PERILAKU BUNUH DIRI PADA ANAK

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Fenomena Bunuh Diri Pada Anak

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat selama Bulan Januari – November 2023 terdapat 37 aduan kasus mengenai anak mengakhiri hidupnya (dikutip pada Minggu, 3 Desember 2023 Pukul 17:12 WIB dari https://www.kpai.go.id/publikasi/kpai-mencatat-januari-november-2023-sejumlah-37-anak-mengakhiri-hidup). Angka ini bukan sekedar angka, tetapi menunjukkan bahwa Indonesia sedang dalam masalah serius. Angka ini menjadi bukti  bahwa sedang ada masalah sangat serius pada sangat banyak anak Indonesia. Ini baru angka kejadian yang dicatat oleh KPAI, belum lagi angka kejadian yang dicatat oleh lembaga lain, dan kejadian-kejadian yang tidak dilaporkan sehingga tidak tercatat di mana pun. Selain itu, angka ini juga menjadi alarm peringatan bagi pemerintah dan rakyat Indonesia terkait masalah kesehatan mental dan keselamatan anak Indonesia.

Fenomena bunuh diri pada anak tidak boleh dianggap sepele. Ini tidak semata-mata masalah anak atau masalah keluarganya saja, tetapi juga merupakan masalah bangsa Indonesia. Dalam  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 20 dikatakan bahwa negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan orangtua atau wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Terkait dengan perilaku bunuh diri pada anak, dari pasal ini dapat disimpulkan bahwa pemerintah dan semua elemen masyarakat harus sama-sama memikirkan dan mengupayakan langkah-langkah preventif dan kuratif.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bunuh Diri pada Anak

Biasanya, perilaku bunuh diri pada anak merupakan kombinasi beberapa faktor. Kita perlu memahami faktor-faktor resiko ini guna menolong anak sehingga anak terhindar dari perilaku bunuh diri. Faktor-faktor tersebut antara lain:

  1. Masalah Kesehatan Mental pada Anak

Masalah kesehatan mental pada anak dapat meningkatkan risiko perilaku bunuh diri. Gangguan seperti depresi, kecemasan, Attention-Deficit/Hyperactivity Disorder (ADHD), skizofrenia, bipolar, atau gangguan kesehatan mental lainnya dapat menciptakan beban emosional yang berat bagi anak, tidak mampu berpikir dengan baik, dan sulit mengatasi stres hidup sehingga melakukan tindak bunuh diri.

  1. Tekanan Sosial

Tekanan sosial dapat memicu anak untuk melakukan bunuh diri. Ketika anak tidak didukung, diremehkan, terlalu dituntut, tidak dihargai, atau dikucilkan oleh keluarga, teman, dan komunitas, maka anak akan tertekan, merasa diri tidak berharga, sendirian, kesepian, stres, panik, takut, cemas,  atau depresi. Hal ini dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan bunuh diri.

  1. Pengalaman Traumatis

Trauma seperti pelecehan, kehilangan orang yang dicintai, kekerasan, atau perlakuan buruk lainnya dapat menyebabkan stres berkepanjangan dan gangguan mental pada anak. Anak yang mengalami trauma dapat mengalami kesulitan mengatasi emosi, merasa terisolasi, atau memiliki gambaran diri yang negatif. Hal ini dapat membuat anak melakukan tindak bunuh diri.

  1. Riwayat Masalah Kesehatan Mental dalam Keluarga

Lingkungan keluarga dapat menjadi faktor risiko terhadap masalah kesehatan mental anak. Jika ada riwayat gangguan mental dalam keluarga, anak cenderung lebih rentan terhadap masalah yang sama. Selain itu, lingkungan keluarga yang stres dapat menambah tekanan bagi anak, dan meningkatkan risiko masalah kesehatan mental. Kondisi ini dapat membuat anak melakukan tindak bunuh diri.

  1. Kejahatan Seksual

Kejahatan seksual yang dialami anak dapat menyebabkan masalah emosional yang serius, seperti perasaan malu, ketakutan, merasa diri kotor, cemas, merasa diri tidak berharga, jijik terhadap diri sendiri, marah, benci, muak, rasa bersalah, stress, dan depresi. Ini dapat mendorong anak untuk melakukan bunuh diri.

  1. Tekanan Akademis

Tekanan akademis yang berlebihan seperti harapan tuntutan akademis yang berlebihan, dan ekspektasi yang sulit dipenuhi, baik dari orang tua, sekolah, atau bahkan dari diri mereka sendiri dapat membuat anak merasa tertekan, cemas dan depresi. Anak merasa tidak mampu memenuhi harapan, merasa gagal, atau mengalami perasaan putus asa karena tekanan tersebut. Ini dapat memicu pikiran untuk  bunuh diri sebagai cara untuk mengatasi tekanan yang dirasakan.

