dalam mengajarkan apa pun kepada siapa pun. Orang akan lebih mudah melakukan sesuatu jika ada contoh. Apabila orang tua ingin menanamkan nilai-nilai keluarga pada anak, misalnya nilai-nilai agama, maka cara yang paling efektif adalah orang tua harus hidup dalam nilai-nilai tersebut. Dalam bertutur kata, bersikap dan berperilaku sehari-hari, nilai-nilai tersebut harus tampak dalam diri orang tua. Misalnya, jika ingin menanamkan sopan santun pada anak, maka orang tua harus terlebih dahulu hidup dalam sopan santun. Dengan demikian, melalui contoh konkrit yang ada di hadapannya, anak akan lebih mudah meniru. Lama-kelamaan, sopan santun menjadi terinternalisasi dalam diri anak dan menjadi nilai hidupnya. Contoh lain, jika orang tua ingin menanamkan nilai-nilai dan ajaran agama yang mereka anut kepada anak, maka orang tua harus terlebih dahulu menghayati dan menghidupi nilai-nilai dan ajaran agamanya. Perilaku bersuara lebih keras daripada kata-kata. Dengan melihat hidup orang tuanya, anak-anak lebih mudah memahami dan mengadopsi nilai-nilai yang dihidupi oleh orang tua dan keluarganya.
Memberitahu Nilai-nilai Keluarga kepada Anak.
Anak perlu diberitahu tentang nilai-nilai yang dihayati dan dihidupi oleh orang tua dan keluarga. Jika anak tidak diberi tahu, bagaimana ia tahu dan diharapkan hidup dalam nilai-nilai tersebut? Misalnya, berita tahu kepada anak nilai-nilai yang merupakan ajaran agama yang dianut oleh keluarga. Penyampaian ini dapat dilakukan melalui metode ngobrol, bercerita, menonton film atau video pendek, atau membaca buku yang menarik.
Menciptakan Lingkungan Keluarga yang Penuh Cinta Kasih
Lingkungan keluarga yang penuh cinta kasih membuat anak merasa aman dan nyaman secara fisik maupun psikis. Anak akan lebih mudah memahami nilai-nilai baik dalam lingkungan keluarga yang penuh cinta kasih. Dengan demikian, dengan mudah dan senang hati anak akan mengadopsi nilai-nilai keluarga sebagai nilai-nilai pribadinya.
Komunikasi Terbuka
Komunikasi terbuka antara orang tua dan anak harus diciptakan. Orang tua harus dapat menjadi pendengar yang baik, yang mampu mendengarkan anak dengan sepenuh hati. Orang tua juga harus mampu berbicara dengan efektif, tanpa intimidasi dan penghakiman terhadap anak atau siapa pun. Selain itu, anak juga harus diberi kesempatan untuk menyampaikan perasaan, pendapat, pikiran, atau keinginannya. Di era digital ini, informasi apa pun dapat diperoleh dengan mudah. Setiap saat anak terpapar dengan sangat banyak nilai-nilai. Dengan adanya komunikasi terbuka, orang tua dan anak dapat saling bercerita dan diskusi. Selain itu, melalui kemunikasi terbuka, orang tua akan dapat mengetahui apa saja yang diketahui, dipahami dan dihadapi oleh anak, serta tahu apa yang menarik dan diinginkan anak. Hal ini akan memudahkan bagi orang tua untuk mengklarifikasi apa yang perlu diklarifikasi. Komunikasi terbuka juga memungkinkan bagi orang tua untuk mencarikan, menawarkan atau mendiskusikan suatu alternatif solusi penyelesaian masalah dengan anak, jika didapati anak menghadapi masalah, terutama yang terkait dengan nilai-nilai.
Bimbing
Sebagai individu yang masih sangat muda, pengalaman hidup yang dimiliki anak tidak sebanyak yang dimiliki oleh orang tua. Anak masih dalam proses pembelajaran di kehidupan. Dalam proses tersebut, anak perlu bimbingan dari orang tua. Bimbingan dapat berupa nasihat, arahan, teguran atas dasar kasih demi kepentingan terbaik anak, koreksi, dorongan, dan pencerahan.
Praktik Nilai
Anak harus didorong untuk melakukan secara konsisten nilai-nilai yang diajarkan dan ditanamkan oleh orang tua kepada dirinya, dalam kehidupannya sehari-hari. Misalnya, sopan santun, rendah hati, murah hati, sabar, dan kesederhaan harus juga dipraktikkan ketika di sekolah, tempat les, fasilitas umum, dan masyarakat. Dengan dipraktikkan berulang-ulang secara terus-menerus, maka nilai-nilai tersebut akan terinternalisasi dalam diri anak dan menjadi hidup anak.
Tidak Menghakimi, tetapi Mengapresiasi
Upaya anak dalam mempraktikkan nilai-nilai keluarga perlu diapresiasi. Ada kalanya anak gagal, tetapi tidak boleh menghakimi anak apalagi mengancam dan menakut-nakuti. Misalnya, ketika anak terbukti mencuri, lebih baik menenangkannya, mencari tahu dan memahami alasannya mencuri, mendorongnya untuk meminta maaf, mendorongnya untuk bertanggung jawab, dan mendampinginya menanggung konsekuensi dari perilakunya, daripada menghajarnya dengan pukulan, atau menuduhnya berdosa dan pasti masuk neraka. Kebelumberhasilan anak dalam mempraktikkan nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua dapat dipahami, dan perlu diterima sebagai pembelajaran. Dari hal ini anak akan belajar mengapa ia belum berhasil, dan bagaimana caranya agar ke depan ia mampu mempraktikkan nilai-nilai baik tersebut.
Konsisten
Dalam mempraktikkan nilai-nilai keluarga, ada kemungkinan anak menghadapi tantangan. Tantangan tersebut dapat berasal dari diri anak sendiri, maupun dari lingkungan. Misalnya, anak ingin hidup jujur, tetapi hari itu di sekolah ada ujian, dan anak merasa pertanyaan ujian sangat sulit dan ia tidak tahu jawabannya. Godaan ingin mendapat nilai yang baik begitu besar sehingga terbersit dalam pikirannya untuk menyontek. Contoh lain, pada anak ditanamkan bahwa pornografi tidak baik sehingga ia tidak boleh menonton film/video porno dan tidak boleh main games yang berkonten porno. Akan tetapi, teman-temannya mengajak, membujuk, mendesak, bahkan memaksanya untuk ikut nonton film porno. Dalam kasus-kasus seperti ini, anak perlu didorong untuk konsisten mempraktikkan nilai-nilai yang ditanamkan orang tua walaupun ada tantangan dan konsekuensi. Konsistensi dalam mempraktikkan nilai-nilai baik yang ditanamkan keluarga akan membuat nilai-nilai tersebut tertanam dan berakar dalam diri anak, dan buahnya akan tampak dalam kehidupan anak sehari-hari.(SRP)