Oleh: Susi Rio Panjaitan
“Kemaren Benny (bukan nama sebenarnya) dimarahi ibi-ibu di rumah sakit.”, kata seorang klien kepada saya. “Kenapa?”, tanya saya. “Kemaren saya bawa Benny jaga papanya. Soalnya di rumah ga ada yang jaga.”, Ayah Benny sedang sakit dan dirawat di ICU sebuah rumah sakit. Benny adalah seorang remaja penyandang autis. Lalu Ibu Benny meneruskan ceritanya. “Iya. Kan pas malam-malam, tiba-tiba suster panggil saya. Katanya dokter mau bicara sama saya. Nah, Benny pas tidur. Jadi saya tinggal di ruang tunggu. Tapi, pas saya balik, saya dengar suara seorang ibu marah-marah. Saya cepat-cepat masuk ruangan. Ternyata ibu itu lagi marah-marah sama Benny.” “Kenapa Benny dimarahi ibu itu?”, tanya saya. “Ternyata, waktu saya ke tempat dokter, Benny tiba-tiba bangun. Tiba-tiba dia buka semua pakaiannya. Mungkin dia kegerahan Bu. Nah, ibu itu kaget dan marah-marah sama Benny. Tapi Benny cuek aja.” Demikian cerita ibu Benny.
Cerita di atas adalah kisah nyata. Itu hanya satu dari sekian banyak kisah yang terkait penyandang autis, yang terjadi di masyarakat. Dalam kisah di atas, ketidakpahaman tentang autis membuat ibu itu terkejut dan marah-marah kepada Benny. Untunglah ibu Benny segera datang sehingga ibu tersebut tidak melakukan tindakan yang dapat merugikan atau membahayakan Benny. Bagaimana jika terjadi hal-hal yang dapat merugikan dan membahayakan Benny? Itulah sebabnya, perlu menciptakan masyarakat masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis.
Autism Spectrum Disorder (ASD) atau autis adalah gangguan neurologis nonprogresif yang biasanya tampak sebelum anak berusia tiga tahun. Gangguan ini memengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuan anak dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal; berinteraksi sosial; serta berperilaku. Autis mencakup asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS). Gejala dan karakteristik autis muncul dalam berbagai level, mulai dari yang ringan hingga yang parah. Tidak ada anak penyandang autis yang benar-benar persis satu sama lain. Mereka sangat berbeda dalam banyak hal dan memiliki keterampilan yang berbeda-beda.
Autis bukan penyakit, melainkan suatu kondisi dimana otak penyandangnya bekerja dengan cara yang berbeda dari otak orang yang tidak menyandang autis. Kondisi autis yang disandang oleh seorang anak akan melekat pada dirinya seumur hidup. Oleh karena itu, tidak perlu berupaya untuk menyembuhkan autis. Penyandang autis mengalami kesulitan dalam memahami apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain. Mereka juga mengalami kesulitan dalam mengekspresikan diri, baik dengan menggunakan bahasa verbal, bahasa tubuh, ekspresi wajah, maupun sentuhan. Selain itu, pada umumnya, penyandang autis memiliki masalah belajar; sensitifitas sensorik; masalah kesehatan seperti gangguan gastrointestinal (GI), kejang atau gangguan tidur; serta masalah kejiwaan seperti: gangguan hiperaktif atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD), gangguan kecemasan, dan depresi.
Perkembangan keterampilan pada anak penyandang autis tidak merata. Misalnya: keterampilan mereka dalam berkomunikasi sangat rendah, tetapi mereka sangat pandai dalam seni, musik, bernyanyi, menari, atau olahraga. Hingga saat ini penyebab terjadinya autis belum ketahui dengan pasti. Namun, para ahli melihat adanya beberapa gen yang memiliki kaitan dengan terjadinya autis. Autis tidak terjadi akibat pola asuh yang buruk; penggunaan vaksin, seperti vaksin MMR; konsumsi makanan dan minuman; atau infeksi yang dapat menular. Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya autis adalah: 1) faktor keturunan, artinya, orangtua yang menyandang autis berisiko memiliki anak autis; 2) Efek samping minuman beralkohol atau obat-obatan (terutama obat epilepsi untuk ibu hamil) saat mengandung; 3) pengaruh gangguan lainnya, seperti downsyndrome, distrofi otot, neurofibromatosis, sindrom tourette, lumpuh otak (cerebral palsy); sindrom rett; dan kelahiran prematur. Untuk dapat memberikan diagnosa autis pada seorang anak, para ahli biasanya menggunakan data yang berisi daftar perilaku anak yang diperoleh dari orangtua, guru atau pengasuh anak; observasi; skrining perkembangan; tes Autism Diagnostic Observation Schedule (ADOS); tes pendengaran; tes penglihatan, dan tes genetik.
