ANAK PENYANDANG AUTIS MERDEKA BELAJAR

Share

Oleh : Susi Rio Panjaitan

 

Salah satu amanat pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 kepada Pemerintah Negara Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa (Alenia ke-4). Pendidikan adalah upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 Ayat (1) mengatakan: “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.” Dari sini jelas terlihat bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan amanat yang diberikan kepada Pemerintah Negara Indonesia dan setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. Jadi, anak Indonesia yang menyandang autis pun berhak mendapat pendidikan.  Selain itu, setiap warga negara (termasuk anak penyandang autis) mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 5 Ayat 1).

Anak penyandang autis adalah anak yang unik, baik cara berpikirnya maupun caranya merespon stimulus. Cara mereka mengekpresikan keinginan dan perasaan merekapun berbeda dengan anak-anak lain. Pada bagian penjelasan dari  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas Pasal 4 Ayat (1) Huruf (c) Bagian (b) tertulis: “Yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain: disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.” Dengan merujuk pada undang-undang ini, penyandang autis di Indonesia masuk dalam kelompok penyandang disabilitas, tepatnya disabilitas mental. Pasal 5 Ayat (1) Huruf (e) dari undang-undang ini menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak pendidikan. Selain itu, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 2 menyebutkan bahwa warga negara  yang menyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan khusus. Tidak hanya itu, Pasal 10 Huruf (A) dari Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menyebutkan bahwa hak pendidikan untuk penyandang disabilitas meliputi hak mendapatkan pendidikan yang bermutu pada satuan pendidikan di semua jenis, jalur, dan jenjang pendidikan secara inklusif dan khusus. Undang-undang ini tepatnya dalam Pasal 143 Huruf (a) mengatakan bahwa  setiap orang dilarang menghalang-halangi dan/atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak pendidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10. Bahkan, dalam undang-undang ini juga disbutkan bahwa setiap orang yang menghalang-halangi dan/atau melarang penyandang disabilitas untuk mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 143 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Hal ini tertulis pada Pasal 145.

 

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1) menyebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Ayat 7 dari pasal ini menjelaskan bahwa anak penyandang disabilitas adalah anak yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Pasal 9 Ayat (1), juga dari undang-undang ini, mengatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakat. Sementara itu, pasal 51 dari undang-undang ini mengatakan bahwa anak penyandang disabilitas diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan inklusif dan/atau pendidikan khusus. Dari paparan di atas jelas terlihat bahwa anak penyandang autis berhak mendapatkan pendidikan  yang sesuai dengan keunikan dan kebutuhannya. Hal ini dilindungi  oleh undang-undang. Paling tidak, ada tiga peraturan undang-undang yang mengatur dan melindungi hak anak autis dalam mendapatkan pendidikan, yakni: Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan  Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.

Walaupun memiliki keunikan dan tampak berbeda dengan anak-anak lain, anak autis juga mempunyai minat dan kemampuan belajar. Keunikan ini membuat banyak di antara mereka yang membutuhkan metode belajar yang berbeda dengan anak-anak lain, bahkan berbeda dengan anak penyandang autis lainnya. Mereka sungguh unik sehingga berbeda satu dengan yang lain, walaupun mereka sama-sama penyandang autis. Metode belajar yang dipilih harus sesuai dengan kondisi dan kebutuhan anak. Belajar sesuai dengan kebutuhan dan keunikan mereka merupakan hak mereka yang dilindungi oleh undang-undang. Sayangnya, masih banyak anak penyandang autis yang bersekolah di sekolah yang tidak cocok/pas untuknya. Mereka belajar tidak dengan metode yang sesuai dengan kebutuhan dan keunikan mereka. Mereka dipaksa untuk belajar sesuai keinginan dan selera orang lain. Apa lagi saat ini sedang dikumandangkan “MERDEKA BELAJAR”.

Jika anak penyandang autis dipaksa belajar dengan metode yang tidak sesuai dengan keunikan dan kebutuhannya, maka yang terjadi adalah resiko dan kesia-siaan. Banyak waktu, dana, energi dan emosi yang terbuang. Selain itu, dapat menimbulkan kefrustasian pada anak sehingga anak tidak mengalami perkembangan. Sebaliknya, akan menambah label negatif pada mereka, seperti bodoh, malas dan lain sebagainya. Oleh sebab itu, anak autis harus merdeka belajar. Belajar dengan cara yang memang sesuai dengan kondisi, kebutuhan dan keunikan mereka. Ada anak  yang cocok belajar di kelas regular (dengan atau tanpa shadow teacher), ada  anak yang cocok belajar dalam kelompok kecil dengan anak yang berkarakteristik mirip dengannya dan anak yang cocok belajar dengan sistem individual.

