Oleh : Susi Rio Panjaitan
Pengertian dan Bentuk Perilaku Cybersex
Di era digital ini, internet merupakan kebutuhan dasar manusia dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, karena hampir dalam segala aspek kehidupan manusia membutuhkan internet. Walaupun demikian, jika tidak digunakan dengan bijaksana, internet dapat berdampak buruk. Salah satunya adalah muncul perilaku cybersex pada anak. Perilaku cybersex adalah perilaku dimana seseorang mencoba mendapatkan kepuasan seksual dengan menggunakan internet. Misalnya: melihat foto-foto dan video erotis atau porno, chatting erotis, komunikasi real-time dengan seseorang melalui videocall atau webcam (google meet, zoom meeting dan lain-lain). Gambar dan video porno, chatting erotis, phonesex dan videocallsex dapat membuat seseorang terangsang dan melakukan perilaku seksual seperti onani/masturbasi. Dalam banyak kasus bahkan sampai membuat orang yang bersangkutaan melakukan hubungan seksual di luar perkawinan bahkan memperkosa.
Perilaku cybersex antara lain sebagai berikut:
- Sexting – Sexting adalah perilaku cybersex berupa pengiriman pesan, foto atau video yang secara eksplisit menunjukkan kevulgaran, eksotisme atau pornografi. Foto atau video yang dikirim biasanya adalah foto atau video diri sendiri dari si pelaku yang dilakukan dengan menggunakan SMS, WA, email, pesan di inbox Facebook dan lain-lain.
- Phonesex – Phonesex adalah perilaku cybersex dimana pelaku melakukan aktivitas seksual melalui percakapan (verbal). Dalam percakapan tersebut, para pelaku mendeskripsikan apa yang mereka pikirkan, lakukan, rasakan dan inginkan terkait aktivitas seksual. Biasanya dilakukan melalui telepon,WAcall dan lain-lain.
- Videocallsex –Videocallsex adalah perilaku cybersex yang dilakukan melalui panggilan video, misalnya videocall dari WA dan lain-lain. Videocallsex juga melibatkan bahasa verbal. Pada videocallsex pelaku melakukan berbagai aktifitas seksual, seperti berciuman, menyentuh bagian tertentu dari tubuh lawan bicara, melakukan adegan persetubuhan, meminta lawan bicara untuk melakukan aktifitas seksual tertentu dan lain-lain.
- Webcamsex – Webcamsex mirip dengan videocallsex. Videocallsex dilakukan dengan menggunakan video seperti videocall dari WA, sedangkan pada webcamsex perilaku seksual dilakukan melalui video langsung dengan menggunakan platform konferensi video online. Pelaku melakukan aktifitas seksual persis dengan yang terjadi di videocallsex.
- Teledildonics (Teledildonik) – Teledildonik adalah mainan seks yang terhubung atau dikendalikan melalui perangkat yang terhubung ke internet seperti smartphone, laptop dan komputer.
- Pornografi -. Pornografi yang termasuk perilaku cybersex adalah melihat atau menonton gambar, video, foto, tulisan dan lain-lain yang dapat membangkitkan gairah seksual, yang diakses melalui internet.
Faktor Penyebab Perilaku Cybersex pada Anak
Saat ini, yang menjadi pelaku cybersex bukan hanya orang dewasa tetapi juga anak-anak yang berusia sangat belia. Penyebabnya antara lain:
- Video Games/Games Online – Video games/games online sepertinya tidak dapat dipisahkan dari anak-anak di zaman ini. Dengan berbagai alasan, permainan tradisional yang pada umumnya harus dimainkan bersama orang lain yang nyata-nyata ada di dekat anak, sudah digantikan oleh video games/games online. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bermain video games/games online memiliki manfaat bagi perkembangan anak, di antaranya: menstimulasi kerja otak, mengembangkan kemampuan berkomunikasi lisan dan tulisan pada anak jika games tersebut dimainkan dengan orang lain, dan lain-lain. Akan tetapi, selain berisiko mengalami adiksi games, anak-anak yang bermain video games/games online sangat berisiko terpapar pornografi. Ada banyak jenis video games/games online yang diperuntukkan untuk anak-anak berkonten pornografi. Para pebisnis pornografi ternyata menjadikan anak-anak sebagai sasaran bisnisnya. Banyak orangtua yang tidak tahu dan tidak paham tentang hal ini sehingga mereka tidak melakukan seleksi terhadap video games/games online untuk anak-anak mereka.