  1. Faktor Keluarga

Lingkungan keluarga yang tidak mendukung, tidak ada kasih, tidak ada penghormatan, tidak ada penghormatan, tidak ada perhatian, tidak ada maaf atau pengampunan, dapat menimbulkan masalah kesehatan mental pada anak. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko perilaku bunuh diri pada anak.

  1. Perundungan (Bullying)

Bullying dapat menimbulkan masalah psikologis yang serius, termasuk depresi, kecemasan, takut, dan putus asa. Anak yang menjadi korban bullying dapat merasa dilecehkan, tidak berdaya, ditolak, dan mengalami penurunan harga diri. Hal ini dapat memicu anak untu mengakhiri hidupnya.

  1. Stigma

Anak yang dicap negatif, bodoh, jelek, atau tidak berguna akan merasa dihakimi, rendah diri,  malu, dan  tidak berdaya. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk melakukanmenjadi faktor risiko dalam memicu perilaku bunuh diri.

  1. Diskriminasi

Diskriminasi yang dialami oleh anak dapat menyebabkan anak mengalami tekanan psikologis, gambar diri yang buruk, rendah diri, merasa tidak berharga, sedih, marah, akut, cemas, dan depresi. Hal ini dapat memicu anak untuk melakukan tindakan bunuh diri.

  1. Pola Asuh Negatif

Pola asuh yang negatif, seperti ketidakpedulian, kekerasan fisik atau verbal, tekanan berlebihan, ekspektasi yang tidak masuk akal, dapat meningkatkan risiko tindak bunuh diri pada anak. Anak yang mengalami pola asuh yang tidak mendukung perkembangan emosional dan sosialnya, akan mengalami kesulitan dalam mengelola stres, dan tidak memiliki keterampilan menyelesaikan masalah. Hal ini dapat memengaruhi kesejahteraan mental mereka dan meningkatkan risiko tindak bunuh diri.

  1. Dampak Buruk Media Sosial dan Paparan Informasi yang Salah

Pengaruh buruk dari media sosial dan paparan informasi yang salah dapat menimbulkan tekanan sosial pada anak, membuat anak membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, rendah diri/minder, meratapi nasib, atau berupaya menjadi seperti orang lain. Kondisi ini dapat membuat anak mengalami gangguan kesehatan mental, dan bunuh diri. Contoh dampak buruk media sosial: cyberbullying; virtual sex; pamer (flexing); dan standar tertentu tentang cantik, pintar, keren. Contoh informasi salah: panduan bunuh diri; dan informasi yang menyatakan bahwa bunuh diri itu pilihan dan bukan masalah, tetapi dapat dilakukan sebagai bentuk penyelesaian masalah.

 

Deteksi Dini Perilaku Bunuh Diri pada Anak

Deteksi dini perilaku bunuh diri pada anak penting karena dengan demikian intervensi dan dukungan dapat diberikan tepat waktu. Ini memungkinkan pihak terkait, seperti keluarga dan sekolah, untuk mengidentifikasi faktor risiko, memberikan bantuan psikologis, sehingga perilaku bunuh diri pada anak dapat dicegah. Berikut ini tanda-tanda awal yang perlu diwaspadai.

  1. Perubahan Drastis dalam Perilaku

Perubahan drastis dalam perilaku anak dapat menjadi petunjuk penting dalam deteksi dini perilaku bunuh diri.

  1. Menarik Diri

Menarik diri dari interaksi sosial dapat menjadi indikator potensial perilaku bunuh diri pada anak karena menarik diri dapat mengiindikasikan anak merasa kesepian, terabaikan, tidak mendapatkan dukungan emosional yang memadai, sulit mengungkapkan perasaan, putus asa, dan mengalami beban psikologis.

  1. Menunjukkan Ekspresi Keputusasaan

Ekspresi keputusasaan pada anak dapat menjadi tanda bahwa anak sedang mengalami beban mental yang berat, depresi, cemas, takut, merasa diabaikan, tidak mampu mengelola stres, tidak mampu mengatasi masalah, kesedihan yang mendalam, atau merasa tidak berguna.