 

Belajar di Sekolah Regular tanpa Shadow Teacher

Anak penyandang autis boleh bersekolah di sekolah regular. Ini diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa. Anak autis yang masuk kategori berkemampuan tinggi (high function)  biasanya mampu dan cocok belajar di sekolah regular tanpa didampingi oleh shadow teacher. Mereka mampu menyelesaikan studi sampai jenjang Perguruan Tinggi dengan baik dan mandiri. Walaupun ke-khas-an autistik masih tampak pada mereka, secara umum mereka mampu mengikuti semua proses pembelajaran dengan baik dan mampu mengikuti regulasi  sehingga dapat menyelesaikan studi dengan baik.

Belajar di Sekolah Regular dengan  Shadow Teacher

Tidak semua anak penyandang autis langsung bisa belajar di sekolah regular tanpa pendampingan dari guru bayangan (shadow teacher). Banyak sekolah yang mengijinkan anak didampingi oleh shadow teacher, baik itu shadow teacher yang disediakan oleh sekolah maupun shadow teacher yang disediakan oleh orangtua anak. Shadow teacher bertugas dan bertanggung jawab membantu anak dalam segala hal yang terkait dengan sekolahnya. Idealnya, shadow teacher dibutuhkan hanya di awal-awal anak bersekolah. Gunanya untuk membantu anak beradaptasi, baik beradaptasi dengan pelajaran, guru, teman-teman, lingkungan sekolah dan regulasi. Setelah anak mampu beradaptasi dan memahami lingkungan sekolahnya, maka shadow teacher tidak dibutuhkan lagi. Jika anak sudah bertahun-tahun didampingi oleh shadow teacher tetapi anak tetap tidak dapat belajar dengan mandiri di sekolah, mungkin sudah saatnya melakukan evaluasi, apakah sekolah itu adalah tempat yang cocok dan dibutuhkan anak dalam belajar.

 

Belajar di Kelas Kecil dengan Anak yang Berkarakteristik Mirip dengannya

Jika anak tidak cocok belajar di sekolah regular, sekolah dengan kelas kecil dimana jumlah anak dalam satu kelas tidak lebih dari lima orang bisa dipertimbangkan. Pada sekolah itu, karakteristik anak-anak di dalam satu kelas mirip. Kelas seperti ini biasanya ada  di Sekolah Luar Biasa (SLB). Banyak orang yang beranggapan Sekolah Luar Biasa tidak cocok untuk anak penyandang autis. SLB C yang biasanya dijadikan rujukan ternyata juga tidak pas karena SLB C diperuntukkan untuk penyandang tunagrahita, padahal anak penyandang autis belum tentu tunagrahita.

Sekolah Informal (Belajar dengan Sistem Individual  atau Homeschooling)

Jika anak tidak cocok belajar di sekolah regular dan SLB, bukan berarti anak tidak memiliki kemampuan belajar atau tidak punya tempat untuk belajar. Mereka masih dapat belajar secara informal dengan pendidikan khusus. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 27 Ayat (1) mengatakan bahwa kegiatan pendidikan informal  dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, sedangkan Pasal 32 Ayat (1) dari undang-undang ini menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.

Dengan pendidikan khusus melalui sekolah informal, anak penyandang autis dapat belajar dengan baik dan merdeka karena waktu belajar, cara belajar, program/kurikulum, tempat belajar, sistem penilaian, evaluasi dan lain-lain  disusun sesuai dengan kebutuhan serta keunikan anak. Jika jalur ini yang digunakan, maka orangtua dan keluarga memegang peranan yang sangat penting dan menentukan. Walaupun demikian, orangtua tidak perlu takut karena orangtua dapat belajar bahkan dapat menjadi guru yang baik bagi anaknya. Selain itu, orangtua dapat menghubungi  konsultan pendidikan agar dapat berdiskusi dan mendapat masukan terkait pendidikan anak.

Bagaimana pun kondisi seorang anak penyandang autis, ia tetap memiliki kemampuan belajar. Pilihlah jalur belajar yang tepat untuk anak. Pemilihan jalur tersebut harus dilakukan melalui asesmen yang benar. Jalur belajar yang tepat akan membuat anak nyaman dan merdeka belajar. Jika anak penyandang autis merdeka belajar, maka diharapkan potensinya dapat ditemukan, ditumbuhkan dan dikembangkan sehingga ia dapat mandiri dan berkarya.  Merdeka belajar bukan hanya hak anak non autis tetapi juga hak anak penyandang autis. (SRP)

Share

Related posts

Leave a Comment