- Iklan – Pebisnis pornografi tampaknya tidak perduli dengan bahaya pornografi terhadap anak-anak. Yang ada dipikirannya adalah bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Itulah sebabnya iklan pornografi ada di mana-mana, termasuk di tempat-tempat yang kita pikir aman. Selain itu, iklan berkonten seks termasuk toys sex juga bertebaran di mana-mana. Dengan demikian, ketika anak berselancar di internet, paparan iklan dapat membuatnya menjadi pelaku cybersex.
- Pengaruh Teman – Dalam fase perkembangannya, anak sangat membutuhkan teman. Sayangnya, tidak semua teman memberi pengaruh positif pada anak. Dalam banyak kasus, anak terlibat cybersex karena diajak oleh temannya.
- Pornografi – Dengan internet, pornografi sangat mudah akses. Kapan pun dan di mana pun anak dapat mengakses pornografi.
- Kurangnya Pengawasan, Pendampingan dan Perhatian Orangtua – Dengan berbagai alasan, banyak orangtua yang abai dalam memberikan pengawasan, pendampingan dan perhatian kepada anak. Mereka tidak tahu anak bergaul dengan siapa, melakukan apa dan lain sebagainya. Hal ini membuat anak menjadi kebablasan sehingga akhirnya jatuh pada perilaku cybersex.
- Jenuh dan Stres – Tuntutan sekolah, tuntutan orangtua, aturan sekolah, tugas dan lain sebagainya membuat banyak anak mengalami kejenuhan dan stress. Anak adalah individu yang sedang berkembang dalam segala aspek sehingga belum memiliki kemampuan yang memadai dalam mengelola kejenuhan dan stress. Kejenuhan dan stress yang tidak dikelola dengan baik akan membawa anak pada perilaku berisiko, salah satunya melakukan cybersex.
- Tidak dapat Melakukan Hubungan Seks secara Fisik – Karena anak sedang dalam fase perkembangan termasuk perkembangan kognitif, anak memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Jika anak terpapar pornografi dan hal-hal yang berkonten seksual, maka akan timbul rasa penasaran dan ingin tahu pada anak. Hal ini dapat mendorong anak menjadi melakukan cybersex. Pada anak-anak yang sudah besar, yakni anak-anak yang sudah memasuki masa pra-remaja dan remaja, hormon seksual mulai aktif. Ada kemungkinan mereka ingin melakukan hubungan seksual. Jika anak sudah terpapar atau kecanduan pornografi keinginan itu menjadi lebih besar. Apabila tidak memungkinkan untuk melakukan hubungan seks secara fisik, maka mereka akan melakukan cybersex.
- Teman di Dunia Maya – Anak-anak harus dilatih agar berhati-hati dengan teman mereka di dunia maya. Kita tidak pernah tahu siapa mereka. Dalam banyak kasus, anak melakukan cybersex dengan temannya di dunia maya, padahal anak sama sekali tidak mengenalnya. Teman dunia maya membujuk bahkan memaksa anak untuk melakukan cybersex.
Bahaya Cybersex pada Anak
- Ada orang yang menganggap bahwa perilaku cybersex adalah perilaku seks yang aman karena pelaku tidak melakukan kontak fisik satu sama lain. Dengan demikin tidak ada risiko kehamilan atau penularan Penyakit Menular Seksual (PMS). Namun, melakukan cybersex sangat berbahaya karena mempertaruhkan privacy. Setiap saat, foto maupun gambar pribadi yang mereka bagikan kepada pasangan cybersex mereka, dapat jatuh ke tangan orang yang tidak bertanggung jawab dan disalahgunakan. Banyak terjadi kasus pemerasan dan ancaman dengan menggunakan foto dan video mesum yang seseorang pernah bagikan kepada pasangan cybersexnya. Pelakunya bisa orang lain atau pasangan cybersexnya tersebut. Jika foto atau video tersebut jatuh ke ranah publik, maka resiko lainnya adalah berhadapan dengan hukum.
