MENGATASI PERILAKU SELF-DESTRUCTIVE PADA ANAK

Share

Oleh: Susi Rio Panjaitan

Pernah melihat anak marah-marah atau menangis sambil menjambak rambutnya sendiri, menggigit tangannya, membenturkan kepalanya ke dinding atau lantai, menghempaskan tubuhnya ke lantai, atau melakukan hal lain yang dapat menyakiti atau melukai dirinya sendiri? Ini adalah salah satu bentuk perilaku self-destructive. Secara sederhana, perilaku selfdestructive dapat diartikan sebagai tindakan menyakiti diri sendiri, baik secara fisik, emosional, maupun psikologis, yang dapat merugikan dan membahayakan individu. Meskipun perilaku self destructive lebih sering terlihat pada orang dewasa, anak-anak dan remaja juga dapat menunjukkan tanda-tanda perilaku ini. Misalnya: menggigit atau mencakar diri sendiri; memukul kepala ke dinding atau permukaan keras lainnya; menggunakan benda tajam atau benda lain untuk melukai diri sendiri; melompat dari ketinggian;  menggigit kuku hingga berdarah; menusuk-nusuk bagian tubuh dengan pulpen atau benda tajam atau tumpul lainnya, menyayat pergelangan tangan, berlari ke jalan tanpa memerhatikan keadaan di sekelilingnya; merokok; menyalahgunakan alkohol, narkoba, atau obat-obatan; tidak mau makan sama sekali; makan berlebihan; memuntahkan makanan; membatasi asupan makanan secara ekstrim; menghina diri sendiri; sangat berharap dan bergantung pada orang yang sama sekali tidak tertarik kepada dirinya; berkubang pada rasa mengasihani diri sendiri; terlalu menyalahkan diri sendiri, menarik diri dari teman atau keluarga; kebut-kebutan; balapan liar; mengkonsumsi pornografi; menenggelamkan diri pada gadget; melakukan seks bebas; atau tawuran. Sekecil apapun bentuk perilaku self destructive yang dilakukan anak, hal ini tidak boleh diabaikan karena sangat berbahaya dan merugikan anak, serta sangat mungkin berkembang menjadi perilaku self destructive yang lebih ekstrim dan parah.

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya perilaku self destructive pada anak, antara lain:

Hambatan Perkembangan

Hambatan perkembangan pada anak dapat memunculkan perilaku self-destructive. Anak yang kesulitan dalam mengkomunikasikan kebutuhan, keinginan, atau perasaannya dapat merasa frustasi sehingga berperilaku self destructive. Ini banyak terjadi pada anak-anak yang menyandang autis dan terlambat bicara (speech delay). Anak dengan gangguan pemrosesan sensori mengalami kesulitan dalam merespon stimulus dari lingkungannya. Hal ini dapat membuat anak melakukan perilaku self destructive sebagai respon terhadap stimulus yang menimbulkan rasa tidak nyaman. Anak-anak dengan hambatan perkembangan kecerdasan intelektual seperti anak downsyndrome dan retardasi mental juga berisiko berperilaku self destructive.  Keterbatasan pemahaman akibat rendahnya tingkat kecerdasan intelektual membuat anak tidak memahami konsekuensi dari tindakannya.

Masalah Kesehatan Mental

Anak dengan masalah kesehatan mental misalnya depresi, anxiety, bipolar,  skizofrenia, obsessive compulsive disorder (OCD), atau post traumatic stress disorder (PTSD) berisiko untuk berperilaku self destructive. Pada anak dengan masalah kesehatan mental dapat timbul kebingungan, ketakutan, rasa putus asa,  rasa tidak berharga, atau kesedihan yang luar biasa. Perasaan ini dapat mendorongnya untuk melukai diri sendiri.

Trauma

Trauma pada anak dapat disebabkan oleh berbagai peristiwa atau situasi, yang mengancam kesejahteraan fisik, emosional, atau psikologis anak. Misalnya: kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan emosional, kehilangan atau kematian orang terkasih, kecelakaan atau cedera serius, terdiagnosa penyakit terminal,  bencana alam, perang dan konflik bersenjata, dan lain-lain. Trauma menimbulkan rasa tidak aman, tidak nyaman, dan berbagai emosi negatif pada anak sehingga mengganggu kemampuan anak dalam berpikir jernih dan mengatur emosi. Ini dapat memicu anak untuk melakukan perilaku self destructive.

Rasa Malu atau Rasa Bersalah yang Berlebihan

Rasa malu atau rasa bersalah yang berlebihan dapat memunculkan perilaku self destructive pada anak. Anak yang mengalami perasaan malu atau bersalah yang berlebihan cenderung menginternalisasi perasaan tersebut, sehingga menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Anak merasa pantas dihukum atau merasa tidak layak mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan. Sangat mungkin anak merasa dirinya tidak berharga. Hal ini dapat memicu anak untuk melakukan self-destructive.

