Oleh: Susi Rio Panjaitan
Salah satu kondisi yang khas pada anak penyandang autis adalah mengalami hambatan dalam interaksi sosial. Tingkat kesulitannya bisa sangat parah atau relatif ringan. Misalnya: sulit melakukan kontak mata; sulit bertanya dan menjawab pertanyaan dengan benar; sulit menggunakan kata tolong, maaf, permisi dan terima kasih dengan tepat; tidak mampu memahami pikiran, perasaan orang lain; tidak mampu merespons dengan tepat; dan tidak mampu memahami orang lain melalui mengamati nada suara, ekspresi wajah, dan bahasa tubuh orang tersebut. Hal ini dapat menyebabkan mereka membuat kesalahan sosial yang mengakibatkan berbagai masalah, seperti membuat orang menjadi malu atau merasa tersinggung. Selain itu, anak penyandang autis juga rentan mengalami perundungan (bullying), dimusuhi, dikucilkan atau mengalami kekerasan, seperti kekerasan fisik, verbal atau pun seksual. Oleh karena itu, anak penyandang autis perlu dilatih untuk membangun keterampilan interaksi sosial mulai dari keterampilan dasar (seperti melakukan kontak mata) hingga keterampilan yang kompleks dan halus (seperti menolak atau mengungkapkan cinta kepada seseorang).
Dalam keterampilan komunikasi, anak penyandang autis dikelompokkan menajdi dua, yaitu verbal (memiliki kemampuan berbicara secara lisan), dan non-verbal (tidak memiliki kemampuan berbicara secara lisan). Walaupun demikian, kedua kelompok ini dapat dilatih sehingga mereka memiliki keterampilan sosial. Berikut ini adalah beberapa aspek yang perlu dilatih dalam memberikan terapi keterampilan sosial pada anak penyandang autis.
Melatih Kontak Mata
Mampu menjaga kontak mata dengan cara memandang dengan wajar kepada lawan bicara atau orang yang sedang berbicara dianggap sebagai salah satu indikator kesopanan. Orang yang tidak memandang ke arah lawan bicaranya atau orang yang sedang berbicara dinilai sebagai orang yang tidak punya sopan santun karena dianggap tidak menghargai orang yang sedang berbicara. Pada anak penyandang autis, kemampuan kontak mata dengan orang lain sangat rendah, bahkan nyaris tidak ada. Itulah sebabnya, dengan tanpa mengabaikan keunikan mereka ini, anak penyandang autis bisa dan perlu dilatih agar memiliki kontak mata walaupun pendek.
Memahami Bahasa Tubuh dan Ekspresi Wajah Orang
Bahasa tubuh, gerak tubuh, sorot mata, dan ekspresi wajah merupakan bahasa non-verbal yang dapat menggantikan bahasa verbal atau lisan. Contoh: untuk orang Indonesia, gelengan kepala berarti tidak; anggukan berarti iya; dan acungan jempol berarti bagus. Tarikan bibir juga memiliki arti. Ada tarikan bibir yang membentuk senyuman yang dapat diartikan bahwa orang tersebut senang dan ada juga tarikan bibir yang menunjukkan suasana hati yang tidak gembira, mengejek, dan lain-lain. Selain itu, sorot mata, ekspresi wajah, tarikan nafas, dan gerakan tubuh juga memiliki arti. Orang tentu akan menunda berbicara dengan orang yang sorot matanya menunjukkan ketidaksukaan. Agar anak penyandang autis dapat berkomunikasi dan berelasi sosial dengan baik, maka maka mereka harus memiliki kemampuan memahami bahasa tubuh dan ekspresi orang lain.
Menyapa Orang Lain
Orang yang suka menyapa orang lain dianggap sebagai orang yang sopan dan ramah. Pada umumnya, orang senang dengan orang yang sopan dan ramah. Kesopanan dan keramahan seseorang membuatnya dapat bersosialisasi dengan baik karena ia diterima dengan senang oleh lingkungannya. Karena kemampuan menyapa orang lain pada anak penyandang autis sangat rendah, maka mereka harus dilatih untuk menyapa orang lain.
Menggunakan “Kata-kata Sakti”
Kata terima kasih, maaf, tolong, dan permisi adalah “kata-kata sakti” karena dapat mempengaruhi situasi. Misalnya: dengan menggunakan kata tolong, maka seseorang yang dimintai pertolongan akan dengan senang hati menolong; kata maaf dapat membuat orang menjadi luluh; kata terima kasih membuat orang yang memberi menjadi senang; dan kata permisi membuat orang dengan rela memberi ijin. Mampu menggunakan kata tolong, terima kasih, permisi dan maaf dengan tepat menjadi standar untuk menilai apakah seseorang sopan atau tidak.
Menjawab Sapaan
Etisnya adalah, jika disapa maka seseorang harus membalas sapaan tersebut dengan baik. Jika seseorang tidak membalas sapaan seseorang, maka ia dianggap sombong dan hal ini akan berpengaruh buruk terhadap relasi sosialnya.
Menjawab Pertanyaan
Jika seseorang ditanya, maka sebaiknya ia menjawab. Ada keterampilan dalam menjawab pertanyaan. Bahkan, tidak mau menjawab apa yang ditanyakan pun memerlukan jawaban. Misalnya: Seseorang bertanya kepada orang yang baru ia kenal: “Berapa gajimu sekarang?” Ini adalah pertanyaan sensitif bagi sebagian orang sehingga mereka enggan memberi tahu. Walaupun begitu, pertanyaan tersebut perlu dijawab meskipun tidak menjawab apa yang ditanyakan. Misalnya, dengan sambil tersenyum ringan dikatakan: “Ada deh.” Keterampilan menjawab pertanyaan sangat memengaruhi relasi sosial. Itulah sebabnya, bagaimana menjawab pertanyaan dengan tepat sangat penting diajarkan kepada anak-anak penyandang autis.
