Oleh: Susi Rio Panjaitan
Pendahuluan
Kemampuan berkomunikasi yang baik merupakan aspek penting dalam perkembangan holistik anak, juga berkontribusi pada keberhasilan pribadi, sosial, dan akademis anak. Keterampilan ini membuat anak mampu memahami informasi dengan baik; dapat mengekspresikan pemikiran, perasaan, dan kebutuhannya dengan jelas; memiliki hubungan sosial yang baik; dan mampu membangun dan menjaga hubungan dengan teman sebaya, guru, dan anggota keluarga. Selain itu, kemampuan berkomunikasi secara efektif juga memungkinkan anak untuk berhasil di sekolah karena ia dapat memahami, menyampaikan, dan berbagi informasi dengan mudah.
Sayangnya, tidak semua anak memiliki keterampilan berbicara dan berkomunikasi yang baik. Banyak anak yang mengalami hambatan dalam berbicara dan berkomunikasi. Salah satunya adalah gangguan komunikasi mutisme selektif (GKMS). Mutisme selektif adalah suatu kondisi dimana anak mampu berbicara dan berkomunikasi dengan baik, tetapi anak memilih untuk tidak berbicara atau berkomunikasi di situasi tertentu. Disebut mutisme selektif karena anak menjadi “bisu” hanya dalam situasi tertentu. Misalnya: anak mau dan mampu berbicara dan berkomunikasi dengan orangtua dan saudara-saudara kandungnya, tetapi ia tidak mau berbicara dengan teman-teman dan gurunya di sekolah. Kondisi ini bukan disebabkan oleh ketidakmampuan atau gangguan bahasa, tetapi karena masalah psikologis, seperti gangguan kecemasan yang kompleks.
Kondisi Umum pada Anak Penyandang Mutisme Selektif
Banyak anak penyandang mutisme selektif yang mengalami fobia sosial. Mereka merasa cemas dengan berbagai situasi sosial; takut berbicara dan berinteraksi dengan orang lain; serta sulit merespons dan memulai komunikasi secara verbal. Hal ini menyebabkan anak mengalami hambatan dalam menjalin relasi sosial, termasuk dengan teman-teman sekolahnya. Gangguan kecemasan adalah kondisi umum pada anak penyandang mutisme selektif, tetapi mereka tidak menunjukkan kecemasan tersebut dengan cara yang sama. Ada anak yang benar-benar bisu dan tidak dapat berbicara atau berkomunikasi dengan siapa pun; ada yang dapat berbicara tetapi hanya kepada orang-orang tertentu; ada yang berbicara dengan cara berbisik, seolah-olah ia tidak mau ada yang mendengarkan ucapannya; ada yang berdiri dengan kaku karena ketakutan jika sedang berada dalam lingkungan tertentu; tidak berekspresi, tidak emosional; jarang tersenyum; suka mengunyah; suka memutar-mutar rambut; menghindari kontak mata; menarik diri dari kelompok; sering menyendiri; dan tidak suka jika diperkenalkan dengan orang lain.
Anak dengan mutisme selektif yang ringan dapat terlihat santai dan riang, mampu bersosialisasi dengan beberapa anak, namun tidak mampu berbicara dan berkomunikasi secara efektif dengan guru atau teman sebayanya, bahkan teman sekelasnya. Jika dibandingkan dengan anak yang dikategorikan sebagai anak pemalu atau penakut, anak penyandang mutisme selektif dikategorikan sebagai anak yang memiliki rasa malu dan takut yang ekstrim.
Kecemasan pada anak penyandang mutisme selektif menunjukkan tanda-tanda kecemasan yang parah. Perpisahan dengan seseorang bagi mereka dapat menimbulkan kecemasan yang parah, padahal bagi anak lain hal tersebut biasa saja. Rasa tidak nyaman dan cemas pada anak penyandang mutisme selektif juga dapat tampak dalam perilaku suka mengamuk, menangis, menutup diri, menghindar, murung, tidak fleksibel, dan memiliki masalah tidur. Ada juga di antara mereka yang mengalami Sensory Processing Disorder (SPD). Kondisi ini membuat mereka mengalami kesulitan dalam memroses informasi sensorik tertentu. Misalnya: mereka sangat sensitif terhadap suara, cahaya, sentuhan, rasa, dan bau. Mereka juga mengalami hambatan dalam memodulasi stimulus sensorik sehingga mempengaruhi respons emosional mereka. SPD membuat anak salah dalam menafsirkan isyarat lingkungan sosial. Hal ini dapat menyebabkan ketidakfleksibelan, frustrasi dan kecemasan pada anak.
