Oleh: Susi Rio Panjaitan
Autis adalah gangguan perkembangan neurobiologis yang memengaruhi interaksi sosial, komunikasi verbal dan non-verbal, serta perilaku secara umum. Gejala autis bervariasi, termasuk kesulitan dalam berkomunikasi, ketidakmampuan membentuk hubungan sosial, dan minat yang terbatas terhadap aktivitas tertentu. Autis merupakan spektrum, artinya tingkat keparahan dan kombinasi gejala berbeda-beda untuk setiap individu. Meskipun penyebab pasti autis belum sepenuhnya dipahami, faktor genetik dan lingkungan diyakini memiliki peran dalam terjadinya autis.
Anak penyandang autis sering mengalami tantangan dalam perkembangan sosio-emosional. Mereka kesulitan dalam berinteraksi sosial, ekspresi emosi, dan pemahaman sosial. Keterbatasan kemampuan verbal, komunikasi non-verbal dan kesulitan memahami ekspresi wajah serta bahasa tubuh menjadi hambatan dalam membangun hubungan sosial yang sehat. Itulah sebabnya penting untuk memahami dan memberikan dukungan khusus kepada anak penyandang autis guna membantu mereka mengembangkan keterampilan sosio-emosional mereka secara optimal.
Salah satu respons emosional yang sering muncul pada anak penyandang autis adalah tantrum. Tantrum adalah respons emosional yang intens dan tidak terkendali, yang seringkali ditandai oleh kemarahan atau frustrasi yang melibatkan perilaku seperti berteriak, menangis, merusak, bahkan menyakiti diri sendiri atau orang lain. Tantrum bisa terjadi pada anak-anak maupun orang dewasa. Penyebabnya bervariasi, misalnya kelelahan, ketidaknyamanan, stres, atau ketidakmampuan untuk mengkomunikasikan kebutuhan. Pada anak penyandang autis, ada berbagai faktor penyebab yang memunculkan tantrum, antara lain:
Hambatan dalam Berkomunikasi
Hambatan dalam berkomunikasi dapat membuat anak penyandang autis frustasi karena mereka kesulitan menyampaikan kebutuhan atau keinginan mereka. Tantrum menjadi cara mereka dalam mengekspresikan ketidaknyamanan atau ketidakpuasan karena keterbatasan tersebut.
Hambatan dalam Memahami Aturan Sosial
Pada umumnya, anak penyandang autis sering menghadapi kesulitan dalam memahami aturan sosial dan norma masyarakat. Hambatan ini dapat menyebabkan frustrasi karena mereka tidak memahami tata cara atau harapan sosial secara intuitif. Tantrum dapat muncul sebagai respons terhadap kecemasan atau ketidakpastian yang timbul dari kesulitan memahami aturan sosial yang kompleks.
Hambatan dalam Bersosialisasi
Hambatan dalam bersosialisasi pada anak penyandang autis dapat menyebabkan tantrum karena mereka merasa canggung, tidak nyaman, dan kesulitan berinteraksi dengan orang lain. Keterbatasan dalam memahami ekspresi wajah, nada suara, dan bahasa tubuh dapat membuat situasi sosial menjadi tidak nyaman. Tantrum dapat muncul sebagai respons terhadap kelelahan atau stres yang timbul dari upaya bersosialisasi yang intens.
Hambatan dalam Beradaptasi terhadap Perubahan
Anak penyandang autis sering mengalami kesulitan dalam beradaptasi terhadap perubahan karena mereka cenderung mengandalkan rutinitas dan konsistensi. Hambatan dalam menghadapi perubahan, seperti jadwal yang berubah atau lingkungan yang baru, dapat menimbulkan kecemasan dan ketidaknyamanan. Tantrum dapat muncul sebagai respons terhadap rasa tidak aman atau kebingungan yang timbul akibat perubahan yang tidak terduga.