Mengajukan Pertanyaan
Agak mirip dengan menjawab pertanyaan, mengajukan pertanyaan kepada orang lain perlu keterampilan tertentu. Tidak semua boleh ditanyakan. Ada hal-hal tertentu yang tidak boleh ditanyakan karena dianggap tabu atau tidak sopan. Misalnya, pertanyaan yang menyangkut hal-hal yang sangat pribadi. Selain itu, bagaimana cara bertanya juga merupakan hal yang harus diperhatikan. Bertanya kepada anak kecil berbeda dengan bertanya kepada orang dewasa.
Mengungkapkan Perasaan dan Keinginan
Atas nama hak, demi kesehatan mental, dan demi kepentingan diri sendiri atau orang lain, maka orang harus berani mengungkapkan perasaan dan keinginannya. Perasaan atau keinginan terhadap sesuatu atau seseorang harus dapat disampaikan dengan tepat. Jangan sampai timbul kesalahpahaman yang dapat menimbulkan masalah. Orang-orang penyandang autis memiliki hambatan dalam mengungkapan perasaan dan keinginannya dengan tepat. Oleh karena itu, keterampilan ini harus diajarkan kepada mereka melalui terapi sosial.
Mengajak
Mengajak orang lain adalah hal umum dalam berelasi. Misalnya: mengajak teman bermain; menonton film; belajar bersama; dan lain-lain. Selain itu, ada ajakan yang lebih berat, yang sifatnya untuk memengaruhi seseorang. Misalnya, mengajak orang untuk memilih partai atau pasangan calon presiden tertentu. Mengajak seseorang atau sekelompok orang, baik berupa ajakan yang sederhana (misalnya minum kopi) atau yang berat (misalnya gotong royong atau demo), memerlukan keterampilan. Jangan sampai, ajakan kita dinilai sebagai pemaksaan. Intensitas dan cara mengajak perlu diperhatikan agar orang mau ikut ajakan kita dengan senang hati dan tanpa merasa dipaksa. Kemampuan mengajak pada orang dengan autistik sangat rendah bahkan nyaris tidak ada. Oleh karena itu, keterampilan mengajak perlu diajarkan kepada anak penyandang autis.
Bercerita
Bercerita merupakan bagian dari interaksi sosial. Duduk sambil minum kopi pun pasti diisi dengan “ngobrol”. Dalam bercerita tentu ada etika. Misalnya: tidak perlu menceritakan hal-hal yang sifatnya sangat pribadi; menjijikkan; atau meceritakan kejelekkan orang lain. Salah dalam bercerita dapat menimbulkan berbagai masalah dan berpotensi menghancurkan relasi sosial.
Berbicara
Kemampuan berbicara memengaruhi relasi sosial. Seseorang yang mampu berbicara dengan baik enak untuk didengarkan. Orang akan merasa nyaman mendengar ia berbicara. Misalnya: berbicara dengan nada, volume dan intonasi suara yang tepat. Coba bayangkan jika seseorang berbicara kepada Anda dengan terburu-buru, volume suara terlalu keras, tubuh digoryang-goyangkan, tidak tenang, atau sambil berlari-lari? Tentu akan membuat bingung atau sakit kepala bukan? Jadi, seseorang harus memiliki keterampilan berbicara. Keterampilan ini juga menyangkut bagaimana berbicara dengan orang yang lebih tua, lebih muda, sebaya, dan lain sebagainya.
Mendengarkan
Mendengarkan bukan keterampilan yang mudah. Agar dapat mendengarkan dengan baik, maka butuh konsentrasi, melibatkan hati dan perasaan. Seseorang yang sedang berbicara dapat dengan mudah melihat apakah orang yang ia ajak bicara mendengarkannya atau tidak. Jika seseorang tidak mampu mendengarkan dengan baik, maka ia tidak akan mengetahui pesan apa yang disampaikan si pembicara, dan si pembicara bisa merasa tidak dihargai. Itulah sebabnya kemampuan mendengarkan sangat memengaruhi relasi sosial.
Etika
Ada etika yang harus dijunjung dalam bersosialisasi. Misalnya: tidak boleh buang angin di depan orang; tidak boleh bertahak/beserdawa sembarangan karena bagi sebagian orang hal tersebut menjijikkan; tidak memakai atau mengambil milik orang lain tanpa izin; dan lain-lain. Selain itu, berkelakar atau bercanda adalah bagian dari berelasi bersosial. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa ada hal yang tidak tepat dijadikan bahan bercanda karena tidak etis dan dapat menyinggung perasaan orang lain. Misalnya, tidak etis menjadikan hambatan khusus pada seseorang sebagai candaan.
Berespon dengan Tepat
Kadang kala ada pertanyaan, perkataan atau perilaku orang lain yang membuat tidak nyaman. Misalnya gurauan, pertanyaan yang sangat pribadi, atau perkataan yang tidak sedap. Hal ini tentu tidak menyenangkan, tetapi harus direspon dengan tepat. Respon yang tepat membuat relasi terjaga dan terbina dengan baik; anak tidak menjadi korban perundungan (bullying); serta anak merasa nyaman dan dengan komunitasnya.
Menolak
Pada banyak kasus, anak mengalami kerugian, menjadi korban atau melakukan hal yang tak ia inginkan karena ia tidak mampu menolak. Dalam berelasi sosial, ada kalanya anak harus mampu menolak ajakan atau permintaan orang lain. Walaupun demikian, penolakan harus disampaikan dengan baik dan tegas agar orang tidak tersinggung dan anak disisihkan. (SRP)