  1. Prestasi Akademik Menurun Drastis

Prestasi akademik yang menurun drastis pada anak dapat menjadi indikator potensial bahwa anak tersebut mungkin mengalami risiko bunuh diri. Ketidakmampuan mengatasi masalah, dan ketidakmampuan mengatasi stress dapat membuat semangat dan konsentrasi belajar anak turun drastis. Selain itu, prestasi akademis yang menurun drastis dapat membuat anak menjadi stress, cemas dan ketakutan. Misalnya: jika ia menerima ancaman tertentu jika nilainya jelek, atau ekspektasi yang terlalu tinggi dari orangtua, sekolah, atau dari diri anak sendiri. Hal-hal inilah yang kemudian memicu anak untuk melakukan tindakan bunuh diri.

  1. Perubahan Fisik

Kaitan antara perubahan fisik anak dan risiko bunuh diri misalnya penurunan atau kenaikan berat badan yang drastis dapat mencerminkan masalah kesehatan mental atau fisik yang dapat meningkatkan; atau kurang memperhatikan kebersihan dan penampilan. Kondisi ini dapat merupakan tanda bahwa anak sedang mengalami masalah kesehatan mental yang serius. Perubahan fisik harus diperhatikan bersamaan dengan perubahan perilaku dan emosional secara keseluruhan.

  1. Berperilaku Berisiko

Perilaku berisiko seperti merokok, kebut-kebutan, tawuran, berkelahi, menggunaan zat adiktif,  menyakiti diri sendiri (self-harm), terlalu banyak makan atau tidak mau makan, atau seks bebas, dapat menjadi tanda bahwa anak sedang mengalami tekanan berat.

 

Upaya Preventif Perilaku Bunuh Diri pada Anak

Upaya preventif yang holistik dan berkelanjutan dapat berperan penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung kesehatan mental anak-anak, sehingga mengurangi risiko perilaku bunuh diri. Berikut adalah bebera strategi yang dapat dilakukan.

  1. Menyediakan Lingkungan yang Kondusif

Lingkungan yang kondusif, dimana anak merasa nyaman dan aman, kesehatan mental akan terjaga dengan baik.

  1. Merawat Kesehatan Mental Anak

Merawat kesehatan mental anak merupakan tindakan yang mendukung perkembangan emosional dan psikologis anak. Ini menjadi fondasi yang kuat untuk pertumbuhan dan perkembangan anak secara holistik.

  1. Menciptakan Komunikasi Asertif dalam Keluarga

Komunikasi asertif dalam keluarga memungkinkan anggota keluarga untuk lebih sadar akan emosi dan mampu mengungkapkan perasaan dengan jelas; anak merasa lebih nyaman untuk mengekspresikan diri tanpa takut dihakimi atau diabaikan; membantu anak mengatasi stigma terkait kesehatan mental; anak diajarkan keterampilan berbicara dan mendengarkan secara efektif; anggota keluarga saling mengetahui kondisi masing-masing; dan menciptakan atmosfer saling mendukung dan pengertian dalam keluarga.

Menciptakan komunikasi asertif dalam keluarga merupakan langkah yang fundamental untuk membantu anak merasa didengar, diterima, dan didukung secara emosional. Keluarga menjadi tempat pertama dan utama untuk anak mencari dukungan saat menghadapi kesulitan mental, sehingga anak terhindar dari perilaku bunuh diri.

  1. Menerapkan Pola Asuh Positif

Penerapan pola asuh positif mencakup memberikan cinta, dukungan, dan perhatian, membantu membangun hubungan emosional yang kuat antara orangtua dan anak. Hal ini

dapat membantu anak mengatasi stres; mengembangkan resiliensi; beradaptasi dengan baik; mampu mengatasi situasi sulit; serta memiliki keterampilan mengatasi konflik dan mengelola emosi secara sehat. Hal ini dapat meningkatkan kesehatan mental anak dan upaya preventif tindakan bunuh diri.

  1. Melatih Anak Bersikap Asertif

Anak mampu bersikap asertif berarti anak mampu mengungkapkan perasaan dan pikiran mereka secara jelas dan sehat; mampu memiliki kontrol atas hidupnya; mampu mengatasi kesulitan dan merasa lebih berdaya; anak mampu menolak tawaran atau tekanan yang dapat membahayakannya; mampu mendengarkan dengan empati dan menyampaikan pesan dengan jelas; mampu  mengatasi konflik tanpa kekerasan atau agresi; mampu mengatasi stres dengan cara yang sehat; memahami dan menghargai diri sendiri; dan mampu membangun hubungan sosial yang sehat.  Kondisi ini menciptakan kesehatan mental yang kuat dan mengurangi risiko perilaku bunuh diri pada anak.