Hambatan dalam Mengelola Emosi
Salah satu yang khas pada anak penyandang autis adalah mengalami hambatan dalam mengelola emosi. Kesulitan ini menjadi pemicu tantrum. Mereka tidak tahu cara mengungkapkan rasa frustrasi, kecemasan, ketakutan, atau kekecewaan dengan cara verbal atau non-verbal dengan tepat. Tantrum muncul sebagai respons terhadap ketidakmampuan mereka untuk mengelola emosi secara efektif.
Stimulus Sensoris yang Berlebihan
Stimulus sensoris yang berlebihan dapat menjadi pemicu tantrum pada anak penyandang autis karena mereka cenderung memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap rangsangan sensoris seperti suara, cahaya, atau sentuhan. Situasi dengan rangsangan berlebihan dapat menimbulkan kecemasan atau ketidaknyamanan yang berlebihan bagi mereka. Oleh karena itu, tantrum akan muncul sebagai cara mereka untuk mengekspresikan ketidaknyamanan. Tantrum juga dapat terjadi sebagai respons alami terhadap stimuli sensoris yang terlalu intens bagi sistem sensoris mereka.
Ketidaknyamanan atau Rasa Sakit
Banyak anak penyandang autis yang kesulitan dalam menyampaikan ketidaknyamanan atau rasa sakit yang dialami, baik secara verbal maupun non-verbal. Karena itu, ketika mengalami ketidaknyamanan atau rasa sakit, mereka mengekspresikannya melalui tantrum sebagai respons terhadap keadaan yang tidak nyaman tersebut. Tantrum menjadi cara bagi mereka untuk menunjukkan bahwa mereka merasa tidak baik atau mengalami ketidaknyamanan.
Keterbatasan dalam Keterampilan Menyelesaikan Masalah
Ketidakmampuan dalam menyelesaikan masalah dapat menyebabkan anak penyandang autis mengalami frustrasi yang tinggi. Ketika mereka dihadapkan pada masalah atau situasi yang membutuhkan solusi, maka ini dapat memicu tantrum.
Gangguan Tidur
Banyak anak penyandang autis yang mengalami gangguan tidur. Hal ini membuat kualitas tidur anak menjadi buruk sehingga memengaruhi kesehatan fisik dan mental mereka. Rasa lelah dan kantuk dapat meningkatkan tingkat irritabilitas dan ketidakmampuan mereka dalam mengelola emosi. Hal ini akan memicu terjadinya tantrum.
Tantrum pada anak berkebutuhan khusus berdampak negatif dalam berbagai aspek. Tantrum dapat membuat anak terisolasi secara sosial atau diabaikan oleh teman-temannya. Tantrum juga dapat meningkatkan stres pada orangtua, guru, atau pengasuh. Tantrum juga mengganggu aktivitas harian dan rutinitas, seperti waktu makan, tidur, atau pendidikan, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi perkembangan anak. Selain itu, tantrum menghambat anak belajar dari interaksi sosial yang positif, karena perilaku tersebut mungkin membuatnya dihindari oleh teman-teman sebaya. Tantrum menjadi bentuk komunikasi alternatif yang tidak efektif, sehingga menghambat perkembangan kemampuan berkomunikasi verbal dan non-verbal anak. Hal buruk lainnya yang dapat terjadi akibat tantrum adalah resiko cedera dan rusaknya barang-barang. Tantrum yang keras dapat meningkatkan risiko cedera baik pada diri anak maupun orang di sekitarnya.
Karena berdampak buruk, ketika anak mengalami tantrum ada beberapa hal yang harus diperhatikan guna meminimalkan dampak, antara lain:
Bersikap Tenang
Sikap tenang dapat membantu menenangkan anak dan mencegah situasi semakin memburuk.
Pastikan Sekitar Anak Aman
Misalnya: di sana tidak ada benda-benda yang tajam dan berbahaya.
Tidak Membiarkan Anak Sendirian
Ketika anak sedang tantrum anak tidak boleh dibiarkan sendirian guna memastikan semua dalam kondisi aman dan terkontrol.
Mengidentifikasi Pemicu
Identifikasi apa yang memicu terjadinya tantrum pada anak. Dengan memahami apa yang menjadi kebutuhan atau ketidaknyamanan sehingga membuat anak menjadi tantrum, kita dapat merespon dengan efektif.
