Oleh: Susi Rio Panjaitan
Dalam dunia ini banyak terjadi kekacauan karena banyak orang yang tidak bertanggung jawab, baik itu di level berbangsa dan bernegara, bermasyarakat dan dalam kehidupan keluarga. Banyak juga orang yang hidupnya menjadi berantakan karena tidak bertanggung jawab. Ia tidak bertanggung jawab sebagai seorang pelajar, tidak bertanggung jawab sebagai seorang anak, tidak bertanggung jawab sebagai seorang karyawan, tidak bertanggung jawab sebagai orangtua, tidak bertanggung jawab sebagai seorang istri/suami, dan lain sebagainya. Padahal, setiap orang, di sepanjang hidupnya, memiliki berbagai peran, dan dalam setiap peran itu ada tanggung jawab.
Menjadi orang yang bertanggung jawab bukanlah bawaan sejak lahir, tetapi merupakan hasil dari suatu proses pembelajaran kehidupan yang tidak pendek dan sering tidak menyenangkan. Banyak orang yang tidak mau berproses sehingga menjauh dari proses tersebut. Akibatnya, mereka menjadi individu yang tidak bertanggung jawab. Perilaku tidak bertanggung jawab sudah pasti merugikan diri sendiri dan orang lain. Orang yang bertanggung jawab sangat dibutuhkan di mana pun. Bertanggung jawab merupakan salah satu bentuk kecerdasan dan soft skill. Itulah sebabnya, dalam merekrut Sumber Daya Manusia (SDM), perusahaan, lembaga pemerintahan, atau organisasi sosial kemasyarakatan menjadikan “bertanggung jawab” sebagai salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seseorang. Selain itu, dalam kehidupan pribadi, seseorang sudah pasti menginginkan pasangan, rekan kerja atau sahabat yang bertanggung jawab.
Karena menjadi bertanggung jawab bukan bawaan lahir melainkan proses pembelajaran kehidupan, maka individu harus diajar untuk bertanggung jawab sedari dini. Anak harus dibantu agar dapat memahami tanggung jawab sebagai sesuatu yang indah, mulia, menyenangkan dan bermanfaat. Dengan demikian, anak akan suka dengan “pelajaran” tanggung jawab. Jika sedari dini anak sudah diajar bertanggung jawab, ia akan bertumbuh menjadi individu yang bertanggung jawab, sehingga hidupnya beruntung dan berguna bagi banyak orang. Bertanggung jawab adalah kunci keberhasilan anak, baik di sekolah maupun di dunia yang lebih besar ketika mereka tumbuh dewasa.
Berikut ini adalah beberapa strategi yang dapat dilakukan guna meIatih anak bertanggung jawab.
Membiasakan Anak Merapikan Sendiri Mainannya
Bermain adalah kesenangan sekaligus kebutuhan anak. Itulah sebabnya, bermain sangat melekat dengan kehidupan anak. Dalam bermain, anak sering menggunakan mainan, misalnya boneka, mobil-mobilan dan lain-lain. Kesempatan ini dapat dipakai untuk melatih anak bertanggung jawab. Misalnya: anak harus merapikan semua mainannya setelah selesai bermain. Anak balita sudah dapat mengerjakan hal ini.
Membuat Kesepakatan dengan Anak
Walaupun masih kecil, bahkan balita, anak sudah dapat diajak untuk bersepakat. Misalnya: bersepakat apa yang menjadi tugas dan tanggung jawab anak. Misalnya: sepakat bahwa setelah selesai bermain, anak harus merapikan mainannya; setelah bermain di luar rumah, anak harus merapikan sepatu atau sandalnya di rak; setelah selesai menggunakan suatu barang (misalnya gunting), maka anak harus mengembalikan barang itu ke tempatnya semula. Kesepakatan dengan anak bukan berarti membuat orangtua menjadi sangat permisif dengan anak, tetapi untuk menumbuhkembangkan partisipasi anak. Dengan demikian, anak akan bertanggung jawab karena sudah sepakat.