  1. Keterampilan Mengelola Stres

Keterampilan mengelola stres membantu anak mengembangkan daya resiliensi; mudah pulih dari tekanan dan kesulitan; mampu berpikir rasional di tengah-tengah situasi sulit; mencari solusi; tidak merespon dengan impulsif; terhindar dari metode koping yang merugikan seperti penyalahgunaan zat atau perilaku berisiko lainnya; mampu mengatasi situasi krisis; terhindar dari konflik interpersonal; dan

lebih mandiri dalam mengatasi kesulitan. Kondisi ini merupakan bagian integral dari strategi preventif untuk memitigasi risiko perilaku bunuh diri pada anak.

  1. Pendidikan tentang Kesehatan Mental di Sekolah dan Masyarakat

Pendidikan kesehatan mental di sekolah dan masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan dan kesadaran tentang masalah kesehatan mental, termasuk faktor risiko dan tanda-tanda perilaku bunuh diri; mengubah persepsi; memungkinkan anak untuk mencari bantuan tanpa takut dihakimi; memperlengkapi anak  anak dengan keterampilan merawat kesehatan mental diri sendiri dan orang lain;  memberikan aksesibilitas terhadap layanan kesehatan mental; menciptakan ruang untuk pembicaraan terbuka tentang kesehatan mental; dan mencegah perundungan (bullying). Hal ini juga dapat membentuk budaya yang mendukung kesehatan mental dan dapat berkontribusi signifikan dalam upaya preventif terhadap perilaku bunuh diri pada anak.

  1. Pencegahan Perundungan (Bullying)

Bullying dapat menjadi faktor risiko utama yang memicu stres emosional dan psikologis pada anak. Dengan mencegah bullying, dapat mengurangi salah satu faktor risiko yang dapat menyebabkan perilaku bunuh diri pada anak.

  1. Menciptakan Lingkungan Sekolah yang Aman dan Nyaman

Lingkungan sekolah yang aman dan nyamandapat membantu mengurangi faktor risiko yang dapat memicu stres pada anak; mencegah bullying, diskriminasi, pelecehan, kekerasan dan stigma; memberikan dukungan emosional kepada anak; kesempatan bagi anak untuk mengembangkan keterampilan sosial; dan mendukung kesejahteraan psikologis anak. Kondisi ini dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak dan menghindarkan anak dari perilaku bunuh diri.

  1. Memonitor dan Mendapingi Anak dalam Menggunakan Media Sosial

Dampak buruk media sosial yang dapat menjadi pemicu perilaku bunuh diri pada anak dapat dikendalikan jika orangtua mampu memonitor dan mendampingi anak dalam menggunakan media sosial.

  1. Akses kepada Layanan Profesional

Layanan profesional, seperti psikolog, psikiater, atau konselor dapat mendeteksi dan mengevaluasi risiko perilaku bunuh diri pada anak. Akses yang mudah ke layanan ini memungkinkan deteksi dini dan intervensi yang tepat waktu.

 

Upaya Kuratif

Jika diketahui seorang anak telah melakukan upaya bunuh diri atau memiliki niat untuk melakukannya, segera ambil langkah-langkah berikut:

  1. Segera Meminta Pertolongan Medis

Hal ini penting untuk menyelamatkan nyawa anak.

  1. Beri Dukungan Emosional

Dukungan emosional membantu anak dalam proses pemulihan mental dan emosional; menciptakan ruang untuk pembicaraan terbuka tentang perasaan dan pengalaman anak; membuat anak merasa lebih nyaman; membuat anak merasa diterima dan didukung; serta mencegah perilaku bunuh diri lanjutan.

  1. Jangan Tinggalkan Sendirian

Anak yang telah melakukan upaya bunuh diri tidak boleh ditinggalkan sendirian karena ada kemungkinan anak mencoba bunuh diri lagi dan; anak memerlukan perhatian profesional dan dukungan keluarga.

  1. Mencari Bantuan Profesional Kesehatan Mental

Ini penting dilakukan untuk pemeriksaan terhadap kondisi mental anak setelah upaya bunuh diri; mengidentifikasi masalah kesehatan mental yang mendasari perilaku bunuh diri; untuk merancang rencana terapi yang dibutuhkan; membantu anak untuk memahami dan mengatasi perasaan mereka secara lebih mendalam; memberikan edukasi kepada orangtua tentang kesehatan mental dan bagaimana cara mendukung pemulihan anak; dan untuk mencegah upaya bunuh diri lanjutan. (SRP)

 

Share

Related posts

Leave a Comment