Perkembangan anak penyandang autis berbeda dari anak-anak lain. Anak yang tidak menyandang autis berkembang pada tingkat yang sama di semua aspek perkembangan, seperti perkembangan kemampuan motorik, bahasa, kognitif, dan sosial, sedangkan anak penyandang autis berkembang pada tingkat yang berbeda di berbagai aspek perkembangan. Misalnya: anak penyandang autis mengalami keterlambatan dalam keterampilan bahasa-komunikasi, sosial, dan kognitif, tetapi keterampilan motorik mereka sama dengan anak lain seusia mereka. Atau, anak penyandang autis sangat pandai menyusun puzzle, tetapi ia tidak pandai dalam beberapa hal yang menurut kebanyakan orang mudah, seperti berbicara atau berteman. Selain itu, anak penyandang autis sangat mungkin menguasai keterampilan yang sulit padahal mereka tidak menguasai keterampilan yang mudah. Misalnya: ada anak yang dapat membaca kalimat yang panjang, tetapi tidak dapat memberi tahu bunyi huruf tertentu atau mengeja; ada yang mampu menjawab dengan benar soal matematika yang sulit, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana jawaban tersebut diperoleh. Ada juga anak penyandang autis yang sudah memiliki keterampilan tertentu, tetapi kemudian, entah bagaimana, keterampilan tersebut hilang. Misalnya, seorang anak pernah dapat mengucapkan banyak kata, tetapi kemudian tidak bisa berbicara sama sekali.
Masing-masing penyandang autis memiliki kekuatan dan hambatan yang berbeda. Kemampuan penyandang autis dalam belajar, berpikir, dan memecahkan masalah berkisar dari sangat terampil hingga sangat tidak mampu. Ada anak yang memerlukan dukungan atau bantuan yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari, ada yang membutuhkan hanya sedikit bantuan, dan ada juga yang dapat hidup mandiri sepenuhnya. Autis memang kondisi seumur hidup, tetapi tidak perlu diratapi. Bahkan, autis adalah potensi sehingga harus dirayakan. Walaupun penyandang autis memiliki banyak tantangan, bukan berarti mereka tidak memiliki kekuatan, sifat positif, dan potensi. Diagnosa autis terhadap anak hanya menggambarkan suatu kondisi dimana anak memiliki serangkaian sifat dan hambatan. Ada yang mengatakan bahwa Einstein dan Mozart adalah penyandang autis. Pada bagian penjelasan dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 4 Ayat (1) Huruf (c) Bagian (b) tertulis: “Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.” Dengan merujuk pada undang-undang ini, penyandang autis di Indonesia masuk dalam kelompok penyandang disabilitas mental. Diperkirakan jumlah penyandang autis di Indonesia bertambah dari tahun ke tahun. Artinya, jumlah anggota masyarakat yang menyandang autis semakin banyak. Untuk dapat bertumbuh dan berkembang dengan optimal, penyandang autis membutuhkan dukungan, tidak hanya dari orangtua dan keluarganya saja, tetapi juga membutuhkan dukungan dari masyarakat. Oleh sebab itu, masyarakat harus ramah terhadap penyandang autis.
Masyarakat yang ramah penyandang autis adalah masyarakat yang memahami, mendukung, dan memfasilitasi kebutuhan penyandang autis; memiliki pemahaman yang baik tentang autis; serta menciptakan lingkungan yang inklusif dimana penyandang autis diterima dan dihargai. Masyarakat yang ramah penyandang autis dapat membantu penyandang autis dalam mengembangkan potensi mereka secara optimal sehingga dapat berkontribusi pada masyarakat. Untuk menciptakan masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis, ada beberapa langkah yang dapat diambil, antara lain sebagai berikut:
Pendidikan Autis dalam Masyrakat
Pendidikan autis dalam masyarakat adalah strategi penting untuk menciptakan lingkungan yang ramah terhadap penyandang autis. Melalui pendidikan autis yang terfokus dan inklusif, masyarakat dapat dengan lebih baik memahami serta mendukung perkembangan dan kebutuhan penyandang autis, serta menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan inklusif secara keseluruhan. Kampanyekan pendidikan dan kesadaran mengenai autisme di sekolah, tempat kerja, dan masyarakat. Sosialisasikan informasi tentang spektrum autisme dan cara berinteraksi dengan penyandang autis. Jalankan kampanye media sosial, poster, dan seminar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang autisme. Fokuskan pesan pada pemahaman spektrum autisme dan keunikan setiap individu.
Pelatihan Karyawan dan Pelayan Publik
Berikan pelatihan kepada staf di sekolah, tempat kerja, dan pelayanan publik agar mereka memahami dan mendukung penyandang autis. Pelatihan karyawan dan pelayan publik merupakan strategi kunci untuk menciptakan masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis. Dengan pelatihan karyawan dan pelayan publik yang memadai, masyarakat dapat menyediakan layanan yang lebih ramah dan inklusif bagi penyandang autis, dan menciptakan pengalaman positif dalam berbagai konteks pelayanan publik.
