MENJADI TERAPIS BAGI ANAK SENDIRI

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Setelah mendapatkan diagnosa “berkebutuhan khusus”, misalnya autis, ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), atau jenis lainnya dari ahli yang berwenang, penanganan terhadap hambatan yang dialami anak menjadi suatu keharusan. Biasanya, ada beberapa rekomendasi yang diberikan oleh ahli, misalnya terapi obat-obatan, terapi wicara dan komunikasi, terapi perilaku, intervensi pendidikan, terapi okupasi, terapi sensori integritas, dan lain-lain. Jenis terapi yang dipilih tentu harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Setiap bentuk terapi yang dipilih harus dilakukan dengan konsisten sesuai dengan arahan ahli pendamping agar berdampak signifikan terhadap perkembangan anak. Ada berbagai kendala atau hambatan yang dialami orangtua saat akan menerapkan berbagai terapi tersebut, antara lain: sulit mendapatkan terapis dengan kompetensi yang memadai; sulit mendapatkan pusat terapi atau sekolah yang tepat untuk anak; atau biaya terapi  tinggi sehingga sulit untuk dipenuhi oleh orangtua. Hal ini membuat banyak anak berkebutuhan khusus tidak mendapatkan layanan terapi yang ia butuhkan. Hambatan atau kendala tersebut dapat diatasi. Salah satu solusinya adalah orangtua menjadi terapis bagi anaknya sendiri.

Menjadi terapis bagi anak sendiri tentu tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak mungkin. Yang penting, orangtua mau dan berkomitmen. Kemauan dan komitmen yang tegas dan jelas dari orangtua dapat membuat orangtua menjadi memiliki kompetensi yang memadai sebagai terapis. Selain komitmen, agar dapat mejadi terapis yang baik bagi anak, orangtua harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut:

Menyadari dan Meyakini bahwa “Saya” adalah Orangtua yang Istimewa

Setiap anak istimewa. Bagaimana pun kondisi seorang anak,  ia adalah  individu yang istimewa dengan segala keunikannya. Demikian juga halnya dengan anak-anak yang menyandang kebutuhan khusus. Apa pun yang menjadi hambatan dan keunikannya, ia istimewa. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa semua orangtua juga istimewa. Jika Tuhan memberikan anak berkebutuhan khusus kepada kita, itu artinya Ia  sudah memberikan berbagai keistimewaan kepada kita agar kita dapat mengasuh, merawat, menjaga, melindungi dan mendidik mereka.

Tidak Meratapi Nasib

Meratapi nasib tidak akan menyelesaikan masalah. Sebalik, dapat membuat kita menjadi semakin lemah, kehilangan semangat dan optimisme. Padahal, agar dapat mendampingi, mengasuh, merawat, melindungi dan mendidik anaknya yang berkebutuhan khusus, orangtua harus memiliki semangat dan optimisme. Oleh karena itu, orangtua tidak boleh menganggap dirinya bernasib dan meratapi nasib. Tidak Menyalahkan Tuhan, Diri Sendiri, Orang Lain, Pemerintah, atau Keadaan

Menyalahkan diri sendiri atau pihak lain atas hadirnya anak berkebutuhan khusus dalam kehidupan kita hanya akan menambah masalah. Selain itu, apabila kita merasa sulit mengakses berbagai layanan yang dibutuhkan oleh anak, bukan berarti kita boleh menyalahkan siapa pun termasuk pemerintah. Menyalahkan orang lain hanya akan menimbulkan emosi negatif dalam diri kita. Hal ini berbahaya bagi diri kita sendiri dan merugikan anak.

Miliki Sikap Mental yang Positif

Jangan minder, kecil hati, malu, atau patah hati! Sebaliknya, milikilah sikap mental yang positif! Sikap mental yang positif merupakan kekuatan yang sangat besar bagi orangtua dalam mengupayakan semua hal terbaik bagi anak.

Berjuanglah Terus

Jadilah pejuang sejati! Pejuang sejati tidak akan mudah menyerah. Hambatan yang dialaminya dalam perjuangan justru akan membuatnya menjadi kreatif.

Pembelajar

Jika orangtua mau menjadi terapis bagi anaknya, maka ia harus seorang pembelajar. Dengan belajar, maka semua hal dapat diketahui, dipahami dan dikuasai. Pelajari dengan baik kondisi anak dan apa yang ia butuhkan! Belajarlah terus agar dapat menjadi terapis yang ideal bagi anak! Belajar dapat dilakukan dengan membaca buku, mengikuti berbagai seminar, pelatihan, kursus dan belajar secara formal di sekolah-sekolah formal seperti Perguruan Tinggi. Perlu diingat bahwa setiap terapi menuntut kompetensi tertentu dari terapis. Kompetensi itu hanya bisa diperoleh melalui belajar.

Tidak Sembarangan “Curhat”

Agar dapat menjadi terapis bagi anak, maka orangtua harus memiliki status kesehatan mental yang baik. Ada kalanya orangtua merasakan berbagai emosi negatif, misalnya tertekan, sedih, malu atau khawatir. Dalam kondisi demikian, kadang kala orangtua membutuhkan tempat untuk “curhat”. Akan tetapi, orangtua harus berhati-hati dalam memilihi teman “curhat”. Jangan sampai salah tempat “curhat” sehingga hanya menambah masalah dan beban.

