Oleh: Susi Rio Panjaitan
Bahasa bukan sekadar rangkaian kata, melainkan jembatan hati yang menghubungkan orang tua dan anak. Sejak bayi pertama kali mendengar suara ayah dan ibunya, bahasa menjadi suara kehidupan yang menumbuhkan rasa aman, kasih, dan keterikatan emosional. Setiap kata yang diucapkan orang tua, baik lembut maupun keras, akan membekas dalam ingatan anak, dan membentuk persepsi mereka terhadap diri sendiri, orang lain, bahkan dunia di sekitarnya. Saat orang tua berbicara dengan penuh kasih, anak belajar bahwa dirinya berharga dan dicintai. Sebaliknya, jika bahasa yang diterima penuh amarah atau merendahkan, anak akan terluka dan luka tersebut akan memengaruhi cara pandangnya hingga dewasa. Dengan kata lain, bahasa orang tua bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga warisan hidup yang akan terus melekat dan membentuk karakter serta identitas anak di sepanjang perjalanan hidupnya.
Lebih jauh lagi, bahasa yang diturunkan orang tua kepada anak sejatinya adalah investasi yang dampaknya melampaui waktu. Cara berbicara, pilihan kata, nada suara, hingga ekspresi wajah menjadi “kamus batin” yang akan digunakan anak untuk menafsirkan dunia. Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, anak tidak hanya meniru perilaku, tetapi juga menyerap pola komunikasi yang mereka alami sehari-hari. Jika orang tua menanamkan bahasa yang penuh dukungan, apresiasi, dan dorongan positif, anak akan mewarisi rasa percaya diri, empati, serta kemampuan berelasi yang sehat. Namun, jika bahasa yang diwariskan penuh cemooh, ancaman, atau sikap dingin, maka anak bisa mewarisi pola komunikasi yang kaku, penuh ketakutan, atau bahkan melahirkan siklus yang sama ketika ia kelak menjadi orang tua. Oleh karena itu, karena bahasa adalah warisan hidup, maka orang tua harus berhati-hati dalam memilih kata, menimbang cara berbicara, dan menggunakan bahasa yang positif dan membangun, bukan yang berpotensi melukai siapa pun.
Bahasa orang tua juga merupakan “nutrisi emosional” yang akan memengaruhi tumbuh kembang anak di berbagai aspek kehidupan. Kata-kata pujian sederhana seperti “Kamu hebat,” atau “Mama bangga padamu,” dapat menyalakan semangat dan menumbuhkan rasa percaya diri anak. Begitu pula ungkapan penuh perhatian seperti “Papa mengerti kamu sedang sedih” atau “Mama akan selalu ada untukmu” akan memperkuat ikatan emosional antara orang tua dan anak, sekaligus mengajarkan anak untuk berempati. Selain itu, anak yang terbiasa menerima bahasa penuh kasih akan tumbuh lebih resilien, mampu menghadapi tekanan hidup, dan tidak mudah hancur oleh kritik. Sebaliknya, anak yang sering mendengar kata-kata kasar, perbandingan yang melemahkan, atau ancaman, cenderung menginternalisasi pengalaman itu sebagai kebenaran tentang dirinya. Mereka akan tumbuh dengan rasa tidak aman, rendah diri, atau bahkan mewarisi pola komunikasi yang sama ketika berhubungan dengan orang lain. Oleh karena itu, bahasa orang tua adalah semacam cermin yang tidak hanya memantulkan kasih atau amarah, tetapi juga memberi warna pada jiwa anak yang akan dibawanya sepanjang hayat.
Warisan bahasa dari orang tua bukan hanya berhenti di satu generasi, melainkan dapat berlanjut ke generasi berikutnya. Anak yang dibesarkan dengan bahasa positif akan cenderung berbicara dengan penuh penghargaan kepada orang lain, termasuk kelak kepada anak-anaknya. Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam lingkungan penuh teriakan, celaan, atau ancaman, dapat tanpa sadar mewarisi pola yang sama. Inilah yang disebut sebagai siklus komunikasi antar generasi. Misalnya, seorang ayah yang dulu selalu dimarahi dan dipanggil dengan kata-kata kasar, tanpa disadari bisa mengulang pola itu kepada anaknya. Hal ini terjadi karena itu satu-satunya cara komunikasi yang ia kenal. Namun, siklus ini dapat diubah ketika orang tua menyadari bahwa bahasa adalah warisan. Dengan kesadaran tersebut, mereka dapat memilih untuk berhenti mengulang pola lama dan mulai menanamkan bahasa baru yang lebih sehat, penuh kasih, dan membangun. Perubahan kecil, seperti mengganti kalimat “Kamu selalu salah” dengan “Ayo kita coba lagi, kamu pasti bisa,” dapat menjadi titik awal perubahan besar dalam kehidupan anak.