Menyediakan Fasilitas Publik yang Ramah Autis
Menyediakan fasilitas publik yang ramah terhadap penyandang autis adalah strategi kunci untuk menciptakan masyarakat yang inklusif. Sediakan fasilitas yang ramah bagi penyandang autis di tempat umum, seperti taman, pusat perbelanjaan, dan transportasi umum. Sediakan ruang khusus yang tenang di tempat umum untuk mereka yang memerlukan waktu istirahat dari stimulus lingkungan. Identifikasi dan modifikasi fasilitas umum untuk membuatnya lebih ramah terhadap kebutuhan penyandang autis. Sediakan petunjuk visual dan informasi yang jelas di tempat-tempat umum.
Inklusifitas dalam Layanan Pendidikan
Dorong sistem pendidikan inklusif yang memungkinkan partisipasi penyandang autis dalam lingkungan sekolah biasa. Berikan dukungan dan sumber daya yang diperlukan untuk memastikan keberhasilan mereka dalam lingkungan pendidikan. Implementasikan program pendidikan inklusif yang mengakomodasi kebutuhan belajar penyandang autis di sekolah. Dorong partisipasi aktif teman sebaya untuk membangun lingkungan sosial yang inklusif. Inklusifitas dalam layanan pendidikan adalah strategi utama untuk menciptakan masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis. Dengan mengintegrasikan prinsip inklusifitas dalam layanan pendidikan, masyarakat dapat membentuk lingkungan pendidikan yang mendukung, menerima, dan menghormati keberagaman, termasuk penyandang autis.
Budaya Inklusif dalam Organisasi
Budaya inklusif dalam organisasi adalah strategi penting untuk menciptakan masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis. Dengan menciptakan budaya inklusif dalam organisasi, masyarakat dapat merasakan dampak positif yang meluas, menciptakan lingkungan yang mendukung penyandang autis, serta mempromosikan nilai-nilai kesetaraan, penghargaan, dan penerimaan. Pastikan kesetaraan peluang dalam pekerjaan dan karier untuk penyandang autis. Dorong perusahaan untuk menerapkan kebijakan inklusi dan menyesuaikan lingkungan kerja agar ramah terhadap kebutuhan khusus. Dorong perusahaan dan organisasi untuk mengadopsi budaya inklusi yang menerima perbedaan, termasuk penyandang autis. Sediakan dukungan dan fleksibilitas bagi karyawan yang menyandang autis, dan berikan penghargaan atau sertifikasi kepada bisnis dan organisasi yang menjalankan praktik inklusif terhadap penyandang autis.
Kampanye “No Stigma” terhadap Penyandang Autis
Lakukan kampanye untuk mengurangi stigma terhadap autis dan mendorong penerimaan masyarakat terhadap perbedaan. Libatkan tokoh masyarakat dan selebriti untuk menjadi “pembela dan pendukung” bagi penyandang autis. Kampanye tanpa stigma adalah strategi efektif untuk menciptakan masyarakat yang lebih ramah terhadap penyandang autis. Kampanye tanpa stigma dapat membentuk persepsi masyarakat yang lebih positif terhadap penyandang autis, merangsang dialog terbuka, dan menghasilkan perubahan budaya yang lebih inklusif.
Membangun Dukungan Sosial (Sosial Support)
Bangun dukungan sosial untuk keluarga penyandang autis dan fasilitasi pertukaran pengalaman dan informasi. Sediakan layanan dukungan emosional dan praktis bagi orangtua dan keluarga. Selenggarakan pertemuan komunitas dan forum diskusi terbuka untuk membahas isu-isu seputar autisme. Ajak penyandang autis dan keluarganya berbagi pengalaman untuk memperkuat pemahaman masyarakat. Dengan membangun dukungan sosial yang solid, masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi penyandang autis, serta membantu mereka tumbuh dan berpartisipasi secara penuh dalam kehidupan sehari-hari.
Menyediakan Informasi Publik
Menyediakan informasi publik adalah strategi yang krusial untuk menciptakan masyarakat yang ramah terhadap penyandang autis. Dengan menyediakan informasi publik yang akurat, mudah diakses, dan terus-menerus diperbarui, masyarakat dapat menjadi lebih sadar dan responsif terhadap kebutuhan penyandang autis, serta menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan kondusif.
Kolaborasi dengan Organisasi Autisme
Melalui kolaborasi yang kuat dengan organisasi autisme, masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih baik, mendukung perkembangan penyandang autis, dan merancang inisiatif inklusif yang lebih efektif. Kolaborasi dengan organisasi autisme berguna untuk mendapatkan panduan dan dukungan dalam mengembangkan kebijakan dan program yang mendukung penyandang autis.
Partisipasi Aktif Masyarakat
Partisipasi aktif masyarakat tidak hanya meningkatkan pemahaman tentang autisme, tetapi juga membentuk ikatan sosial yang kuat dan menciptakan lingkungan yang mendukung bagi penyandang autis. Melibatkan seluruh komunitas adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar ramah dan inklusif. Oleh karena itu ajaklah masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan dan acara yang melibatkan penyandang autis, dan bangun budaya inklusi di berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Dengan langkah-langkah ini, masyarakat dapat menjadi lebih inklusif dan mendukung bagi penyandang autis dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. (SRP)