- Ketika anak bertumbuh dewasa, jika ia sudah terbiasa melakukan cybersex, maka ada kemungkinan ia tidak mau berumahtangga karena merasa sudah mendapatkan kepuasan seksual melalui cybersex. Jika kelak ia menikah, perilaku cybersex tersebut akan merusak hubungannya dengan pasangannya, bahkan dapat berakhir dengan perceraian.
- Anak yang terlibat dalam perilaku cybersex memiliki kecenderungan menarik diri dari lingkungan sosial, termasuk dari keluarga dan teman-teman sekolah. Ia tak ingin bermain dengan teman-temannya di dunia nyata karena sudah asyik dengan cybersex. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi perkembangan sosial dan emosional anak.
- Cybersex sangat berbahaya bagi perkembangan otak. Otak anak akan dipenuhi oleh fantasi liar. Ini akan mendorong anak untuk mengatakan dan melakukan hal-hal yang tidak pantas.
- Perilaku cybersex dapat membuat anak melakukan perilaku seks lainnya yang dilarang dan berbahaya seperti onani/masturbasi, melakukan seks pra-nikah, memperkosa atau melakukan hubungan seks dengan binatang.
- Kelak anak bertumbuh dewasa, perilaku cybersex dapat membuatnya mengalami disfungsi seksual. Laki-laki berisiko mengalami disfungsi ereksi dan ejakulasi dini, sedangkan perempuan berisiko mengalami orgasme yang tertunda atau tidak dapat mencapai orgasme.
- Dalam urusan sekolah, perilaku cybersex akan membuat anak mengalami gangguan belajar yang serius. Ia akan sering mendapat teguran dari sekolah karena sering tidak mengerjakan tugas/PR, sering melamun di kelas, tidak konsentrasi atau sering terlambat datang ke sekolah. Dalam banyak kasus, anak menjadi tinggal kelas.
- Perilaku cybersex dapat membuat anak lupa waktu sehingga makan tidak teratur, kurang tidur, kurang bergerak dan kurang minum air putih. Akibatnya, ia akan mengalami gangguan kesehatan yang serius.
- Perilaku cybersex membuat anak memiliki sangat banyak kosa kata yang vulgar dan berkonten seksual. Jika kata-kata seperti ini yang menjadi perbendaharaan kata anak, maka ia akan mengalami masalah dalam interaksi sosial karena bahasa yang ia gunakan dalam berkomunikasi adalah kata-kata yang tidak pantas dan tidak senonoh.
- Jika anak melakukan cybersex dengan menggunakan peralatan milik umum, misalnya komputer/laptop milik orang lain atau warnet, atau akun email yang bukan miliknya, misalnya milik sekolah, maka perilaku anak ada dalam pantauan orang lain/sekolah. Ini berpotensi menimbulkan masalah besar.
- Perilaku cybersex pada anak akan merusak kesehatan mental anak. Jika anak terbiasa melakukan cybersex, ia akan merasa gelisah apabila hasratnya tidak dapat disalurkan. Ini menunjukkan bahwa anak sudah mengalami adiksi. Ia juga akan mengalami gangguan emosi. Anak akan menjadi mudah tersinggung, cepat marah dan marah dengan berlebihan, seperti marah sambil memaki, memukul orang lain dan merusak barang-barang di sekitarnya.
Cybersex dan Hukum
Di Indonesia ada produk hukum terkait anak dan perilaku cybersex pada anak, di antaranya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor I1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam beberapa undang-undang ini ditulis bahwa pornografi melanggar kesusilaan, dilarang dilakukan di Indonesia, temasuk tidak boleh dilakukan melalui media elektronik. Ada konsekuensi hukum yang sangat jelas bagi barang siapa yang melanggarnya, termasuk jika yang melanggar itu adalah anak-anak. Sekalipun seorang anak masih dikategorikan sebagai anak di bawah umur, yakni belum berusia 18 tahun, akan tetapi jika seorang anak melakukan tindakan melawan hukum, maka ia dapat diproses bahkan dihukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia.