Menanamkan kepada Anak bahwa menjadi Bertanggung Jawab Menguntungkan Dirinya
Anak harus dibantu memahami bahwa bertanggung jawab sangat menguntungkan dirinya sendiri. Perilaku bertanggung jawab pada anak akan membawanya pada kebaikan dan keberuntungan. Contoh: Jika anak bertanggung jawab atas tugas-tugas sekolahnya, maka ia AKAN mendapat nilai yang baik, menjadi tambah pintar, dan disukai guru. Hal ini tentu baik bagi anak. Jika anak tambah pintar, maka anak akan beruntung. Tidak menunda-nunda mengerjakan tugas di rumah membuat anak leluasa bermain karena tugasnya sudah selesai.
Melibatkan Anak dalam Pekerjaan di Rumah
Di rumah ada banyak pekerjaan dimana anak dapat dilibatkan untuk bertanggung jawab menyelesaikannya. Misalnya: Anak usia empat atau lima tahun bertugas merapikan sandal dan sepatu yang berantakan di rak; anak kelas 1-3 SD bertugas mengantarkan piring kotor bekas makan ke tempat mencuci piring; anak kelas 4-6 SD bertugas mencuci piring, menyapu rumah, melipat pakaian, membersihkan meja, menyapu halaman, menyiram tanaman, dan lain-lain; anak SMP bertugas membantu ibu memasak; mencuci pakaian; mengepel; dan lain-lain.
Melatih Anak Membuat Daftar Tugas Sekolah
Dalam perannya sebagai pelajar, anak harus dilatih untuk bertanggung jawab. Dapat dimulai dengan mengajar anak membuat daftar tugas sekolahnya. Misalnya: mengerjakan PR; menyiapkan buku, perlengkapan belajar, pakaian seragam, sepatu dan kaos kaki; dan barang-barang lain yang dibutuhkan pada malam hari. Anak harus dilatih untuk bertanggung jawab menyiapkan semua kebutuhannya ini.
Melatih Anak untuk Mengerjakan Sendiri Tugas-tugasnya
Apa yang menjadi tugas anak adalah tanggung jawab anak. Anak harus dibantu untuk memahami hal ini. Misalnya: biarkan anak mengerjakan sendiri PRnya. Membiarkan anak mengerjakan sendiri PR atau tugas-tugasnya yang lain bukan berarti mengabaikan atau tidak perduli dengan anak. Dalam hal ini orangtua bertugas membimbing, mengarahkan, dan mendampingi. Dengan demikian, orangtua akan tahu persis apakah anak mampu mengerjakan tugas-tugasnya, apa yang dibutuhkan anak, hambatan apa yang dialami anak dan bagaimana kondisi anak, sehingga tahu apakah anak perlu dibantu, dan bantuan seperti apa yang dibutuhkan anak.
Mengajarkan kepada Anak tentang Menepati Janji atau Perkataannya Sendiri
Orang yang bertanggung jawab akan menepati kata-kata atau janjinya sendiri. Hal ini harus ditanamkan pada anak. Misalnya: anak berjanji main games hanya selama 15 menit, dan setelah itu anak akan tidur siang. Maka, setelah bermain games selama 15 menit, anak harus berhenti dan langsung tidur siang.
Mengajarkan kepada Anak tentang Konsekuensi
Semua hal mengandung konsekuensi, termasuk jika tidak bertanggung jawab. Misalnya: jika anak tidak bertanggung jawab atas tugas-tugasnya, maka ada konsekuensi, ia akan ditegur oleh guru, mendapat nilai jelek, atau mendapatkan tugas yang lebih banyak dan berat. Konsekuensi juga berarti harus mengganti barang orang lain yang anak hilangkan atau rusakkan. Jika anak menghilangkan atau merusak barang orang lain (misalnya mainan temannya yang ia pinjam), maka anak bertanggung jawab untuk mengganti. Misalnya: mengganti dengan uang tabungannya. Selain belajar bertanggung jawab, dari kejadian ini anak akan berlajar berhati-hati menggunakan barang orang lain.