Yakinilah bahwa Anakmu Sempurna dan Punya Potensi

Semua anak sempurna dan punya potensi, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus. Yang membedakan adalah: ada anak yang potensinya mudah terlihat bagai buah apel yang segar di atas pohon. Akan tetapi, ada anak yang potensinya tidak dapat dilihat dengan kasat mata. Potensinya bak emas di dalam perut bumi. Sangat berharga, tetapi untuk menemukan dan mendapatkan diperlukan upaya yang serius. Orangtua harus yakin bahwa anaknya sempurna dan punya potensi. Keyakinan akan hal ini akan menjadi energi positif yang dapat menggerakkan orangtua dengan positif sehingga ia dapat menjadi terapis yang baik bagi anak.

Terima Anak Utuh Apa Adanya

Salah satu syarat agar orangtua dapat menjadi terapis bagi anak adalah orangtua harus dapat menerima anak utuh apa adanya. Penerimaan penuh terhadap anak akan membuat anak merasa nyaman. Bagaimana pun kondisi anak, ia adalah mahluk ciptaan Tuhan yang mulia, dan ia dapat merasakan apakah seseorang menerima dirinya atau tidak. Jika orangtua tidak dapat menerima anak, maka ia tidak akan dapat menjadi terapis yang baik bagi anak. Selain itu,  proses apa pun yang dilakukan saat terapi tidak akan bermanfaat.

Memperlakukan Anak dengan Wajar
Jangan over protektive, jangan sangat permisif, jangan terlalu otoriter dan jangan melakukan pembiaran terhadap anak! Perlakukanlah ia dengan wajar sesuai dengan keunikan dan kebutuhannya. Proses terapi yang dilakukan oleh orangtua kepada anak tidak akan berdampak baik jika orangtua terlalu protektif, sangat permisif, terlalu otoriter atau melakukan pembiaran terhadap apa pun yang anak lakukan.

Tidak Berupaya untuk Membuat Anak “Normal” atau “Sembuh”

Seringkali yang menjadi hambatan dalam pemberian terapi kepada anak berkebutuhan khusus adalah karena orang berupaya membuat mereka  menjadi normal atau sembuh. Upaya ini adalah upaya yang sia-sia dan hanya membuat kita dan anak menjadi lelah dan tertekan. Terapi untuk anak berkebutuhan khusus bertujuan untuk menumbuhkembangan dan memaksimalkan semua potensi yang ada dalam diri anak sehingga hambatan yang ada dalam dirinya dapat diatasi.

Tidak Membanding-Bandingkan Anak dengan Siapa pun

Tidak ada orang yang suka dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Hal ini hanya akan membuat anak merasa tidak nyaman dan dapat  membuat terapis merasa geram sehingga berpotensi melakukan kekerasan kepada anak. Jadi, agar dapat menjadi terapis bagi anaknya, maka orangtua tidak boleh membanding-bandingkan anak dengan siapa pun.

Disiplin dan Konsisten

Dibutuhkan kedisiplinan dan kekonsistenan agar terapi bermanfaat bagi anak. Jika orangtua ingin menjadi terapis bagi anaknya sendiri, maka ia harus disiplin dan konsisten dalam memberikan layanan terapi kepada anak.

Menjadi Role Model yang Ideal bagi Anak

Proses terapi akan menjadi lebih mudah jika orangtua dapat menjadi role model yang ideal bagi anak, karena pada umumnya anak-anak berkebutuhan khusus belajar dari apa yang ia lihat. Oleh sebab itu, jika ingin menjadi terapis yang baik bagi anaknya, orangtua harus dapat menjadi role model yang ideal.

Terapi harus Dilakukan dengan Dasar Kasih Sayang

Bagaimana pun kondisi seorang anak,  orangtua harus benar-benar mencintai anaknya dengan tulus. Ini akan meringankan sekaligus menjadi kekuatan bagi orangtua dalam memberikan layanan terapi kepada anaknya. Cinta kepada anaknya akan memampukan orangtua melakukan apa pun untuk kepentingan terbaik anak.

Memiliki Manajemen Emosi yang Baik

Kadang kala ada peristiwa-peristiwa dalam proses terapi yang dapat memunculkan emosi negatif pada orangtua, misalnya menjadi marah, sedih, takut atau kecewa. Apabila tidak diatasi, emosi negatif pada orangtua akan berbahaya bagi orangtua dan anak. Oleh karena itu, agar dapat menjadi terapis bagi anaknya, maka orangtua harus memiliki keterampilan manajemen emosi yang baik. Ketika muncul emosi negatif, maka orangtua harus mampu menyelaraskan emosi dan kognisi. Ketika orangtua sedang emosial, sebaiknya ia tidak berhadapan dengan anak karena dapat menjadi pemicu bagi orangtua untuk melakukan kekerasan kepada anak, seperti mencubir, memukul, membentak, dan lain-lain.

Memiliki Keterampilan Menolong Anak ketika Anak Tantrum

Banyak anak berkebutuhan khusus yang belum mampu melakukan kontrol terhadap emosinya. Itulah salah satu alasan mengapa mereka memerlukan terapi. Salah satu bentuk emosi negatif pada anak berkebutuhan khusus adalah tantrum. Oleh karena itu, jika orangtua mau menjadi terapis bagi anak, maka ia harus memiliki keterampilan menangani anak ketika anak sedang tantrum. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika anak sedang tantrum, seperti:  saat anak emosional, orangtua tidak boleh terpancing menjadi emosional; tetap tenang; memastikan semua aman; tidak meninggalkan anak sendirian; dengan pelan-pelan mengajak anak bicara; membantu anak untuk mengungkapkan apa yang diinginkannya; memberi edukasi kepada anak (misalnya: jika mau sesuatu, maka anak harus mengatakan, tidak marah, tidak nangis); dan tidak melakukan kekerasan (abuse) dalam bentuk apa pun. (SRP)

Share

Related posts

Leave a Comment