Oleh: Susi Rio Panjaitan
Setiap hari kita bisa mendapatkan berita tentang kekerasan seksual pada anak melalui media massa konvensional maupun media sosial. Dalam sebagian besar kasus, pelaku adalah orang-orang yang berada di lingkar terdekat anak, seperti ayah, kakak/abang, paman, kerabat, tetangga, guru, bahkan guru agama/pemuka agama. Orang-orang ini seharusnya menjalankan peran sebagai malaikat pelindung bagi anak, tetapi malah menjadi pemangsa yang buas, yang tidak beradab dan tidak manusiawi. Kekerasan seksual pada anak berdampak sangat buruk bagi pertumbuhan dan perkembangan anak, membahayakan kesehatan fisik dan mental anak, serta berisiko menyebabkan kematian pada anak. Oleh karena itu, kekerasan seksual pada anak tidak dapat ditoleransi.
Di Indonesia, kekerasan seksual pada anak merupakan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang perlindungan anak, yang sejak disahkan pada tahun 2002 telah mengalami perubahan sebanyak dua kali. Dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dituliskan: “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.” Dalam pasal 15 huruf (f) dari undang-undang ini dikatakan bahwa setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual. Selain itu, dalam pasal 54 ayat (1) disebutkan juga bahwa anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib mendapatkan perlindungan dari kejahatan seksual.
Dalam undang-undang perlindungan anak juga dicantumkan larangan tegas terhadap berbagai bentuk kekerasan seksual atau kejahatan seksual terhadap anak, yakni:
- Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Pasal 76D).
- Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Pasal 76E).
Adapun ancaman pidana bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah sebagai berikut:
- Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). Ancaman pidana ini tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (1).
- Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ancaman pidana ini ditulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (2).
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga, pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Ancaman pidanan ini tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (3).
- Selain terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (3), penambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D. Ancaman pidana ini tertulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (4).
- Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, pelaku dipidana mati, seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Ancaman pidana ini ditulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (5).
- Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku. Ini ditulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (6).
- Terhadap pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat dikenai tindakan berupa kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik. Hal ini ditulis dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (7).
Dari apa yang ditulis dalam undang-undang perlindungan anak, dapat dilihat bahwa Negara serius dalam menangani kekerasan seksual atau kejahatan seksual terhadap anak, baik dalam bentuk persetubuhan maupun dalam bentuk yang disebut undang-undang sebagai perbuatan cabul. Bahkan, sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi Undang-undang Pasal 81 Ayat (5), ada ancaman pidana mati bagi setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, jika menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia.
Walaupun Negara melalui peraturan perundang-undangan sudah secara jelas dan tegas mengancam setiap orang yang melakukan kekerasan seksual pada anak, akan tetapi sampai hari ini, kekerasan seksual pada anak masih terjadi di hampir seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini menjadi pertanyaan sekaligus tantangan besar bagi bangsa ini, terutama bagi Aparat Penegak Hukum (APH). Apakah undang-undang perlindungan anak belum terinformasi dan tersosialisasi dengan baik kepada seluruh rakyat Indonesia? Apakah penegakan hukum belum sebagaimana mestinya sehingga tidak menimbulkan efek jera pada pelaku dan tidak menjadi pembelajaran efektif bagi masyarakat luas? (SRP)
.