Oleh: Susi Rio Panjaitan
Berita tentang kejahatan seksual yang terjadi pada anak setiap saat terdengar. Ini kondisi yang sangat menyedihkan dan menakutkan karena kejahatan seksual yang dialami oleh anak berdampak buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Tidak hanya untuk jangka pendek dan panjang, tetapi dapat berdampak permanen. Selain itu, kejahatan seksual terhadap anak jelas merupakan pelanggaran terhadap hak anak. Padahal, konstitusi dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal (1) Ayat (12) memerintahkan kepada orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin dan melindungi hak anak. Dalam ayat tersebut juga dikatakan bahwa hak anak merupakan bagian dari hak asasi manusia. Terkait kejahatan seksual, dalam undang-undang yang sama, pada pasal (15) huruf (f) disebutkan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Jadi, kejahatan seksual yang dilakukan pada anak merupakan pelanggaran hak asasi manusia.
Yang menjadi pertanyaan adalah tindakan seperti apa saja yang merupakan kejahatan seksual pada anak? Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dalam Pasal (4) Ayat (2) Huruf (c) dan Huruf (e) dan Pasal (10) Ayat (2) Huruf (a) menyebutkan beberapa jenis kekerasan seksual pada anak, yaitu: persetubuhan terhadap anak; perbuatan cabul terhadap anak, dan/ atau eksploitasi seksual terhadap anak; pornografi yang melibatkan anak atau pornografi yang secara eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual; dan perkawinan anak. Semua ini adalah bentuk-bentuk kejahatan seksual terhadap anak termasuk yang dilakukan dengan berbasiskan elektronik (Pasal (4) Ayat (1) Huruf (i) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual). Jadi, demi terpenuhinya hak asasi anak dan demi kepentingan terbaik anak, maka anak harus dilindungi dari segala bentuk kejahatan seksual. Orangtua, keluarga, masyarakat, negara, pemerintah dan pemerintah daerah diperintahkan oleh negara untuk menjamin dan melindungi hak anak. Artinya, setiap kita berkewajiban dan bertanggung jawab dalam melindungi anak dari segala bentuk kejahatan seksual.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan guna melindungi anak dari kejahatan seksual, antara lain: memberikan pendidikan seks kepada anak sedari dini; memberikan pendidikan literasi digital pada anak; melakukan penyuluhan hukum kepada anak dan masyarakat luas; mendorong anak untuk tidak takut melapor ketika mengalami kejahatan seksual; keluarga harus berani melaporkan kejahatan seksual yang dialami anak kepada pihak berwajib; memperlengkapi anak dengan berbagai keterampilan dan keberanian untuk melakukan mekanisme perlindungan diri; dan memastikan bahwa semua pelaku kejahatan seksual pada anak dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Apabila ini dilakukan, maka angka kejahatan seksual pada anak dapat ditekan.
Memberikan Pendidikan Seks kepada Anak Sedari Dini
Pendidikan seks adalah pendidikan terkait seks dan seksualitas yang dilihat dari aspek biologis, sosial, psikologis, norma dalam masyarakat, budaya/kultural, ajaran agama, kesehatan dan hukum. Ada orang yang menganggap pendidikan seks adalah sesuatu yang tabu apalagi jika dipercakapkan dengan anak-anak. Dengan alasan tersebut, mereka tidak pernah memberikan pendidikan seks kepada anak-anak mereka. Pendidikan seks bukan semata-mata tentang hubungan badan atau hubungan intim (hubungan seks), tetapi jauh lebih luas dari hal tersebut.
Saat ini, pendidikan seks merupakan kebutuhan anak agar terhindar dari kejahatan seksual. Pemberian pendidikan seks yang tepat kepada anak harus memperhatikan usia dan perkembangan anak. Dengan demikian, konten/materi dari pendidikan seks dan metodenya disesuaikan dengan kebutuhan anak. Dengan mendapatkan pendidikan seks, anak akan tahu bahwa tubuhnya adalah miliknya dan ada bagian tertentu dari tubuhnya yang tidak boleh dilihat dan disentuh oleh orang lain. Area ini disebut area pribadi. Jadi, anak tidak akan membiarkan orang lain melihat dan menyentuh area pribadinya. Untuk anak-anak yang berusia lebih besar (misalnya remaja), metode dan materi pendidikan seks tentu berbeda. Yang pasti, dengan mendapatkan pendidikan seks anak akan lebih memahami tubuhnya, mampu menjaga tubuhnya sendiri dengan baik serta mampu menghormati tubuh orang lain.
Memberikan Pendidikan Literasi Digital pada Anak
Digital tidak dapat dipisahkan dari anak. Bahkan, digital sudah menjadi kebutuhan anak. Sayangnya, digital mempunyai efek negatif jika tidak digunakan dengan bijaksana. Banyak terjadi kejahatan seksual pada anak yang diawali dari perkenalan di media sosial. Bahkan, ada sangat banyak kasus virtual sex yang melibatkan anak-anak. Itulah sebabnya, memberikan pendidikan literasi digital kepada anak sangat penting dan merupakan kebutuhan agar anak mampu menggunakan digital dengan benar.