Ketidakterampilan dalam Meregulasi Emosi

Anak yang tidak memiliki keterampilan regulasi emosi yang baik  cenderung  mengalami emosi negatif seperti kemarahan, kesedihan, atau kecemasan. Ketidakmampuan dalam mengelola emosi membuat anak melakukan cara-cara yang tidak sehat untuk mengurangi ketegangan atau sakit hatinya, misalnya dengan melukai diri sendiri.

Ancaman

Ancaman dapat menyebabkan kecemasan dan ketakutan yang tinggi pada anak, merusak harga diri dan rasa berharga anak, membuat anak putus asa dan tidak berdaya, menimbulkan amarah pada anak, mengganggu perkembangan keterampilan regulasi emosi anak, mengganggu kemampuan anak untuk berpikir rasional dan membuat keputusan yang sehat, serta dapat membuat anak berada dalam kondisi kewaspadaan tinggi dan berlebihan. Hal ini dapat memicu anak untuk melakukan self-destructive.

Perundungan (Bullying)

Bullying dapat menyebabkan anak menjadi stres, cemas, ketakutan, tidak aman, tidak nyaman, tidak berdaya, merasa tidak berharga, merendahkan diri sendiri, putus asa, merasa disingkirkan dan tidak diterima oleh teman sebaya, kesepian, mengganggu kemampuan anak untuk mengelola emosi dengan baik, dan dapat meningkatkan risiko anak mengalami gangguan kesehatan mental. Kondisi ini dapat mendorong anak untuk melakukan tindakan self destructive.

Pola Asuh yang Salah

Pola asuh yang menggunakan kekerasan, baik fisik atau emosional, dapat merusak harga diri anak, membuat anak depresi, cemas berlebihan, merasa tidak berharga, dan putus asa. Pola asuh dimana orang tua tidak peduli atau menelantarkan anak akan membuat anak merasa kesepian, cemas, dan depresi.  Anak merasa tidak didengar atau diperhatikan oleh orang tua. Pola asuh yang terlalu melarang atau menghukum anak secara berlebihan atas ekspresi emosi anak, dapat membuat anak merasa dikekang, dan merasa eksistensinya tidak diharga. Pola asuh yang tidak memperhatikan atau mengabaikan kebutuhan emosional dan psikologis anak akan membuat anak merasa tidak dicintai, tidak diterima, dan tidak dihargai. Pola asuh dimana pada anak ditaruh harapan yang tidak realistis dapat meningkatkan risiko kecemasan, depresi, dan rendah diri pada anak. Anak merasa terus-menerus ditekan oleh orang tua. Pola asuh yang salah dapat menjadi faktor penyebab perilaku self destructive pada anak.

Keluarga yang Tidak Harmonis

Ktidakharmonisan keluarga seperti konflik dan pertengkaran yang terus-menerus antara anggota keluarga, pertengkaran orang tua, kekerasan fisik, emosional, atau seksual, penelantaran, atau pengaruh negatif dari anggota keluarga, seperti saudara kandung yang suka menyiksa atau orang tua yang memberikan contoh perilaku yang tidak sehat, dapat mebuat anak menjadi tertekan, stres, terancam, marah, sedih, dan ketakutan. Kondisi ini dapat memicu munculnya perilaku self destructive pada anak.

Pengaruh Buruk Internet dan Media Sosial

Pengaruh buruk internet dan media sosial dapat memunculkan perilaku self destructive pada anak. Anak yang terpapar konten negatif atau berbahaya di internet atau media sosial, seperti konten yang mengajak melakukan kekerasan, bunuh diri, atau perilaku berbahaya lainnya, berisiko menginternalisasi perilaku tersebut sebagai cara untuk mengatasi masalah. Gaya hidup yang tidak realistis yang ditunjukkan di media sosial dapat membuat anak merasa rendah, tidak layak, atau tidak puas dengan diri sendiri. Ini  membuat anak menjadi rendah diri, cemas, dan takut sehingga dapat memicu perilaku self destructive. Anak yang terpapar gambaran tubuh yang sempurna atau gaya hidup glamor di media sosial, akan merasa tidak puas dengan penampilan atau kehidupannya. Kondisi-kondisi ini dapat membuat anak melakukan self destructive.

Adiksi

Adiksi terhadap zat-zat adiktif seperti narkoba atau alkohol dapat menyebabkan anak mengalami gangguan kesehatan, masalah kesehatan, mental, dan kerusakan otak. Adiksi juga membuat anak sulit mengelola stres dan emosi negatif. Kondisi ini dapat memicu perilaku self destructive. Anak yang kecanduan video games dapat menjadi sangat frustrasi atau marah ketika ia tidak dapat bermain video games. Ini dapat membuat anak melakukan hal-hal yang merugikan diri sendiri dan orang lain, misalnya mengamuk, merusak barang-barang yang ada di dekatnya, menyakiti orang lain, atau melukai dirinya sendiri. Anak yang kecanduan narkoba dan alkohol  berisiko melakukan perilaku berisiko tinggi, misalnya  mengemudi dalam keadaan mabuk,  atau berbagi jarum suntik.