Perilaku cybersex adalah perilaku yang melanggar hukum sehingga anak yang melakukan cybersex rentan berhadapan dengan hukum. Berhadapan dengan hukum, apalagi harus diproses atau diadili bukanlah hal yang mudah dan menyenangkan. Ini sangat melelahkan, memusingkan, menegangkan, bikin stress, menguras tenaga, emosi, waktu dan uang.
Upaya Preventif Perilaku Cybersex pada Anak
- Menjadi Sahabat Anak – Relasi terdekat dan termanis adalah sahabat. Pada sahabat orang akan menceritakan hampir semua apa yang ia rasakan, pikirkan, alami, inginkan dan lain-lain. Banyak orang tidak mau menceritakan apa yang ia anggap rahasia kepada orang lain, tetapi ia mau menyampaikan hal tersebut kepada sahabatnya. Seorang sahabat sangat percaya kepada sahabatnya. Dengan senang hati ia menghabiskan banyak waktu bersama sahabatnya. Seorang sahabat merasa nyaman dengan sahabatnya. Demikianlah indahnya persahabatan. Idealnya, orangtua harus dapat bersahabat dengan anak-anaknya. Orangtua harus dapat menjadi sahabat terbaik bagi anaknya. Jika orangtua dapat menjadi sahabat bagi anaknya, maka anak tidak akan sungkan menceritakan apapun yang ia pikirkan, inginkan dan alami kepada orangtuanya. Mereka akan dapat berdiskusi dengan baik. Dengan demikian, anak dapat terhindar dari perilaku cybersex.
- Memenuhi Kebutuhan Psikologis Anak – Anak adalah individu dengan berbagai kebutuhan psikologis, seperti ingin diperhatikan, ingin diakui, ingin disayangi, ingin dihargai dan lain sebagainya. Jika kebutuhan psikologis ini tidak terpenuhi, anak akan mengalami frustasi dan mencari pelampiasan atau pelarian. Salah satunya melalui cybersex. Orangtua adalah pihak yang paling mampu sekaligus paling bertanggungjawab dalam memenuhi kebutuhan psikologis anak. Jika orangtua dapat memenuhi kebutuhan psikologis anak, maka anak akan terhindar dari perilaku cybersex.
- Memberikan Pendidikan Seks – Sama halnya dengan individu lain, anak juga mahluk seksual. Jadi tidak heran jika anak tertarik dan memiliki hasrat seksual. Oleh karena itu, pendidikan seks menjadi hal yang sangat dibutuhkan oleh anak. Seks bukanlah mainan yang bisa dimain-mainkan sesuka hati. Pendidikan seks yang baik dan benar serta sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, jika diberikan dengan konten, waktu dan cara yang tepat, dapat membuat anak terhidar dari perilaku cybersex. Tidak memberikan pendidikan seks kepada anak dengan berbagai alasan seperti tabu, anak masih kecil dan lain sebagainya, berisiko membuat anak menjadi korban kejahatan seksual, menjadi pelaku kejahatan seksual, melakukan cybersex dan melakukan perilaku seksual yang tidak sehat lainnya.
- Literasi Digital – Cybersex terkait erat dengan digital. Oleh sebab itu, pemberian literasi digital dapat membuat anak terhindar dari perilaku cybersex. Ajarkan kepada anak bagaimana cara berdigital yang baik dan benar, apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan saat berinternet serta jelaskan apa bahaya serta resiko yang harus ditanggung jika berdigital dengan sembrono!
- Literasi Hukum – Hukum bicara soal peraturan dan konsekuensi jika peraturan itu dilanggar. Di mana anak berada, di sana ada hukum. Apapun yang ia lakukan memiliki konsekuensi hukum. Untuk dapat memberikan literasi hukum, orangtua tidak harus belajar ilmu hukum secara formal. Saat ini, penyuluhan hukum sudah banyak dilakukan oleh pemerintah dan lembaga-lembaga lainnya. Kita bisa melihat ini pada video-video, poster atau tulisan-tulisan yang terpampang jelas di tempat-tempat publik, misalnya terkait merokok di tempat umum, membuang sampah sembarangan atau penggunaan digital. Selain itu, informasi hukum dapat dengan mudah diakses melalui internet. Jika anak memiliki kesadaran akan hukum, maka ia akan berhati-hati dalam berperilaku karena takut akan risiko hukum yang harus ditanggung .