Melakukan Penyuluhan Hukum kepada Anak dan Masyarakat Luas
“Ubi Societas Ibi Ius”, yang artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukum. Memang benar, jika dua, tiga atau lebih banyak orang berkumpul, sudah pasti di sana ada peraturan atau hukum yang harus ditaati oleh setiap orang yang ada di sana. Indonesia adalah negara hukum. Itulah sebabnya, segala sesuatu yang dilakukan di Indonesia harus sesuai dengan hukum (tidak boleh melanggar hukum) yang berlaku di Indonesia. Hampir semua aspek yang terkait dengan hidup bermasyarakat dan bernegara diatur oleh hukum, termasuk perilaku yang dikategorikan sebagai kejahatan seksual pada anak. Masih banyak orang yang belum paham tentang kejahatan seksual pada anak dan apa sanksi yang akan diterima jika menjadi pelaku kejahatan seksual pada anak. Oleh karena itu, penyuluhan hukum kepada anak dan masyarakat luas sangat penting dilakukan. Kesadaran dan ketaatan masyarakat terhadap hukum dapat mencegah terjadinya kejahatan seksual pada anak.
Mendorong Anak untuk Berani Melapor ketika Mengalami Kejahatan Seksual
Banyaknya kasus kejahatan seksual pada anak yang tidak diproses sehingga pelakunya tidak ditindak karena tidak ada laporan. Hal ini terjadi karena anak tidak berani melapor, apalagi jika pelaku adalah orang-orang yang memiliki kuasa atas anak, seperti orangtua, guru, kerabat/saudara, atau pemuka agama. Terlebih jika anak mendapat ancaman dari pelaku. Oleh karena itu, sangat penting untuk menanamkan keberanian pada anak untuk melapor kepada pihak-pihak yang dirasa anak tepat, ketika ia mengalami kejahatan seksual. Anak dapat diberitahu dan didorong untuk melapor kepada orangtua, guru, atau orang lain yang dipercaya oleh anak.
Keluarga harus Berani Melaporkan Kejahatan Seksual yang Dialami Anak kepada Pihak Berwajib
Kejahatan seksual pada anak tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, siapapun pelakunya harus dihukum sesuai dengan hukum yang berlaku. Sayangnya, tidak semua kasus kejahatan seksual kepada anak dilaporkan kepada pihak yang berwenang (polisi) sehingga dapat diproses. Salah satu penyebabnya adalah karena keluarga tidak berani melaporkan. Ketidakberanian melapor biasanya disebabkan karena pelaku adalah orang kuat; orangtua anak; saudara kandung anak; atau pelaku adalah kerabat anak (om/sepupu). Mereka beranggapan, jika melapor maka akan menimbulkan pencemaran terhadap nama baik keluarga. Jika pelaku adalah ayah kandung/ayah tiri sang anak yang dianggap sebagai pencari nafkah, jika dilaporkan dan dipenjara, maka tidak akan ada lagi orang yang akan mencari nafkah untuk keluarga. Dengan demikian, keluarga sudah mengorbankan anak. Anak dikorbankan demi nama baik dan nafkah keluarga. Tentu hal ini tidak benar dan melanggar hak asasi anak.
Memperlengkapi Anak dengan Berbagai Keterampilan dan Keberanian untuk Melakukan Mekanisme Perlindungan Diri
Mekanisme perlindungan diri apabila mengalami hal yang tidak baik perlu diajarkan kepada anak. Anak harus didorong untuk berani melakukan upaya tersebut, seperti lari menghindar; berteriak minta tolong; memukul, menendang dan melempar jika pelaku melakukan tindak kekerasan dan pemaksaan; serta melaporkan peristiwa tersebut kepada orangtua, guru atau kepada pihak lain yang dipercaya oleh. Ajar anak untuk tidak menggigit pelaku karena kita tidak pernah tahu penyakit apa saja yang ada dalam tubuh pelaku yang dapat menular melalui darah.
Memastikan bahwa semua Pelaku Kejahatan Seksual pada Anak Dihukum sesuai dengan Hukum yang Berlaku di Indonesia
Penjatuhan sanksi yang tepat dan sesuai dengan perilaku serta hukum yang berlaku dapat menimbulkan efek jera pada pelaku sehingga ia tidak akan mengulangi lagi perbuatan tersebut. Selain itu, ini dapat menjadi pembelajaran bagi orang lain untuk tidak melakukan tindak kejahatan seksual pada anak karena sanksi pidananya jelas dan tegas. Apabila sanksi tidak pasti, maka orang akan menganggap remeh. Dengan demikian, persoalan kejahatan seksual pada anak tidak akan pernah selesai. Pelaku berkeliaran bebas di mana-mana dan setiap saat dapat melakukan hal tersebut kepada anak. Dampak buruk kejahatan seksual pada anak tidak hanya akan merugikan anak, tetapi juga sangat merugikan kita sebagai orangtua, keluarga dan bangsa. Artinya, kitalah yang akan mengalami kehancuran besar. (SRP)