TERAPI PERILAKU UNTUK ANAK PENYANDANG AUTIS

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Anak penyandang autis memiliki perilaku yang unik dan khas, seperti senang menjajarkan mainan atau benda lain dan menjadi kesal jika urutan jajaran mainan itu diubah; mengucapkan kata atau frasa dengan berulang-ulang (echolalia); bermain dengan mainan dengan cara yang sama setiap saat; hanya fokus pada bagian tertentu dari mainan atau objek lain (misalnya: hanya fokus pada roda mobil-mobilan); marah karena perubahan kecil (misalnya: karena suara televisi diperkecil); obsesif; harus mengikuti rutinitas tertentu (misalnya: setiap hari harus beli es krim); suka mengepakkan tangan, mengayun-ayunkan atau memutar tubuh; senang menjentikkan jari dan memiliki reaksi yang tidak biasa terhadap suara, bau, rasa, tampilan atau rasa benda.  Selain itu,  banyak dari anak penyandang autis  yang memiliki perilaku agresif. Misalnya: memukul, menendang, dan menggigit. Masalah perilaku lainnya adalah hiperaktif; cemas; khawatir; suka berteriak ketika kewalahan atau frustrasi; kabur dari rumah; memukul orang lain; melukai diri sendiri saat kesal; tidak melihat kepada orang yang sedang berbicara dengannya; senang berjalan mondar-mandir; lompat-lompat dan berlari-lari. Mereka juga tampak mementingkan diri sendiri dan tidak perduli dengan peristiwa atau emosi orang lain yang ada di sekitarnya.

Di sekolah, anak penyandang  autis bisa bereaksi berlebihan atau kurang bereaksi terhadap permintaan atau kebutuhan orang lain (misalnya: mendorong anak lain waktu berbaris atau mengabaikan permintaan untuk berjalan). Perilaku yang khas pada anak penyandang autis sering tidak dapat diterima/ditoleransi oleh orang lain, karena dianggap mengganggu, bahkan dapat membahayakan dirinya dan orang lain. Perlu dipahami, bahwa perilaku tersebut bukan karena mereka berakhlak buruk, tetapi karena beberapa masalah yang sangat spesifik akibat keautistikan yang mereka alami, antara lain:

Masalah Sensorik

Banyak anak penyandang autis yang bereaksi berlebihan atau kurang bereaksi terhadap suara, cahaya, bau, dan sentuhan. Anak yang menghindar saat dipeluk oleh kerabat dekatnya bukan anak tidak suka pada mereka. Ini bisa saja karena anak merasa tidak nyaman dengan bau parfum yang mereka gunakan, atau anak tidak suka dengan sensasi pada tubuh mereka ketika mereka dipeluk.  Masalah sensorik bisa juga menimbulkan masalah ketika sesuatu yang dianggap kecil terjadi. Misalnya suara dengungan teko untuk memanaskan air, suara blender, mixer dan lain-lain dapat membuat anak menjerit histeris. Masalah sensorik pada anak penyandang autis dapat menjadi penyebab mengapa mereka “berperilaku buruk” ketika berada di bioskop atau pasar, atau tempat lain yang banyak orang, banyak suara, berisik, berbau tak nyaman buat anak, dan lain-lain.

Masalah Komunikasi Sosial

Banyak anak  penyandang autis yang kesulitan dalam  komunikasi sosial. Mereka bahkan tidak dapat membaca emosi orang lain dan sangat sulit menghindari reaksi berlebihan terhadap perasaan orang lain. Misalnya: ada anak penyandang autis yang menjadi marah ketika melihat ada orang lain menangis. Jadi, jika ada orang menangis di dekatnya, maka ia akan mencubit orang itu dengan. Selain itu, mereka juga mengalami kesulitan dalam meniru orang lain.  Masalah komunikasi sosial menyulitkan anak untuk mengetahui kapan tindakan mereka dapat menyakitkan orang lain. Contohnya: Karena merasa jenuh di kelas, anak penyandang autis bisa dengan tiba-tiba berteriak lalu lari ke luar kelas dan sulit diajak masuk kembali ke kelas. Ia tidak menyadari bahwa perilakunya tersebut dapat mempengaruhi anak lain. Seorang anak berusia 12 tahun yang neurotipikal dapat berterima kasih kepada tantenya atas hadiah yang diberikan kepadanya, walaupun sebenarnya ia tidak suka dengan hadiah itu.  Akan tetapi, anak penyandang autis, walaupun sudah berusia 12 tahun, mengalami kesulitan berperilaku demikian. Remaja penyandang autis  pada umumnya berperilaku seperti anak  yang berusia jauh lebih muda darinya.

