Oleh: Susi Rio Panjaitan
Bram adalah anak tunggal dari pasangan profesional yang sukses dan sibuk. Orangtuanya memfasilitasinya dengan perangkat elektronik yang lengkap dan akses tak terbatas ke internet. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya di depan layar, terpaku pada permainan video dan media sosial. Karena nyaris tidak bergerak dan senang makan ketika di depan layar, tubuh Bram menjadi gendut. Kesibukan kedua orangtua Bram membuatnya nyaris tidak pernah didampingi saat berselancar di dunia digital. Bram tenggelam dalam dunia digital yang cepat berubah dan sangat kompleks. Ia tidak memiliki cukup kemampuan untuk memilih konten yang cocok untuk anak seusianya, dan tidak mampu menolak banyak hal yang ditawarkan oleh dunia digital. Hal ini berpengaruh pada dunia nyatanya. Bram mengalami kesulitan serius dalam mengatasi tantangan yang ada di dunia nyata. Ia tidak memiliki kemampuan yang baik untuk berkomunikasi dan beradaptasi dengan lingkungan. Di sekolah, ia tidak mempunyai teman dekat dan senang menyendiri. Bila mendapat nilai buruk, Bram selalu sedih dan putus asa. Ia cenderung menyalahkan diri sendiri atau orang lain, dan menghindari masalah daripada mencari solusi. Bram juga kerap menjadi korban bullying oleh beberapa teman sekelasnya. Suatu hari, Bram diejek oleh temannya karena tubuhnya yang gendut. Hal ini membuatnya semakin menenggelamkan diri ke dalam dunia digital. Ia juga menjadi tidak mau ke sekolah.
Kisah di atas hanya ilustrasi. Akan tetapi, saat ini, kisah seperti di atas sering terjadi, bahkan kisah yang lebih parah dari itu. Banyak anak yang menjadi korban perundungan (bullying), dan tidak sedikit anak yang melakukan tindakan menyakiti diri sendiri (self harm). Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa banyak anak yang mudah menjadi korban bullying atau mudah melakukan tindakan self harm? Dalam banyak literasi, anak menjadi korban bullying atau berperilaku self harm sering dikaitkan dengan resiliensi pada anak. Secara sederhana, resiliensi dapat diartikan sebagai kemampuan individu untuk bertahan, pulih, dan beradaptasi dengan cepat setelah mengalami kesulitan, tekanan, atau trauma. Individu yang memiliki resiliensi yang baik mampu bertahan dan bangkit kembali dari situasi sulit atau perubahan yang tidak diinginkan. Semua orang perlu memiliki resiliensi, termasuk anak-anak.
Dunia anak diidentikkan dengan dunia yang polos, jujur, ceria, dan penuh kegembiaraan. Anggapan tersebut tidak salah, tetapi dalam dunia anak juga terdapat tekanan, masalah, dan tantangan, yang dapat mempengaruhi perkembangan dan kesejahteraan mental anak. Anak berpotensi mengalami tekanan dari tuntutan akademis di sekolah. Anak dapat merasa tertekan oleh tuntutan mencapai nilai tinggi, menyelesaikan tugas dengan baik, atau bersaing dengan teman-temannya. Anak juga dapat menghadapi masalah sosial seperti masalah persahabatan, perundungan (bullying), atau kesulitan dalam berinteraksi dengan teman sebaya. Selain itu, masalah dan perubahan dalam keluarga seperti perceraian orangtua, kematian anggota keluarga, atau masalah keuangan dapat menjadi sumber stres dan tekanan bagi anak. Sama halnya dengan orang dewasa, anak juga mengalami tantangan emosional seperti kecemasan, ketakutan, atau kesedihan yang dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka. Di era digital dan AI ini di mana penggunaan teknologi modern tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, juga membawa tantangan tersendiri bagi anak, seperti pengaruh media sosial, akses mudah ke konten yang tidak sesuai, atau kecanduan. Anak adalah individu yang sedang dalam proses pertumbuhan dan perkembangan fisik, kognitif, emosional, dan sosial. Proses ini juga dapat menjadi tantangan bagi anak, tertutama saat ia belajar menghadapi perubahan dan menemukan identitas diri.
Ketika anak menghadapi berbagai masalah, tekanan atau tantangan, penting bagi anak untuk memiliki resiliensi yang kuat agar dapat mengatasi masalah tersebut dengan baik dan dapat berkembang secara positif dengan optimal. Resiliensi akan membantu anak dalam mengatasi tantangan, stres, atau perubahan dalam kehidupannya. Resiliensi juga membantu anak dalam mengembangkan kemampuan untuk memecahkan masalah, mengelola emosi, dan tetap positif ketika menghadapi kesulitan. Dengan memiliki resiliensi, anak belajar bagaimana bangkit kembali dari kegagalan atau kesalahan. Ini merupakan keterampilan penting guna meraih sukses di masa depan. Oleh karena itu, orangtua dan pendidik perlu membantu anak dalam membangun resiliensi. Berikut adalah strategi yang dapat dipertimbangkan dalam membantu anak membangun resiliensi.