Penyebab Mutisme Selektif
Penyebab mutisme selektif tidak sepenuhnya dipahami, tetapi ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya mutisme selektif pada anak, antara lain: kecemasan sosial, ketidaknyamanan dalam situasi tertentu, dan ketidakmampuan mengatasi tekanan berbicara di depan orang banyak. Selain itu, faktor genetik dan lingkungan juga dapat mempengaruhi berkembangnya mutisme selektif pada anak.
Diagnosa
Diagnosa terhadap mutisme selektif dilakukan melalui asesmen yang dilakukan oleh profesional, seperti psikolog atau psikiater. Langkah-langkah umum dalam diagnosa biasanya berupa wawancara klinis dimana dokter atau psikolog melakukan wawancara dengan anak. Ini untuk mengetahui tentang riwayat perkembangan, situasi dimana mutisme terjadi, dan faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Selain itu, perlu juga untuk melakukan pemeriksaan fisik dan psikologis. Pemeriksaan fisik dapat membantu mengeliminasi kemungkinan penyebab medis. Pemeriksaan psikologis dapat berupa tes yang dirancang untuk menilai kecemasan atau faktor-faktor psikologis lainnya. Biasanya, dalam proses diagnosa, profesional juga melibatkan orangtua dan guru guna mendapatkan informasi tentang perilaku anak. Ini dapat membantu memahami konteks dimana mutisme selektif sering terjadi. Ada juga profesional yang melakukan observasi guna melihat langsung perilaku anak.
Setelah melakukan asesmen yang komprehensif, dokter atau psikolog klinis dapat membuat diagnosis. Diagnosis mutisme selektif hanya dapat diberikan jika kriteria yang ditetapkan untuk mutisme selektif sebagaimana yang tertulis dalam Diagnostic And Statistical Manual Of Mental Disorders (DSM) 5 terpenuhi.
Penanganan Gangguan Komunikasi Mutisme Selektif pada Anak
Gangguan komunikasi mutisme selektif terjadi karena adanya kecemasan yang berlebihan pada anak. Oleh karena itu, penanganan untuk kondisi ini difokuskan pada membantu anak mempelajari keterampilan mengatasi perasaan cemas. Jika anak mampu mengatasi kecemasannya, maka ia akan dapat berkomunikasi dan membangun relasi sosial yang baik. Anak juga perlu dilatih untuk membangun rasa percaya diri yang sehat. Jika anak suka membuat sesuatu, misalnya menggambar, mewarnai, atau melukis, maka karya harus diapresiasi dan dipamerkan. Misalnya: membuat dinding atau papan khusus untuk memajang karya anak. Selain dapat membangkitkan rasa percaya diri anak, cara ini dapat dipakai untuk melatih kemampuan verbal anak. Misalnya: minta anak untuk bercerita tentang karyanya itu kepada anggota keluarganya.
Anak juga perlu didorong untuk bersosialisasi sebanyak mungkin tetapi dengan tanpa memaksa. Dapat dilakukan dengan cara mengudang teman-teman anak untuk bermain ke rumah. Karena anak merasa nyaman di rumahnya, maka diharapkan ia tidak terlalu kaku saat berbicara dengan temannya tersebut. Ketika anak sudah merasa nyaman berbicara dengan satu anak, maka dapat mengundang anak lainnya. Selanjutnya, dapat dicoba dengan mengundang beberapa anak sekaligus. Dengan cara ini, lambat laun anak akan terlatih berbicara dengan orang lain, bahkan dengan beberapa orang sekaligus.
Proses penanganan gangguan komunikasi mutisme selektif pada anak sangat perlu melibatkan sekolah. Sekolah harus memiliki pemahaman yang benar tentang mutisme selektif agar dapat berperan aktif dan berkontribusi positif dalam perkembangan anak.
Penerimaan orangtua terhadap anak dan keterlibatan keluarga dalam proses tatalaksana memiliki peran yang sangat penting. Sangat penting menerapkan pola asuh yang positif. Anak tidak boleh dipaksa untuk berbicara atau banyak berbicara karena hal ini dapat membuat anak merasa tidak nyaman, tertekan dan semakin cemas. Dengan diagnosis dini dan tatalaksana yang sesuai, maka gangguan mutisme selektif pada anak dapat diatasi. (SRP)