Perilaku Khas Autistik

Perilaku autistik biasanya sangat berbeda dari perilaku neurotipikal. Dengan demikian, orangtua/pengasuh/guru harus dapat mengetahui apakah yang ada pada anak adalah perilaku buruk atau perilaku autistik. Perilaku-perilaku tersebut antara lain: 1) Stimulasi diri: Anak penyandang autis menggunakan perilaku fisik seperti mengayun, mondar-mandir, menjentikkan jari, dan bersenandung untuk menenangkan diri. Akan tetapi, banyak orang menganggap bahwa  perilaku-perilaku tersebut adalah perilaku yang salah. 2) Kurangnya kontak mata: Bagi anak penyandang autis melakukan kontak mata adalah hal yang sulit, terutama selama percakapan. Meskipun mereka dapat dilatih untuk mempertahankan kontak mata, tetapi  kurangnya kontak mata bukan merupakan perilaku yang salah. 3) Menyakiti diri sendiri atau orang lain: Banyak anak penyandang autis yang suka menyakiti diri sendiri, misalnya: membenturkan kepala, menggigit tangan sendiri; menggaruk-garuk bagian tubuh sendiri hingga luka, menggigit jari, mengelupas kulit dan lain-lain. Banyak juga dari mereka yang suka menyakiti orang lain (mencubit, menggigit, melempar, memukul, menjambak), terutama pada saat kesal atau marah. Perilaku ini adalah perilaku yang berbahaya dan harus dikelola. 4) Kurang fokus dan konsentrasi: Anak penyandang autis mengalami hambatan dalam fokus/konsentrasi. Mereka mungkin bisa fokus pada sesuatu yang menarik untuk mereka, tetapi sulit untuk fokus pada hal lain. 5) Membuat kebisingan/keributan: Anak penyandang autis sering membuat keributan sehingga mengganggu orang lain. Misalnya: berteriak, bersenandung, berceloteh, tertawa, menangis, berlari-lari, melompat-lompat dan lain-lain.

Terapi Perilaku untuk Anak Penyandang Autis

Karena berbagai permasalah perilaku yang ada pada anak penyandang autis, maka terapi perlaku  dibutuhkan. Tujuannya adalah agar perilaku autistik yang dianggap membuat orang lain tidak nyaman, berbahaya bagi anak dan orang lain dapat dikelola. Bentuk terapi perilaku untuk anak penyandang autis antara lain: 1) memberikan arahan langsung:  Kita dapat menggunakan kata-kata, pemodelan, latihan dan cerita sosial untuk mengajari anak bagaimana berperilaku yang patut di suatu tempat (misalnya di restoran, bioskop dan lain-lain); bagaimana menanggapi kakek-nenek dengan sopan; atau bagaimana berinteraksi di pesta ulang tahun. Arahan diberikan secara bertahap mulai dari yang paling sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang hingga anak paham. Dalam banyak kasus, terapi perilaku dalam bentuk “memberikan arahan langsung” efektif untuk anak. 2) Remediasi: Remediasi dapat dilakukan untuk mengolah perilaku autistik pada anak. Misalnya: Jika bau parfum terapis/guru membuat anak tidak nyaman sehingga anak melarikan diri dari kelas. Oleh karena itu, guru dapat meminta kepada terapis/guru agar tidak memakai parfum itu lagi. Jika anak tidak nyaman dengan sentuhan saat berpelukan, maka jangan memeluk anak. Jika cahaya lampu membuat anak tidak nyaman sehingga menimbulkan masalah pada anak, maka gunakan cahaya lain. Jika suara TV mengganggu anak, maka matikanlah TV atau kecilkan volumenya. Orangtua dapat mengkomunikan kondisi anak kepada pihak sekolah sehingga sekolah dapat mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan anak. 3) Pengaturan Situasi :  Situasi dapat diatur sedemikian rupa sebagai upaya untuk mengolah perilaku autistik pada anak. Situasi yang berpotensi memunculkan masalah pada anak harus diatur sehingga kondusif bagi anak. Contoh:  Jika dekorasi ruangan mengganggu anak, maka dekorasi ruangan dapat diganti. Jika adanya es krim di dalam kulkas dapat membuat masalah pada anak, maka jangan taruh es krim di dalam kulkas. Orangtua, saudara dan anggota keluarga yang lainnya dapat menikmati es krim di luar rumah. Jika anak tidak nyaman dengan suara yang keras, maka anggota keluarga dapat menikmati musik atau film dengan menggunakan headphone atau earphone. 4) Merubah Situasi Sepenuhnya: Untuk dapat mengolah perilaku anak, diperlukan keberanian untuk mengambil tindakan tegas bahkan terkesan ekstrim. Misalnya: jika sekolah tidak mampu melayani kebutuhan anak, maka pindah sekolah adalah pilihan yang dapat diambil. Jika tetangga tidak toleran, maka pindah rumah adalah pilihan terbaik. Jika terapis tidak mampu menolong anak, maka mengganti terapis adalah langkah yang tepat. 5) Modifikasi Perilaku: Ada perilaku yang dianggap wajar untuk usia seorang anak, misalnya: bayi menangis karena haus; anak berusia dua tahun belum mampu mandi atau cebok sendiri; remaja perlu dibantu untuk mengatur waktu. Karena dianggap wajar, maka mereka tidak akan dihukum karena perilaku tersebut. Akan tetapi, jika anak berperilaku yang dianggap tidak pantas atau mengganggu/merugikan/berbahaya untuk dirinya atau orang lain, maka harus dilakukan modifikasi perilaku. Salah satu model terapi yang digunakan untuk memodifikasi perilaku anak penyandang autis adalah ABA (Applied Behaviour Analysis). Pendukung ABA mengatakan bahwa model terapi ini terbukti dapat membantu memodifikasi perilaku pada anak penyandang autis. Walaupun demikian, ABA juga memiliki kelemahan dan menuai kritik. (SRP)

Share

Related posts

Leave a Comment