Membangun Hubungan yang Kuat dan Positif dengan Anak
Membangun hubungan yang kuat dan positif dengan anak adalah kunci untuk membantu mereka membangun resiliensi. Hubungan yang mendalam antara orangtua dengan anak dapat memberikan dukungan emosional, sosial, dan mental yang dibutuhkan untuk mengatasi tantangan. Dengan membangun hubungan yang kuat dan positif dengan anak, orangtua tidak hanya membantu anak untuk merasa dicintai dan didukung, tetapi juga memberikan fondasi yang kuat bagi perkembangan resiliensi anak. Hubungan yang mendukung ini akan membantu anak menghadapi tantangan kehidupan dengan lebih percaya diri dan optimis.
Memberi Dukungan Emosional
Dukungan emosional yang baik membantu anak merasa didengar, dihargai, diperhatikan, dan diterima sehingga ia dapat mengembangkan kepercayaan diri dan kemampuan untuk mengatasi tantangan. Dengan memberikan dukungan emosional yang konsisten dan positif kepada anak, orangtua membantu anak dalam membangun fondasi yang kuat untuk mengatasi tantangan kehidupan dengan lebih baik. Selain membantu dalam memperkuat ikatan emosional antara orangtua dan anak, ini juga kunci untuk membangun resiliensi pada anak.
Membantu Anak Melihat dan Menggunakan Potensi Dirinya
Membantu anak melihat dan menggunakan potensi dirinya adalah strategi yang sangat penting dalam membantu membangun resiliensi pada anak. Ketika anak memahami dan menggunakan potensi yang dimilikinya, ia menjadi lebih percaya diri dan siap menghadapi tantangan dengan lebih baik. Membantu anak melihat dan menggunakan potensi dirinya, tidak hanya membantunya membangun resiliensi, tetapi juga memberikan fondasi yang kuat bagi pertumbuhan pribadi dan kemampuan anak dalam menghadapi tantangan kehidupan.
Membantu Anak Belajar dari Pengalaman
Kehidupan adalah tentang bagaimana menghadapi dan mengatasi tantangan dengan baik, bukan menghindarinya. Kegagalan adalah bagian dari proses belajar. Oleh karena itu, anak perlu belajar untuk menerima diri sendiri dan tidak terlalu keras pada diri sendiri ketika menghadapi masalah. Resiliensi melibatkan kemampuan untuk mengatasi kesulitan, mengambil pelajaran dari pengalaman, dan berkembang melalui tantangan. Kemampuan untuk belajar dari pengalaman positif maupun negatif adalah keterampilan yang sangat berharga dalam mengatasi tantangan kehidupan dan tumbuh menjadi individu yang tangguh dan mandiri. Dengan membantu anak belajar dan berkembang dari pengalamannya, orangtua membantu anak membangun resiliensi yang kuat.
Mengajarkan Anak Keterampilan Menyelesaikan Masalah
Keterampilan menyelesaikan masalah membantu anak mengatasi tantangan dengan lebih efektif dan membangun rasa percaya diri anak dalam menghadapi masalah. Dengan mengajarkan anak keterampilan menyelesaikan masalah, orangtua membantu anak membangun resiliensi. Anak menjadi lebih terampil dalam mengatasi rintangan dan tantangan dalam kehidupan. Keterampilan ini penting untuk mampu adaptasi saat anak menghadapi perubahan dan situasi yang tidak terduga atau tidak diinginkan.
Memberikan Contoh Sikap Positif dalam Menghadapi Kesulitan
Memberikan contoh sikap positif dalam menghadapi kesulitan adalah salah satu strategi penting dalam membantu anak membangun resiliensi. Sikap positif dari orangtua dapat menjadi contoh yang kuat bagi anak untuk mengatasi tantangan dengan optimis. Anak akan belajar bahwa kesulitan adalah bagian alami dari kehidupan dan bahwa ia memiliki kemampuan untuk menghadapinya dengan cara yang positif dan efektif.
Jadi jelas, resiliensi pada anak sangat penting sehingga anak perlu dibantu dalam membangun resiliensi. Dengan memberikan dukungan, arahan, dan contoh sikap yang positif, kita dapat membantu anak-anak dalam mengembangkan ketahanan mental yang kuat yang akan membantu mereka sepanjang hidup. (SRP)