Memberikan Ruang dan Waktu
Beri anak waktu dan ruang untuk meredakan emosinya. Jangan memaksa untuk berbicara jika anak belum siap.
Memberikan Dukungan
Tunjukkan dukungan kepada anak. Pelukan, belaian, sentuhan lembut dan ucapan yang menenangkan dapat membantu anak untuk tenang.
Menggunakan Komunikasi yang Sederhana
Gunakan kalimat yang sederhana dan jelas untuk berkomunikasi dengan anak. Hindari memberikan terlalu banyak instruksi atau nasihat.
Tidak Melakukan Kekerasan
Kekerasan secara verbal atau fisik tidak akan menyelesaikan masalah. Sebaliknya, hal ini akan membuat anak merasa sakit dan membuatnya semakin tantrum.
Menawarkan Pilihan
Beri anak pilihan yang tepat agar anak dapat lebih tenang dan terkontrol. Misalnya: “Kamu ingin duduk di sini atau di sana?”
Setelah Reda, Ajak Anak Berbicara
Setelah tantrum mereda, ajak anak berbicara. Ajarkan anak cara yang lebih baik untuk mengatasi emosi dan menyampaikan keinginannya.
Selain harus melakukan langkah-langkah tertentu guna meminimalkan dampak tantrum, terjadinya tantrum pada anak harus dicegah. Ada beberapa strategi yang dapat diterapkan, antara lain:
Menerapkan Konsisten
Membuat jadwal kegiatan harian yang jelas dan konsisten dapat memberikan anak perasaan tenang dan aman. Hal ini akan meminimalkan ketidakpastian yang bisa menjadi pemicu tantrum.
Memberikan Pilihan
Berikan anak pilihan untuk agar ia merasa memiliki kontrol atas pilihan tersebut. Ini dapat membantu mengurangi frustrasi pada anak.
Mengantisipasi Perubahan
Beri tahu anak jika ada perubahan dalam jadwal atau kegiatan. Memberi mereka waktu untuk bersiap diri secara mental dapat menghindari terjadinya tantrum.
Memperhatikan Kondisi Sensoris
Hindari stimulus yang berlebihan atau tidak nyaman bagi anak. Pastikan bahwa anak berada pada lingkungan yang mendukung kebutuhan sensorisnya.
Mengajarkan Keterampilan Komunikasi
Bantu anak untuk mengembangkan keterampilan komunikasi verbal atau non-verbal agar ia dapat menyampaikan kebutuhan atau ketidaknyamanan dengan lebih baik.
Menghindari Kelelahan, Kehausan atau Kelaparan
Pastikan anak cukup tidur dan mendapat nutrisi yang cukup. Kelelahan, kehausan, atau kelaparan dapat meningkatkan iritabilitas dan risiko terjadinya tantrum.
Menciptakan Lingkungan Sosial yang Kondusif
Pilih aktivitas dan ciptakan lingkungan sosial yang sesuai kebutuhan anak.
Memberikan Apresiasi
Berikan penguatan positif dan penghargaan untuk perilaku positif. Ini dapat mengurangi risiko terjadinya tantrum.
Mengajarkan Keterampilan Mengelola Emosi
Bantu anak untuk mengidentifikasi dan mengelola emosinya. Ajarkan ia strategi untuk mengatasi stres atau kecemasan.
Menerapkan Komunikasi Terbuka
Menerapkan komunikasi terbuka dengan anak dapat membuatnya merasa lebih nyaman berbicara tentang perasaan, keinginan, atau kekhawatirannya.
Konsisten
Memberikan batasan yang jelas dan tegas, serta bersikap konsisten dengan batasan tersebut dapat membuat anak lebih paham dan tenang.
Berkolaborasi dengan Pihak Lainnya
Jika anak sudah bersekolah, demi kepentingan terbaik anak, maka orangtua dan sekolah harus berkolaborasi. Selain itu, penting juga berkolaborasi dengan ahli atau profesional lain guna mendapatkan panduan dan dukungan. (SRP)