Kesadaran bahwa bahasa adalah warisan hidup anak seharusnya mendorong setiap orang tua untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata, nada, maupun sikap ketika berkomunikasi. Tidak ada orang tua yang sempurna, tetapi setiap orang tua dapat belajar untuk mengelola emosinya, menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata yang melukai, dan menggantinya dengan bahasa yang positif dan menghidupkan. Bahasa yang penuh kasih bukan berarti memanjakan atau menutup mata dari kesalahan anak, melainkan memberi teguran dengan cara yang membangun dan mengajarkan nilai kehidupan. Dengan demikian, anak tidak hanya belajar dari isi kata, tetapi juga dari cara penyampaiannya. Pada akhirnya, bahasa orang tua akan menjadi harta yang tak ternilai, karena ia melekat dalam ingatan, menjiwai cara anak memandang dirinya, dan membentuk pola komunikasi yang akan diwariskan kembali pada generasi selanjutnya. Oleh karena itu, orang tua perlu senantiasa menyadari bahwa setiap kata yang diucapkan adalah benih yang akan tumbuh menjadi pohon kehidupan dalam diri anak. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan:
Menggunakan Kata-kata Positif dan Afirmasi
Biasakan memuji usaha, bukan hanya hasil. Contoh: “Kamu sudah berusaha keras, Mama bangga”. Ucapkan kalimat afirmasi rutin. Contoh: “Papa sayang kamu,” atau “Kamu berharga”.
Hindari Bahasa yang Merendahkan atau Membanding-bandingkan
Kalimat seperti “Kamu malas, kamu memang pemalas” atau “Kenapa tidak seperti kakakmu?” bisa menimbulkan luka pada hati anak. Bahasa yang berpotensi melukai harus diganti dengan bahasa yang membangun. Contoh: “Ayo kita coba lagi”, atau “Kamu punya kelebihan unik”.
Menyampaikan Teguran dengan Cara Mendidik
Anak harus diarahkan, tetapi dengan bahasa yang membimbing, bukan melukai. Contoh: alih-alih berkata: “Aduhhhh, kamu selalu ceroboh sekali!”, lebih baik “Hati-hati ya Nak1 Kalau kamu hati-hati, hasilnya akan lebih baik.”
Menggunakan Nada Suara dan Ekspresi yang Selaras
Anak tidak hanya mendengar kata-kata, tetapi juga menangkap emosi di baliknya. Katakan “Papa bangga” dengan senyum dan tatapan hangat, agar maknanya lebih kuat.
Menjadikan Bahasa Kasih sebagai Kebiasaan Harian
Mulai dan akhiri hari dengan kata-kata positif. Misalnya doa atau ucapan syukur bersama anak. Gunakan momen kecil, seperti makan bersama, untuk menanamkan kata-kata yang memberi semangat.
Belajar Mengelola Emosi Sebelum Bicara
Saat marah, orang tua rentan mengeluarkan kata-kata yang disesali. Oleh karena itu, orang tua harus mampu mengelola emosi. Strateginya: tarik napas dalam-dalam, tenangkan diri, lalu bicara dengan bahasa yang tetap menghormati anak.
Konsistensi dalam Perkataan dan Perbuatan
Anak akan lebih mengingat kata-kata yang sesuai dengan tindakan orang tua. Jika orang tua berkata “Kejujuran itu penting”, maka tunjukkan juga lewat sikap sehari-hari.
Bahasa yang diucapkan orang tua kepada anak bukanlah sekadar rangkaian kata, melainkan benih yang akan bertumbuh menjadi pohon kehidupan dalam diri mereka. Kata-kata yang penuh kasih, dukungan, dan penguatan akan menjadi warisan berharga yang membekali anak menghadapi perjalanan hidupnya, sementara kata-kata yang melukai dapat meninggalkan jejak panjang yang sulit dihapus. Menyadari hal ini, setiap orang tua perlu berhati-hati memilih kata, melatih kesabaran sebelum berbicara, dan menghadirkan bahasa yang membangun, bukan meruntuhkan. Pada akhirnya, warisan terbesar yang bisa diberikan orang tua bukanlah harta benda atau pencapaian semata, melainkan bahasa yang menghidupkan, bahasa yang menumbuhkan rasa percaya diri, kasih, dan pengharapan dalam hati anak. Setiap kalimat yang lahir dari kasih akan melekat dalam ingatan, menjadi suara batin yang menguatkan ketika anak menghadapi tantangan, dan diteruskan kembali kepada generasi berikutnya. “Bahasa orang tua adalah suara hati yang akan tinggal selamanya dalam diri anak. Oleh karena itu, pilihlah kata-kata yang membangun dan menghidupkan, bukan yang melukai dan membunuh.” (SRP)