Tidak Langsung Marah ketika Anak Berbuat Kesalahan
Kesalahan yang dilakukan oleh anak dapat dipandang sebagai proses belajar. Misalnya: sambil minum susu anak melompat-lompat. Padahal, ibu sudah melarang. Akibatnya, susu tumpah dan mengotori pakaiannya. Daripada memarahi apalagi memukul anak, pakai saja kesempatan itu untuk mendidik anak, berpikir dan bertanggung jawab. Minta anak untuk membersihkan lantai, berganti pakaian, dan menaruh pakaiannya yang kotor ke dalam keranjang pakaian kotor. Anak juga dapat diajak berpikir apa akibat dari perbuatannya, misalnya: susu terbuang, padahal, harga susu tidak murah dan anak membutuhkan susu untuk kesehatan dan pertumbuhannya.
Menghindari Label Negatif, Makian dan Ancaman
Ada kalanya orangtua terstimulasi menjadi marah ketika anak tidak bertanggung jawab, misalnya: ketika anak tidak membuat PR sehingga orangtua mendapat surat teguran dari guru. Orangtua marah karena anak abai dengan tanggung jawabnya adalah hal yang dapat dipahami, tetapi memberi label negatif, makian, dan ancaman harus dihindari. Label negatif, makian dan ancaman seperti “pemalas”, “bodoh”, “dasar tidak punya tanggung jawab”, “awas ya, kalau kamu tidak mengerjakan PR, nanti mama pukul” dapat membuat anak menjadi sedih, frustasi, marah, benci, dendam, atau tambah tidak perduli. Lebih baik ajak anak bicara dan diskusi tentang mengapa ia tidak mengerjakan PR. Apakah lupa, PR itu terlalu sulit bagi anak, dan lain-lain? Selain itu, buat anak menyadari konsekuensinya. Sering mendapat label negatif, makian dan ancaman berdampak buruk bagi perkembangan anak.
Tidak “Menyogok”
Ada kalanya anak sulit bertanggung jawab sehingga perlu didorong. Akan tetapi, jangan sampai dorongan menjadi sogokan. Contoh: “kalau kamu cuci piring, mama kasih uang seratus ribu.” Hal ini berbahaya bagi perkembangan anak. Kalau pun ia mau mencuci piring, bukan karena ia memahami mencuci piring adalah tugasnya dan ia harus bertanggung jawab, tetapi demi mendapatkan uang. Bahkan, cara ini akan membuatnya menjadi orang yang tidak bertanggung jawab.
Mengapresiasi Perilaku Bertanggung Jawab Anak
Apresiasi terhadap perilaku bertanggung jawab anak dapat membuat anak terdorong untuk semakin bertanggung jawab. Akan tetapi, apresiasi harus diberikan dengan wajar dan sehat. Apresiasi yang berlebihan harus dihindari karena dapat membuat anak menjadi berorientasi terhadap apresiasi.
Mengajari Anak untuk Bertanggung Jawab atas Perilakunya terhadap Orang Lain
Anak adalah individu yang sedang berkembang dalam aspek sosial. Ia belajar mengenal dan berelasi dengan orang lain. Itu dimulai dari relasinya dengan keluarganya. Dalam proses berelasi tersebut, akan terjadi berbagai dinamika, misalnya: anak berselisih paham dengan adiknya. Walaupun demikian, menyakiti orang lain, baik dalam bentuk kata-kata maupun fisik (misalnya memukul) tidak dibenarkan. Contoh: anak memukul adiknya karena kesal adiknya mengganggunya. Daripada memarahi atau memukul anak, lebih baik anak dibantu untuk memahami situasi. Misalnya: pukulannya membuat adiknya sakit. Selain itu, ini akan membuat adik menjadi takut bermain dan tidak mau bermain dengannya. Jika anak menyadari kesalahannya, maka dengan mudah ia dapat dibimbing untuk meminta maaf. Artinya, anak diajar untuk bertanggung jawab menjaga dan memperbaiki relasinya dengan orang lain.
Menjadi Role Model bagi Anak
Cara efektif mengajar anak bertanggung jawab adalah dengan menjadi teladan (role model) yang baik. Misalnya: jika orangtua berjanji kepada anak, maka orangtua harus menepati janji itu. Keteladan orangtua membuat anak hormat kepada orangtua dan membuat anak paham bahwa bertanggung jawab adalah kewajiban. (SRP)