Mengatasi Perilaku Cybersex pada Anak
Mengetahui bahwa anak terjerumus dalam cybersex bukanlah kabar gembira. Ketika mengetahui hal ini, banyak orangtua yang menjadi marah bahkan mengamuk pada anak, shock, sedih, malu, stress, bingung bahkan depresi. Alih-alih menolong dan menyelamatkan anak, mereka malah mendiamkan masalah ini. Mereka bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan berharap masalah ini akan selesai seiring dengan berjalannya waktu. Padahal, jika anak tidak segera ditolong, maka anak akan semakin terjerumus dalam perilaku cybersex yang lebih parah, kecanduan dan sangat besar kemungkinan menjadi berhadapan dengan hukum.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menolong anak jika ia terbukti terlibat dalam perilaku cybersex, antara lain:
- Jangan Memusuhi Anak – Menjadi marah, sedih, malu, takut bahkan stress adalah hal wajar dialami oleh orangtua ketika mengetahui anaknya terlibat perilaku cybersex. Akan tetapi, jangan sekali-kali memusuhi anak! Hal itu tidak akan menyelesaikan masalah, malah akan menambah masalah baru. Kegagalan anak untuk hidup benar juga merupakan kegagalan orangtua dalam mendidik anak. Masalah ini adalah masalah bersama orangtua dan anak sehingga harus dihadapi dan diselesaikan bersama-sama.
- Dampingi Anak – Jangan biarkan anak menghadapi hal ini sendirian! Jangan biarkan ia bertanggungjawab sendirian! Sangat mungkin terjadi, anak paham bahwa apa yang ia lakukan tidak baik, tidak benar dan berbahaya bagi dirinya. Akan tetapi ia tidak mampu dan tidak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari belenggu cybersex. Ia pun mungkin merasa malu dan takut, tetapi ia tak tahu harus berbuat apa. Dampingilah anak dalam semua situasi yang ia hadapi! Yakinkan anak bahwa ia tidak sendirian karena orangtuanya akan mendampingi dan menolongnya! Pendampingan orangtua akan membuat anak merasa nyaman dan percaya diri dalam menghadapi masalah. Ini akan menjadi kekuatan bagi anak untuk meninggalkan perilaku cybersex.
- Bawa dan Konsultasikan Masalah Anak kepada Ahlinya – Pada level tertentu, perilaku cybersex tidak dapat diselesaikan jika hanya dengan pemberian nasehat oleh orangtua. Selain itu, perilaku cybersex pada anak dapat menimbulkan goncangan hebat pada orangtua sehingga mereka tidak tahu harus berkata atau berbuat apa. Jika anak sudah dalam level adiksi cybersex, maka bisa jadi orangtua tidak memiliki kapsitas yang cukup untuk menolong anak. Oleh karena itu, jangan sungkan untuk membawa anak kepada ahli agar anak mendapat pertolongan, misalnya kepada konselor profesional, psikolog klinis atau psikiater.
- Menjalani Terapi untuk Memodifikasi Perilaku Anak – Dengan bimbingan ahli, orangtua dapat membantu anak untuk melakukan modifikasi perilaku. Perilaku cybersex dimodifikasi agar menjadi perilaku yang sehat. Terapi yang diberikan biasanya bersifat komprehensif. Ada kalanya tidak cukup hanya dengan psikoterapi sehingga memerlukan terapi farmakologi. Apapun bentuk terapi yang disarankan oleh ahli untuk dijalani oleh anak, orangtua memegang peranan yang sangat penting. Fungsi kontrol dan monitoring hanya dapat dilakukan oleh orangtua. Konselor, psikolog maupun dokter tidak bisa bekerja sendiri. Mereka membutuhkan orangtua sebagai mitra utama dalam menolong anak.
Mencegah selalu lebih baik dan lebih mudah dari pada mengobati. Sebagai caregivers anak (orangtua, guru, pengasuh dan lain-lain), kita wajib melindungi anak dari cybersex. Akan tetapi, jika anak sudah melakukan tindak cybersex, jangan menyerah! Tolonglah anak! Upayakanlah pertolongan untuk anak! Mari kita lindungi anak-anak Indonesia dari bencana cybersex! (SRP)