Perilaku self destructive pada anak harus diatasi dengan pendekatan yang komprehensif, baik sebagai upaya preventif maupun kuratif. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat diambil untuk mengatasi self destructive pada anak:

Menciptakan Keluarga Harmonis

Anak yang hidup dalam keluarga harmonis akan mendapatkan dukungan emosional. Dukungan ini membuat anak merasa dicintai, dihargai, diterima, dilindungi, dan aman. Dalam keluarga yang harmonis anak dapat belajar dari orang tua dan anggota keluarga lainnya bagaimana menghadapi tantangan dan mengelola emosi dengan cara yang konstruktif. Keluarga harmonis menciptakan lingkungan yang kondusif, sehingga anak tidak perlu khawatir terjadi konflik yang berlebihan, dan ketidakstabilan dalam keluarga. Selain itu, dalam keluarga harmonis ada pemberian pujian, dorongan, dan pengakuan yang sehat atas pencapaian anak. Ini membantu meningkatkan harga diri dan kepercayaan diri anak. Dalam keluarga harmonis juga ada waktu yang dihabiskan bersama sehingga anak tidak merasa sedirian dan kesepian. Orang tua dalam keluarga harmonis cenderung lebih peka terhadap perubahan perilaku anak dan lebih cepat untuk mengambil tindakan ketika melihat tanda-tanda perilaku self destructive pada anak.

Menerapkan Pola Asuh Positif

Menerapkan pola asuh positif merupakan langkah yang efektif dalam mengatasi perilaku self destructive pada anak.  Pola asuh positif menciptakan lingkungan dimana anak merasa aman dan dipahami. Anak dapat berbicara tentang perasaannya tanpa takut dihakimi. Dengan menerapkan pola asuh positif, orang tua dapat membantu anak mengembangkan keterampilan sosial, meningkatkan harga diri anak, dan membuat anak merasa didukung, dicintai, diterima, dibela, dan dilindungi. Ini sangat penting dalam mencegah dan mengatasi perilaku self destructive pada anak.

Melatih Anak Bersikap Asertif

Untuk mengatasi perilaku self destructive pada anak, perlu melatih anak bersikap asertif. Sikap asertif membuat anak mampu mengungkapkan perasaan, kebutuhan, dan pendapatnya dengan cara yang sehat dan konstruktif tanpa rasa takut atau agresif; memahami bahwa pendapat dan perasaannya penting dan layak didengar; menetapkan batasan yang sehat dan mengatakan “tidak” ketika merasa tidak nyaman atau tertekan oleh permintaan orang lain, mencari solusi secara kolaboratif,  berkomunikasi secara efektif, membangun hubungan yang berdasarkan rasa saling menghormati,  dan mampu mengembangkan identitas diri.

Menciptakan Komunikasi Terbuka dengan Anak

Menciptakan komunikasi terbuka dengan anak merupakan langkah penting dalam mengatasi perilaku self destructive pada anak. Komunikasi yang baik dan terbuka antara orang tua dan anak membuat anak merasa didengar, dipahami, dan didukung. Dengan komunikasi terbuka, orang tua dapat membangun hubungan yang kuat dan berkualitas dengan anak, dan memberikan dukungan yang dibutuhkan anak.

Melatih Anak Mengembangkan Keterampilan Regulasi Emosi

Kemampuan untuk mengelola emosi dengan efektif membantu anak merespons situasi stres atau emosional dengan cara yang sehat. Anak yang memiliki keterampilan regulasi emosi yang baik, kecil kemungkinannya untuk melukai diri sendiri.

Melatih Anak Mengembangkan Keterampilan Menyelesaikan Masalah

Keterampilan dalam menyelesaikan masalah  membuat  anak mampu menghadapi dan mengatasi berbagai tantangan hidup dengan cara yang sehat dan konstruktif. Anak dapat mengendalikan situasi sulit, mengurangi rasa tidak berdaya dan putus asa, membuat anak menjadi lebih tenang, meningkatkan rasa percaya diri anak, membuat anak mampu menghadapi stres dan tekanan, serta mengurangi emosi negatif. Dengan demikian, anak akan terhindar dari perilaku self destructive.

Melatih Anak Menggunakan Gadget dan Internet dengan Sehat

Melatih anak menggunakan gadget dan internet dengan sehat merupakan langkah efektif dalam mengatasi perilaku self destructive pada anak. Ini membantu anak mengembangkan kebiasaan yang sehat, melindungi anak dari konten negatif, dan membangun keterampilan yang diperlukan untuk mengelola stres dan emosi dengan cara yang konstruktif. Teknologi yang digunakan dengan tepat, menjadi alat yang bermanfaat dan dapat mendukung perkembangan anak, tetapi jika digunakan dengan sembrono dapat menimbulkan masalah serius.

Mencari Pertolongan Ahli

Untuk mengatasi periaku self destructive pada anak, orang tua perlu mencari pertolongan ahli. Ahli seperti psikolog atau psikiater anak dapat melakukan evaluasi komprehensif untuk memahami akar masalah dan menentukan apakah ada kondisi kesehatan mental yang mendasari perilaku self destructive pada anak. Dengan diagnosis yang akurat, tatalaksana atas perilaku self destructive dapat diatasi. (SRP)

 

 

Share

Related posts

Leave a Comment